ꉂ ⫹⫺ꜛrevelation (n.)
⌗。 a surprising and previously unknown fact, especially one that is made known in a dramatic way.
⌗。 something is different.
⌗。 he comes clean.
────────────── ・ ・ ・ ・ ⓒ✦Jaemin memegang tas berisi muffin di tangannya, berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar nomor 208. Ia menyenandungkan beberapa lagu yang ia ketahui, sepertinya suasana hatinya sedang cukup baik hari ini.
Membuka pintu kamar Renjun, Jaemin di sambut dengan lambaian tangan oleh Renjun namun bukan itu yang menjadi fokusnya, melainkan sebuah kursi roda yang berada di samping tempat tidurnya.
“Hei Jaemin!” Renjun tersenyum, sebelum mengikuti arah pandangan Jaemin yang tertuju pada kursi roda di samping tempat tidurnya. “Oh, itu, aku…”
"Renjun... " Jaemin mencengkeram kantong muffin di tangan kanannya. "Kenapa... kenapa kau ..."
"Kenapa aku... membutuhkan itu?" Renjun tertawa, meski terlihat jauh lebih sedih dari biasanya. "Tidak apa-apa, sungguh aku akan segera mendapatkan terapi fisik, aku-" Jaemin memotong dengan cepat, "bukan itu maksudku melainkan kondisimu saat ini!" Jaemin sedikit berteriak, mengertakkan giginya yang membuat Renjun tersentak.
"Maaf..." cicit Jaemin saat menyadari kesalahannya.
Renjun tersenyum ke arah Jaemin sebelum pandangannya beralih pada kursi roda di samping ranjangnya, "tidak, tidak apa-apa. Yah... sebenarnya aku baru saja mendapatkannya, aku- ah sial maksudku aku- kondisiku-" Renjun berhenti berbicara, matanya menatap kursi roda itu dengan sedih.
Melihatnya, Jaemin menarik napasnya panjang mengumpulkan keberanian untuk bertanya, "Renjun, aku... ingin tahu... alasanmu... dirawat di rumah sakit?" Renjun sontak mengangkat kepala menatap Jaemin saat pemuda itu menyuarakan rasa penasarannya.
Renjun tersenyum ke arahnya, "ah akhirnya kau menanyakan hal itu. Maaf ya Jaemin, padahal aku terus-terusan menyusahkanmu untuk mengunjungiku." Jaemin hendak menjawab namun bibirnya bungkam saat Renjun kembali mengangkat suaranya.
Jaemin benar-benar ingin menangis saat dirinya mencarinya malam harinya. Menekan tautan pertama yang ia lihat di laman beranda ponselnya, tangannya bergetar pun bibirnya yang menjadi kelu.Ataksia Friedreich.
Dia masih ingat jelas ekspresi takut di wajah Renjun saat menyebutkannya.
Ataksia friedreich (FRDA atau FA) adalah penyakit genetik resesif autosomal yang menyebabkan kesulitan berjalan, hilangnya sensasi di lengan dan tungkai, serta gangguan bicara yang memburuk seiring waktu.
Banyak yang mengembangkan kardiomiopati hipertrofik dan akan membutuhkan alat bantu mobilitas seperti tongkat, alat bantu jalan, atau kursi roda pada usia remaja. Seiring perkembangan penyakit, orang akan kehilangan penglihatan juga pendengarannya.
Orang dengan penyakit awal cenderung menunjukkan gejala yang lebih parah dan meninggal lebih muda.
Jaemin tidak bisa bernapas saat membacanya, air mata mengalir di wajahnya. Sedangkan tangannya dengan panik mencoba menghapus riwayat mengenai informasi yang dibagikan mengenai penyakit itu; tentang penyakitnya, tentang bagaimana tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya, tentang bagaimana Renjun yang akan meninggalkan dirinya.
Matanya bergulir menatap sampul buku Your lie in April volume 2 di atas meja kamar, otaknya memikirkan Renjun dengan penyakitnya; seorang remaja dengan penyakit mematikan, mencoba bertahan hidup tanpa penyesalan. Meninggalkan segala mimpi-mimpinya untuk menikmati sisa hidupnya yang tidak akan lama lagi. Bagi Jaemin itu terdengar seperti lelucon yang begitu memuakkan.
“Renjun pasti tahu mengenai hal ini.” Jaemin berbisik pada dirinya sendiri, dan segera menutup halaman blog yang baru dibacanya (karena jika ia membacanya lagi, Jaemin yakin dia akan muntah). Setelahnya Jaemin hanya duduk di atas tempat tidur, pikirannya kabur dan masih mencoba untuk memahami situasinya saat ini.
