08 *Siapa?

4 2 0
                                    

Aku mendongak ke atas, pada atap yang bertumpuk dan saling tumpang tindih. Aku melakukan sedikit peregangan otot, lalu mulai meloncat. Walau kalah dengan Sandle, bukan berarti teknik ku lemah. Aku hanya kurang cepat dan kurang kuat. Kalau memanjat ke atas, tentu aku masih sanggup.

Aku bergelantungan di balkon milik tetangga. Untungnya pintu balkon tertutup, jadi tidak ada acara mandi air cucian. Berayun sejenak, lalu tubuhku melenting ke atas. Kakiku ganti berpijak pada atap. Tapi bukan ini yang ku inginkan.

Ada beberapa balok kayu terukir yang menjadi penghias dinding kayu rumah disampingku. Ujung balok itu mengerucut, membentuk sayap burung. Balok balok itu disusun naik keatas. Aku menggunakannya untuk bergelayut, sesekali meloncat dan berpijak padanya.

Tiba dibalok terakhir, aku melompat ke pagar balkon berikutnya. Aku berpegangan pada tiang, melongokkan ke bawah, melihat seberapa tinggi aku memanjat. Baru empat lantai.

Ini adalah bangunan paling tinggi di komplek penginapan. Aku bisa saja menaiki menara pengawas dinding kota, tapi itu terlalu jauh dan aku malas berjalan.

Aku menarik nafas, memegang pinggiran atap dan melakukan salto.

Dup!

Kakiku mendarat dengan sempurna di atas atap. Aku memperbaiki posisi tali sarung seruling yang hampir mencekik leher. Aku menegakkan pandangan, dan seketika seluruh beban seperti diangkat dari dalam dada.

Warna kuning itu lagi. Semburat oranye yang sama. Bukan, bukan oranye penyemangat seperti saat matahari terbit. Namun oranye tenang milik mentari sore. Semilir angin membelai rambut pirang ku. Aku menutup mata yang berbeda warna kebanggaan ku. Kuning dan biru. Seperti langit saat ini.

Aku membuka mata. Menoleh ke belakang, meratapi indahnya bagian timur yang mulai membiru gelap. Aku mengikuti lengkungan langit, seperti ada garis imajiner di atas sana. Menjadi pembatas antara dominasi biru dan kuning.

Aku mendudukkan diri secara perlahan. Meraih seruling yang tersarung rapi di punggungku. Aku memposisikan nya, melintang ke kanan.

Ku resapi setiap warna di langit itu sekali lagi. Biru, ungu, sedikit merah muda, kuning dan jingga. Aku menarik nafas dalam, lalu mulai meniup seruling ku. Ku tutup mataku, mencoba menghayati setiap nada yang keluar darinya.

Tentang keinginan besar untuk melampaui garis horizon. Harapan untuk memetik bintang dan menari bersama rembulan. Cita dan asa yang digantungkan dengan ribuan tangisan.

Nada tinggi yang keluar menyuratkan ketegasan atas setiap ucapan. Aku ingin. Dan aku akan mendapatkan apa yang ku inginkan. Dengan segala usahaku. Dengan seluruh kekuatanku.

Aku tidak ingat berapa lama melodi itu mengalir. Atau berapa kali aku mengulang bagian reff. Yang aku ingat adalah saat aku membuka mata, bola matahari hanya menyisakan separuhnya.

Aku tersenyum. Memandangi keelokan langit senja. Sang penguasa hari terus turun, hingga tubuhnya menghilang dan menyisakan semburat oranye kemerahan.

Aku tidak menghitung berapa lama aku di sana. Mengamati keramaian pasar yang nampak semakin hidup. Saat siang berjualan bahan baku, malamnya pedagang makanan berjejeran.

Anak-anak kecil terlihat bahagia bersama keluarga mereka. Menarik orang tua atau kakaknya mendekati satu kios ke kios berikutnya.

Sekali lagi aku tersenyum. Kalau aku tak bisa seperti mereka, maka tidak ada yang boleh menjadi seperti ku. Cukup aku saja yang hidup seperti ini. Esok lusa, saat Neirla menyebalkan itu bisa di lenyapkan, aku tak akan membiarkan orang di sekitar ku menderita. Melihat mereka bahagia saja sudah bisa membuatku tersenyum bahkan tertawa.

Seruling AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang