Mobil Mas Fino berhenti di depan rumahku namun aku tidak beranjak dari dudukku. Aku pura-pura tidak menyadari kalau saat ini aku sudah berada di depan rumahku.
"Yuk, turun," ucap Mas Fino, membuat aku tersenyum karena pasti Mas Fino kesal melihatku yang hanya berdiam saja di tempatku saat ini.
"Nggak mau," jawabku cepat.
"Kenapa lagi Naura? Hari ini udah malam. Besok Mas mau kerja." Ucapan Mas Fino membuat aku memayunkan bibirku. Deritaku saat aku berpacaran dengan orang yang mencintai perkerjaannya.
"Nggak usah lebay. Sekarang masih jam 8. Lagian Mas nggak mungkin kan tidur jam 8. Tidur jam 10 ke atas nggak bakal buat Mas telat kerja kok. Lain kali kalau aku ganggui urusan pekerjaan Mas, kasih tahu aku biar aku sadar diri kalau aku itu nggak pentingnya sama sekali kalau dibandingkan sama pekerjaan Mas," ucapku panjang lebar.
"Nggak usah marah gitu." Aku terkejut saat Mas Fino mencubit kedua pipiku.
"Lepasin nggak! Sakit!" Aku meringis kesakitan sambil memukul tangan Mas Fino agar melepaskan cubitannya.
Akhirnya Mas Fino melepaskan cubitannya. Menyebalkan. "Kenapa cubit-cubit segala? Mau nyiksa aku? Iya? Dasar jahat!" Aku terus saja marah di hadapannya. Aku sangat sensitif saat Mas Fino membahas pekerjaannya. Aku tahu pekerjaannya memang penting untuk dia mendapatkan uang. Tapi kehadiranku seharusnya juga setara dengan pekerjaannya. Kupikir itu hanya keinginanku yang terlalu jauh. Nyatanya Mas Fino tetap menomor sekiankan aku dari kehidupannya.
"Perasaan Mas, kemauan kamu udah Mas turutin semua. Kamu mau nonton kayak teman kamu, udah Mas turutuin. Kamu mau ini itu udah Mas turutin. Sekarang kenapa masih marah-marah sama Mas ?" Saat ini raut muka Mas Fino sudah berubah datar dan sebentar lagi jika aku terus saja memancing emosi nya, ia akan marah kepadaku.
"Iya, maaf." Aku harus meminta maaf bukan berarti aku salah. Tapi karena aku takut Mas Fino marah dan membuatku takut.
"Buruan turun, besok kamu kuliah. Kamu belum belajar," ucapnya datar.
"Iya iya, tapi jangan cuek kayak gitu. Aku jadi serba salah," ucapku terus terang.
"Siapa yang cuek?" Kedua bola mata Mas Fino memandangiku dengan tajam hingga membuatku ingin terus menghindari dari tatapannya.
Aku menjauhkan badanku dari Mas Fino yang sedikit mendekat ke arahku. Nafasku sangat sulit. Aku tidak kuat lagi harus menahan nafas karena tatapan Mas Fino.
"Jangan kayak gitu, aku takut," pekikku yang memeluk Mas Fino.
"Eh Mas becanda."
"Mas, jangan kayak gitu lagi." Perlahan Mas Fino memaksaku untuk melepaskan pelukanku. Kedua tangan Mas Fino berada di kedua pipiku.
"Mas sayang kamu," ucapnya. Kepalaku yang tadinya menunduk, sekarang menatap wajah Mas Fino. Dia tersenyum lembut padaku. Kupastikan dia laki-laki yang akan menyayangiku nantinya.
Mas Fino mengecup puncak kepalaku. Aku sangat gugup sekaligus senang. "Kita cuma butuh waktu untuk saling memahami."
"Aku menyebalkan ya, Mas." Mas Fino tersenyum. Aku tahu pasti jawabannya iya tapi ia tidak mau mengatakannya.
"Mas, memangnya aku kayak anak kecil ya?" tanyaku.
"Sedikit."
"Mas kenapa bisa suka sama orang yang nggak bisa besikap dewasa kayak aku? Kenapa nggak teman sekantor Mas aja? Dan teman yang Mas temui tadi juga dewasa kok."
"Mas, nggak mau. Mas maunya kamu," ucapnya. Aku tersipu malu. Tanpa aku sadari aku memeluk Mas Fino dengan erat. Awalnya aku merutuki kelakuanku tapi saat aku merasakan Mas Fino membalas pelukanku, aku tidak menyesal karena sudah tiba-tiba memeluk Mas Fino.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends Live Forever [END]
Novela JuvenilDi liburan semesterku, aku menemani mama ke kantor pajak. Di sana aku bertemu dengan pegawai pajak yang tersenyum padaku. Aku memangilnya 'Om' karena kupikir dia lebih tua dariku. Sampai di awal masuk kuliah, di kampusku diadakan sosialisai dari kan...