Mencoba mencari pelampiasan, Jaemin berjalan keluar dari kamar menuju dapur untuk membuat makanan favoritnya, berharap bisa membantunya melupakan kenyataan mengenai Renjun. Tapi tanpa ia sadar jika Seulgi sejak tadi menatapnya dengan tatapan sedih dari balik dinding dapur.
Keesokannya, seperti biasa Jaemin kembali mengunjungi Renjun di rumah sakit. Meskipun masih belum bisa menerima kenyataan, sebisa mungkin Jaemin tidak ingin menyia-nyiakan waktunya selama ia masih bisa bertemu dengan pemuda itu.
"Berapa lama lagi waktu yang kau miliki?" tanya Jaemin pada Renjun yang saat ini sangat sibuk dengan buku sketsanya (pemberian Jaemin beberapa hari lalu) Renjun mengenggam erat pensilnya mendengar pertanyaan Jaemin.
Ia menoleh ke arah Jaemin dan tertawa, "benar-benar kalimat yang kasar." ujarnya, tak peduli bagaimana reaksi Jaemin, Renjun memalingkan wajahnya pada sketsa yang baru digambarnya, "jujur aku sendiri tidak tahu. Itu tergantung seberapa buruk kondisiku, seberapa cepat otot-ototku melemah, seberapa cepat aku tidak bisa bicara dan seberapa cepat aku tidak bisa melihat." Renjun terdiam sebentar setelah mengatakannya.
Sementara Jaemin hanya terdiam, dia tidak bisa memberi kalimat positif untuk menyemangati Renjun karena jujur ia sendiri tidak bisa membayangkan rasa sakit yang harus di alami Renjun untuk melawan penyakitnya.
"Aku... aku tidak tahu berapa banyak waktu yang tersisa." Jaemin hanya mengangguk berusaha memahami, dia tidak yakin harus mengatakan apa untuk membalasnya jadi hanya permintaan maaf yang terlintas di pikirannya. "A-aku minta maaf."
Renjun menoleh ke arah Jaemin, tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, "aku tahu ini tidak baik-baik saja, tapi...jangan merasa bersalah karena hal itu. Maksudku kau seharusnya tidak merasa bersalah seperti ini karena yah ini bukan salahmu. Hanya saja aku- aku merasa kenapa harus aku yang mengalaminya, tentu saja aku tidak ingin orang lain mengalaminya tapi kenapa harus aku-" Renjun tidak bisa melanjutkan ucapannya dan Jaemin memahami itu.
"Hidup itu menyebalkan, benar?" timpal Jaemin, karena sejujurnya hanya itu yang bisa ia katakan saat ini dan yang tidak ia sangka itu membuat Renjun tertawa terbahak-bahak padahal Jaemin tidak mengerti dimana letak kelucuan ucapannya.
“Ya, itu benar.” balas Renjun setelah berhenti tertawa, ia merogoh lacinya dan mengeluarkan koleksi manga miliknya, "Assasination classroom volume 6, untukmu." ujarnya menyodorkan buku tersebut pada Jaemin.
"Terima kasih." balas Jaemin kemudian memasukkannya ke dalam tas.
"Itu adalah manga yang masih on going, dan aku tidak tahu apakah dengan keadaan seperti ini aku bisa membaca endingnya. Itu sangat menyebalkan karena aku sangat menyukai manganya." kata Renjun membuat atensi Jaemin terfokus padanya.
"Ya Tuhan, itu sangat aneh untuk dipikirkan." Renjun terkekeh menyadari ucapannya. “Aku mungkin akan mati sebelum Assasination classroom selesai." lanjutnya.
"Maafkan aku." ujar Jaemin sambil memainkan jari-jarinya berusaha menghindari kontak mata dengan Renjun, "aku berjanji akan menyelesaikannya saat volume lain keluar. Aku juga akan menyelesaikan membaca Your lie in April."
"Itu janji yang luar biasa Jaemin." Renjun tersenyum sampai membuat matanya tersenyum, "kau benar-benar harus menepati janjimu jika tidak aku akan menghantuimu di surga atau dimanapun." ujar Renjun bermaksud bercanda.
“Bisakah kau benar-benar melakukan itu?” siapa yang tahu jika Jaemin benar-benar menganggapnya serius seperti sekarang. "Aku akan mencari tahu caranya." Renjun tertawa terbahak-bahak dan tanpa sadar Jaemin juga mulai ikut tertawa bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[三]Everything Stays | Jaemren✔
Fanfiction[Complete] •Everything stays (but it still changes) Jaemin bertemu dengan Renjun di ruangan 208, ruangan dimana ibunya menghembuskan napas terakhirnya. WARN⚠ 📎 Content Boys Love 📎 Alternative Universe 📎 Out of Character 📎 Typo(s) 📎 Etc. REMA...