Aku menyelesaikan perban kain di telapak tangan. Merepotkan saja. Aku bisa menyembuhkan ini kapanpun dengan forsa, tapi saat itu juga Maeda pasti akan merotan tanganku hingga putus.
Aku mengintip langit dari jendela kamar yang terbuka. Mendung. Awan kelabu menutup cahaya matahari yang terbit sebentar lagi. Ini aneh. Padahal saat aku melihat langit tadi malam, ku perkirakan pagi ini akan cerah.
Aku menghembuskan nafas dan meraih seruling ku. Sial. Bagaimana aku akan memainkan nya jika tanganku penuh perban begini. Aku merutuk sejenak, lalu memilih mengurungkan niat dan menyimpan seruling ku dalam tas serut.
Aku membuka pintu dan beralih pada pintu di sebelah ku. Aku mengetuk nya perlahan, berharap tidak mengganggu tidur Dersik.
Engsel bergerak. Daun pintu mengayun dan memperlihatkan sosok perempuan berambut coklat. Dia tersenyum. "Sudah bangun?"
Aku mengangguk malas. "Kamu tidak buta."
Dersik tertawa kecil dan menutup pintu. Sebuah tas kain tersampir di bahunya. "Padahal aku baru ingin membangunkan mu. Kalau begitu, ayo turun."
Dersik mendahului ku menuruni tangga. Aku menatap ke bawah dan mendapati Nifer serta Alkara mengangkut beberapa peti ke arah pintu keluar.
Kami sampai di lantai satu. Dersik celingukan. "Dimana Kak Maeda?"
"Laksamana sedang mengurus beberapa hal. Dia bilang akan kembali sekitar lima belas menit setelah matahari terbit." Alkara menjawab acuh. Tetap fokus pada kerjaannya mengangkat peti.
Dersik mengangguk.
"Bisakah kalian menyingkir? Jangan menutupi jalanku." Seruan kesal Nifer terdengar dari arah belakang.
Aku menyeringai, lalu melangkah mendekati dinding.
Alkara kembali dari luar penginapan, mungkin dia akan mengambil peti kayu yang lain. Tiba-tiba dia berhenti tepat di depanku. Alkara menatap tanganku yang saling melipat di depan dada penuh selidik.
"Apa?" Tanyaku kesal dengan perlakuan nya.
"Ada apa dengan tanganmu?" Alkara bertanya bingung. Dia bahkan mengulurkan tangan dan menarik tanganku pelan.
"Lepaskan, Alkara." Aku sedikit menghentakkan tangannya. "Bukan masalah besar. Hanya sedikit melepuh."
Alkara menatapku khawatir. "Kamu yakin?"
"Kamu pikir aku akan berbohong saat berbicara?" Tanyaku kesal.
"Coba kulihat." Dersik meraih tanganku. Sekilas, benar-benar sekilas dia menyeringai. Aku berusaha untuk tidak percaya pada penglihatan ku sendiri. Dia mengangguk. "Lily benar. Ini akan sembuh tak lama lagi."
"Sudah ku bilang kan." Aku berseringai merendahkan.
Dersik menatapku. "Apa Maeda melecut mu dengan rotan?"
Aku tertegun. "Bagaimana kamu tahu?"
Seketika keduanya tertawa. Hilang sudah raut khawatir mereka.
"Aku pikir kamu kenapa. Ternyata hanya di rotan laksamana itu." Alkara mengusap air mata tawanya.
Nifer yang mendekat menjitak kepalanya pelan. "Jaga ucapanmu bodoh. Kekuatan rotannya tidak main-main."
"Tapi itu kan wajar. Katakan, berapa kali kakakku melakukannya?" Dersik menatapku penasaran.
"Tiga kali."
Sontak tiga orang di depanku menatap tidak percaya. "Benarkah?!"
"Apa itu terlalu banyak?" Aku bertanya balik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seruling Angin
AdventureBerbohong atau dibohongi. Berkhianat atau dikhianati. Hanya itu pilihan yang dimiliki Rafles, atau Lily, saat terjebak di dunia di dalam tembok. Yang dia tahu, cepat atau lambat sesuatu yang besar akan terjadi. Dia hanya perlu memutuskan untuk ber...