Bagian 15

67 1 0
                                    


Semenjak Mas Fino tinggal di rumahnya sendiri. Aku jadi semangat memasak. Mas Fino selalu sarapan pagi di luar. Jadi aku harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan untuk Mas Fino.

"Ma, aku pergi dulu ya," pamitku saat aku sudah memasukkan makanan untuk Mas Fino ke dalam tas.

Aku menggunakan motorku untuk ke rumah Mas Fino. Rumah Mas Fino sedikit jauh dari rumahku. Tapi jalanan di pagi hari masih sepi membuat aku dengan lancar melintasi jalan raya.

Aku mengetuk rumah Mas Fino. Rumahnya terlalu besar untuk ditempati sendiri. Aku memecet bel beberapa kali hingga Mas Fino membuka pintu dengan raut muka kesalnya. Aku tertawa pelan karena aku sama sekali tidak mengeluarkan suara. Mas Fino pasti mengira aku orang lain.

"Naura," tegurnya. Aku langsung masuk saja ke dalam rumah Mas Fino tanpa dipersilahkan oleh Mas Fino. Toh, ini bakal menjadi rumah masa depanku bersama Mas Fino nanti. Aku tidak sabar menantikan hal itu terjadi di hidupku.

"Kenapa pagi-pagi ke sini?" tanya Mas Fino yang mengekoriku dari belakang. Aku melirik ke belakang. Mas Fino baru saja habis mandi. Rambutnya masih berantahkan. Saat aku masuk ke dalam rumah Mas Fino, aku langsung membuka seluruh jendela rumah Mas Fino.

"Aku mau nyiapkan sarapan buat Mas Fino. Aku kan libur kuliah jadinya aku masih bisa buatkan Mas Fino sarapan," ucapku sambil menatap matanya yang sedang keheranan di mukanya.

"Tapi jalanan masih sepi Naura. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Jangan khawatirkan Mas, Mas bisa nyari sarapan sebelum ke kantor nanti," jawabnya. Aku tahu maksudnya baik tapi dia tidak menghargai pengorbananku hari ini.

"Makanan di luar nggak sehat, masakan aku ini baru sehat," ucapku mengalihkan marahnya Mas Fino. Aku menyajikan makanan yang kubawa.

"Iya, nanti kamu juga bakal masakin Mas tiap hari tapi saat ini kamu jangan bahayakan diri kamu sendiri." Aku hanya diam sambil meletakkan kedua tanganku di dagu. Mas Fino mulai menyantap makanan yang kubawa.

"Ini kamu yang masak?" tanyanya setelah ia selesai sarapan.

Aku tersenyum karena senang ia mulai bertanya tentang sarapanku. "Iya, gimana enak?" tanyaku.

Mas Fino diam, membuat aku penasaran dengan jawabannya. "Enak." Aku tersenyum mendengar. Usahaku memuahkan hasil. Senangnya.

"Udah cocok jadi istri Mas," tambahnya. Aku tersipu malu. Apa yang baru aku dengar membuatku ingin terbang rasanya. Aku merasakan kedua pipiku memanas.

"Kenapa kau diam gitu?" tanya Mas Fino menggodaku.

"Nggak ada," jawabku sambil menyembunyikan mukaku dengan kedua tanganku.

"Nggak usah malu. Cepat atau lambat itu akan terjadi."

"Tunggu aku lulus kuliah dulu." Aku menutup mulutku. Apa yang kukatakan barusan? Aku mengakui bahwa aku mau menjadi istrinya.

Mas Fino tersenyum memang. Jelas saja, dia baru saja mendengar pengakuanku secara langsung. "Kenapa harus tunggu lulus? Mahasiswa kan diperbolehkan menikah." Aku juga masih bingung. Aku takut waktu habis untuk keluargaku nanti.

"Nanti tugas aku banyak dan aku nggak bisa ngurusin rumah, ngurusin Mas." Itu termasuk alasan, mengapa aku ingin menikah setelah lulus kuliah.

"Kan ada Mas. Mas nggak akan maksa kamu ngurusin rumah. Kita sama-sama yang ngurusin. Tugas kamu nanti Mas bantuin kerjakan." Aku memikirkan sesaat. Bisakah?

"Mas kan juga ada tugas dari kantor." Aku terus saja mencoba mencari alasan untuk tidak menikah sekarang. Aku belum siap untuk menjalankan tugasku nanti. Aku tidak terlalu terbiasa mengurus segalanya, ditambah lagi aku harus menyelesaikan kuliahku. Aku takut tidak bisa menanggung beban sebanyak itu. Nanti kalau aku punya anak bagaimana? Kewajibanku akan bertambah.

Friends Live Forever [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang