Aku membawa Maeda jauh dari tempat berkabut. Kami berhenti di dekat aliran sungai. Maeda mengehentikanku saat ingin menyeberang, tubuhnya jatuh perlahan ke tanah.
"Maeda?" Aku berusaha membantunya berbaring lebih baik. Disitulah aku menyadari luka pertarungan tadi, menganga lebar di perutnya.
"Astaga, kamu bilang kamu tidak akan mati?!" Seruku. Tak bisa mengelak, aku memang panik sekarang.
"Siapa bilang aku akan mati?" Maeda masih bisa menyentak keras. "Aku hanya mengantuk. Aku akan tidur sebentar."
Aku tidak tahan untuk tidak menyentil dahinya. "Heh, bodoh. Jangan pernah berpikir untuk tidur di saat seperti ini." Aku kembali menatap bintang. Sebentar lagi, tidak sampai satu jam.
Aku mengerang melihat banyaknya darah yang keluar dari luka itu, terlalu dalam. (Tak tahu kenapa..,) aku takut Maeda tak bisa bertahan sampai forsaku kembali.
Aku melepas jaketnya yang tadi pagi dia pinjamkan padaku. Membebat lukanya sekuat yang aku bisa.
Maeda entah mendapat tenaga darimana, masih sempat menepuk tanganku keras. Dia bahkan mengeluh. "Sakit, bodoh! Jangan kasar-kasar!"
Aku kesal, justru sengaja menekan luka itu. Maeda menahan seruannya, melotot menatapku. Aku hanya berdecak kesal. "Bertahanlah sampai forsaku kembali. Jangan berpikir untuk tidur."
Maeda membuang mukanya. "Aku akan berusaha." Wajahnya mengernyit sejenak. "Tapi aku tidak janji." Dia menyeringai menyebalkan.
Aku masih ingin memakinya, namun terdiam saat melihat warna yang berbeda di antara luka Maeda. "Tidak." Keluhku.
Racun katak panah emas, aku mengenalnya. Salah satu racun paling mematikan. Aku tahu karena Neirla di dalam tembok sana punya lab rahasia. Dia mengoleksi spesies-spesies langka dan berbahaya.
Jika Maeda terluka karena pedang, dia pasti akan tetap hidup beberapa jam lagi. Bahkan tanpa forsaku. Tapi dengan racun katak panah emas, aku takut Maeda tak akan bertahan lama. Aku menatap Maeda, menggenggam tangannya. "Tidak, tidak."
Maeda tertawa lemah. "Jadi kamu tahu apa ini?" Dia meraup darahnya sendiri, darahnya yang sudah bercampur dengan racun itu.
"Maeda, bertahanlah." Aku menggigit bibirku. Menatap langit sekali lagi. Menghitung jam.
Mata Maeda mulai menutup. Nafasnya semakin samar. Tidak. Maeda tidak boleh mati sia-sia.
Aku mencoba mengingat apa yang bisa kulakukan. Mungkin aku butuh eksplan, semacam gambar tertentu yang bisa digunakan untuk mengaktifkan Forsa. Tapi aku tidak bisa mengingat Eksplan Forsa Penyembuh.
"Maeda?" Aku mencoba menepuk pipinya. Aku bisa melihat alisnya berkedut samar. "Kamu masih bisa mendengar ku?"
Aku merasakan jemari Maeda bergerak. Dia terlihat kesusahan membuka matanya. "Berhentilah berpura-pura, Auratum."
Aku mematung di dalam, berwajah bingung diluar. "Apa maksudmu?"
"Asal kamu tahu, Dersik memberi syarat untuk dapat menerima mu di desa. Aku harus ikut pulang bersamamu, dalam keadaan selamat. Dia sedang menyiapkan pasukan untuk menyerangmu kapanpun kau datang tanpaku."
Maeda bernafas susah payah. Menatapku sinis. "Kamu tidak akan mendapatkan kesempatan itu."
Aku segera merubah wajahku menjadi datar. Ternyata dia sudah tahu kalau semuanya hanya akting. Rotan Maeda memang mengunci forsaku, tapi dengan kekuatan sebesar milikku, aku bisa melepaskan kuncian itu dalam setengah hari.
Siang tadi, kalaupun Maeda tidak ikut terjun ke daerah terlarang, aku tetap bisa selamat. Tapi melihat nya terjebak denganku, aku jadi berpikir untuk menyingkirkan Maeda disini. Aku tidak menduga Maeda bisa membaca rencanaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seruling Angin
AdventureBerbohong atau dibohongi. Berkhianat atau dikhianati. Hanya itu pilihan yang dimiliki Rafles, atau Lily, saat terjebak di dunia di dalam tembok. Yang dia tahu, cepat atau lambat sesuatu yang besar akan terjadi. Dia hanya perlu memutuskan untuk ber...