Aku sengaja meminta Diah menjemputku pagi ini karena nanti sore Mas Fino akan menjemputku. Padahal Mas Fino akan memjemputku sore nanti, tapi sekarang aku sudah merasa gugup karena akan bertemu dengan Mas Fino dengan setelan kerjanya dan menyapaku sambil menatap mukaku yang kusam nanti. Memikirkan itu saja membuatku bahagia. Membayangkan senyuman yang sangat lembut dari Mas Fino.
"Naura!!" panggil Diah membuyarkan khayalanku.
"Apaan sih?" tanyaku yang kesal.
Telapak tangan Diah berada di dahiku. Aku menatap Diah kebigungan. Apa yang sedang ia lakukan?
"Lo nggak sakit atau sakit jiwa kan, Ra?" tanya Naura cemas.
Aku menurunkan tangan Diah dari dahiku. "Nggak!" jawabku cepat.
"Kenapa sih lo senyum-senyum sendiri. Eh, ini masih pagi, jangan stress dulu, belajar aja belum, udah strees aja," ledek Diah.
"Berisik lo!" Aku meninggalkan Diah yang tertawa di depan rumahku dan aku langsung masuk ke dalam mobil, seperti mobil ini milikku.
"Tumben banget lo minta dijemput," ucap Diah.
Suara deringan ponsel membuatku mengurungkan niatku untuk menjawab ucapan Diah. Tanpa kusadari, aku tersenyum melihat nama Mas Fino di layar ponselku. Aku menatap lama layar ponselku. Aku masih sedikit tidak percaya kalau saat ini Mas Fino menajdi milikku. Diah memanjangkan lehernya untuk mengintip siapa yang menelponku pagi ini. Beruntungnya gerakanku cukup cepat untuk menjauhkan ponselku dari penglihatan Diah.
Diah berdecak kesal. Aku tak perduli karena saat ini aku akan mendengar suara Mas Fino yang lembut.
"Hallo," ucapku setelah menggeser layar ponselku. Aku sengaja tidak menyebut 'Mas ' karena Diah akan langung mengetahui siapa yang menelponku pagi ini.
"Udah di kampus belum?" tanya Mas Fino.
"Belum."
"Kenapa?"
"Soalnya Diah nggak jalani mobilnya. Aku di dalam mobilnya sekarang karena nanti sore Mas kan yang jemput kan?" tanyaku memastikan. Diah tersenyum jahil padaku. Aku rasa, dia sudah tahu dengan siapa aku berbicara. Setelah aku mematikan telepon Mas Fino pasti dia akan meminta penjelasan padaku. Baiklah, akan aku jelaskan. Tapi saat ini aku ingin fokus mengobrol dengan Mas Fino.
"Suruh di jalankan mobilnya," ucap Mas Fino.
Aku menatap Diah. "Jalankan nih mobil. Lo mau telat," ucapku ketus.
Diah mulai menghidupkan mesin mobilnya sambil mengomel pelan. Aku tidak mendengar tapi aku melihat mulutnya yang mengomat-ngamit.
"Jangan judes kayak gitu ah. Nggak bagus, kamu yang mintak tolong masa kamu yang ngebentak kayak gitu," ucap Mas Fino yang medengar saat aku menyuruh Diah menjalankan mobilnya.
"Iya maaf. Kan udah jadi kebiasaan. Mereka paham kok," belaku.
"Iya, tapi diubah. Selagi ada niat masihbisa diubah."
"Mas, ini mau ceramahi aku pagi-pagi. Aku berharap Mas nanyain aku tentang apa gitu," gerutuku.
"Emang kamu mau Mas tanyai apa?"
"Nggak usah. Lupakan aja. Mas bikin aku kesel pagi ini. Ya udah nanti nggak usah jemput aku, aku pulang sama Diah. Aku nggak mau ketemu Mas Fino. Titik!" bentakku sambil mematikan panggilan Mas Fino secara sepihak.
"Kenapa lo?" tanya Diah, saat aku melemparkan ponselku ke dasbort mobil Diah.
"Bukannya dapet perhatian di pagi hari, malah dapet ceramah. Emang kayak gitu nasib pacaran sama orang yang udah dewasa dan punya pemikiran yang dewasa juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Friends Live Forever [END]
Fiksi RemajaDi liburan semesterku, aku menemani mama ke kantor pajak. Di sana aku bertemu dengan pegawai pajak yang tersenyum padaku. Aku memangilnya 'Om' karena kupikir dia lebih tua dariku. Sampai di awal masuk kuliah, di kampusku diadakan sosialisai dari kan...