Intermezzo; c.9

1.7K 189 8
                                    

Jaemin pergi ke rumah sakit untuk kesekian kalinya minggu itu, tangannya berada di saku jaket sementara hidungnya ia kuburkan pada syal rajutan merah anggur yang melindunginya dari cuaca dingin.

Ngomong-ngomong ini adalah akhir September dan musim gugur benar-benar tidak memberi ampun, rasa dingin yang begitu menusuk membuat semua orang seperti merasakan musim dingin lebih awal.

Sudah satu bulan sejak Renjun mengunjungi rumahnya, dan sejak saat itu, Jaemin menyadari bahwa pergi ke rumah sakit telah menjadi rutinitas hariannya selama ini. Dan bahkan jika dia tidak datang, dia masih akan menghabiskan hari-harinya dengan mengirim pesan ke Renjun, baik itu teks, email, atau obrolan video sesekali.

Dia menghembuskan napas melalui hidungnya dan memasuki rumah sakit, menyapa wanita di meja resepsionis (yang sekarang mengenal dirinya), dan melepas syal merah tadi dari lehernya.

Dia berjalan menyusuri koridor dan menyapa wajah-wajah yang juga sudah dikenalnya, mengitari sudut yang dia tahu akan membawanya ke kamar Renjun. Ia menghela napas lambat dan santai, tetapi dia langsung menahan napasnya ketika melihat orang lain duduk di luar kamar Renjun, tempat para pengunjung dapat menghabiskan waktu mereka.

Jaemin menatap pria itu untuk waktu yang lama, tahu bahwa dia tidak akan melihat ke atas untuk menatapnya. Kepalanya menunduk, dan perhatiannya hanya tertuju pada ponsel genggam yang ada ditangannya.

Biasanya, Jaemin akan pergi begitu saja untuk mengunjungi Renjun, tapi saat dia mendekati kamarnya, dia bisa mendengar dua suara datang dari dalam. Salah satu suara itu milik Renjun, sedangkan yang lainnya, dia tidak tahu. Jaemin berhenti dan mencengkeram tali tasnya.

Ragu-ragu, dia hendak berbalik, berputar dengan satu kaki untuk menatap kembali pada pria yang duduk di depannya yang terlihat kesepian.

Merasa tidak sopan menyela percakapan Renjun dengan siapa pun orang itu di dalam sana, Jaemin melangkah ke kursi dan duduk satu kursi jauhnya dari pria asing itu.

Jaemin menepuk celananya dengan pelan sebelum mengangkat suaranya ragu.

"... Apakah kau di sini untuk melihat Huang Renjun?" Jaemin bertanya dengan nada datar.

"Tidak. Temanku." Yang lainnya berbicara dengan suara pelan, rendah dan merenung. Atau mungkin tidak merenung, tetapi lebih seperti apatis.

Apatis-kun. Nama panggilan itu muncul di kepala Jaemin sesaat. Dia tidak terlalu yakin kenapa menjulukki orang asing di sampingnya dengan panggilan itu.

"Apakah temanmu itu teman Renjun?"

"Ya. Seorang teman lama." Dia berhenti memainkan ponselnya dan mengetukkan salah satu ujung ponselnya ke telapak tangannya yang terbuka. "Mereka dulu masuk di klub seni yang sama."

Jaemin bersandar di kursinya. "Ah. Begitu." Dia merasa perlu untuk menahan sebagian besar pertanyaannya. Orang di sampingnya sepertinya bukan tipe orang yang bersosialisasi secara terbuka  一mirip dengannya, jadi dia pikir pertanyaan sederhana tidak akan menjadi masalah, terutama jika dia menyimpannya seminimal mungkin.

"Bolehkah aku menanyakan namamu?" Jaemin mencobanya.

Jempol kecil digosok di layar sistem untuk menghilangkan noda. Dia mendongak, menatap Jaemin dan menegakkan punggungnya dengan cara sekecil mungkin. "Watanabe Haruto."

Dia merasa bisa menikmati kebersamaan dengan Haruto,"Senang bertemu denganmu, Watanabe-san."

"Haruto saja." Dia melihat kembali ke layar ponselnya.

Jaemin mengangguk, tidak lupa mengenalkan dirinya juga pada Haruto. Tiba-tiba sebuah suara terdengar yang berhasil membuat Jaemin terkejut.

"Haruto-kun, kau sedang berbicara dengan siapa?" tiba-tiba muncul seseorang dari kamar Renjun dengan rambut blonde yang menggantung menutupi wajahnya dan menjulur ke segala arah. Dia membawa raut wajah yang membuatnya tampak seperti orang linglung, dan matanya beralih dari Haruto ke Jaemin, lalu kembali lagi ke Haruto.

[三]Everything Stays | Jaemren✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang