Bagian 23

27 0 0
                                    


Aku terbangun di siang hari. Aku tertawa sendiri karena hal kali ini lucu. Kami tidur di pagi hari dan bangun di siang hari. Aku memutuskan untuk mandi, badanku sudah sangat bau. Setelah mandi aku ke dapur untuk memasak makanan untuk siang ini.

Beberapa makanan sudah selesai aku masak. Aku termasuk jago dalam memasak. Jadi hal memasak jenis-jenis makanan adalah keahlianku. Mas Fino menghampiriku ke dapur dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Aku tertawa melihat Mas Fino yang sudah sangat lapar.

"Kamu udah sehat?" tanya Mas Fino sambil mencium puncak kepalaku.

"Udah dong." Aku menarik Mas Fino untuk duduk di kursi. "Kita makan dulu."

Aku menyendokkan nasi ke atas piring Mas Fino. Setelah ini aku harus menjadi lebih baik dari kemarin. Semua perempuan merasa beruntung jika memiliki Mas Fino di hidupnya. Dan aku akan membuat kalau aku termasuk perempuan yang beruntung.

"Skripsi kamu cepat-cepat dikerjakan. Kalau nggak tahu bisa tanya Mama atau Mas," ucap Mas Fino sembari mengunyah.

"Kenapa harus cepat-cepat? Kan aku udah nikah dan tugas aku cuma di rumah, yang kerja kan mas."

"Masa kamu nggak malu sama anak kita nanti kalau ibunya telat lulus."

"Gampang. Nanti tinggal aku bilang kalau aku lulusnya cepat."

"Naura !"

"Iya-iya, Pak Bos. Nanti aku tanya sama Ibu Felin, eh maksudnya Mama." Sebutan Mama untuk Ibu Felin masih belum terbiasa untukku.

"Kamu di kampus manggil Mama apa?"

"Ibu Felin lah. Nggak enak sama yang lain."

"Panggil aja Mama. Nggak papa," kekeh Mas Fino. "Biar orang tahu kalau kamu punya Mama mertua di kampus."

"Hmm sebenarnya udah tahu semua. Dosen-dosen juga tahu. Mama sering banget mempermudah aku. Jadi dosen suka segan sama aku." Menajdi menantu dari ketua jurusanku membuat aku tidak seasik dulu. Semuanya seperti menjaga jarak dan merasa segan denganku.

"Nggak papa, lagian sebentar lagi kamu wisuda. Tahun depan kan?"

"Semoga aja," kekehku. Karena aku sendiri belum yakin untuk lulus dengan cepat. "Nanti setelah lulus aku kerja dimana?"

"Itu urusan nanti. Kamu lulus aja dulu baru mikirin kerja."

"Kerja itu enak kan Mas. Punya duit sendiri. Nggak pakai minta sama orang lain. Mau shopping nggak ada yang marah, mau pulang malam juga nggak ada yang marah."

"Nggak kok. Kerja itu nggak enak. Kamu bakal dimarah sama bos kamu. Kamu juga disuruh naik tangga nggak boleh pakai lift. Terus kamu nggak boleh makan siang."

"Serius? Kejam banget. Nggak berperikemanusiaan banget."

"Itu udah aturan dari sana."

"Bohong. Mas bohong. Pasti bohong. Aku tahu!" ucapku sambil memincingkan mataku karena Mas Fino sedang menakut-nakutiku.

"Nggak. Mas nggak bohong. Kalau nggak percaya tanya aja sama yang lain." Pikiranku mulai membayangkan kejamnya dunia kerja. Dan mungkin ucapan Mas Fino ada benarnya. Kalau bisa memilih, aku lebih baik kuliah terus, daripada kerja tapi harus melewati semua penderitaan.

Selesai makan, aku dan Mas Fino mencuci piring. Meski aku selalu melarang Mas Fino untuk membantu tapi mas Fino terus saja memaksa. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 3 sore. Aku memilih menonton TV bersama Mas Fino. Sebenarnya aku hanya menemani Mas Fino menonton TV karena semua siaran tentang berita semua.

Friends Live Forever [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang