2. Jalan pulang

348 37 4
                                    

"KAY PLIS BANTUIN GUE YA!! PLISSS." Nina merengek disaat aku sedang asyik-asyiknya menyantap batagor abang-abang.

Nina itu satu-satunya teman yang saya punya di kampus ini. Sebenarnya aku merasa aneh anak se-sempurna Nina mau berteman dengan aku. Nina itu sangat cantik, tidak ada yang tidak mengakui bahwa dirinya cantik. Nina memiliki badan proposional yang dinginkan oleh gadis-gadis diluar sana, kepribadiannya sangat ramah hingga setiap minggunya ada saja lelaki yang mencoba peruntungan untuk mendekati dirinya. Dan 1 lagi, Nina berasal dari keluarga yang sangat amat mampu, bahkan dia tinggal sendiri di apartement mewah yang berada di tengah-tengah ibukota.

Ketika saya cari tahu, harga sewa apartemen Nina setara dengan ukt saya selama berkuliah disini. Gila bukan?

Hanya ada 1 kekurangan Nina, dia tidak begitu pandai menguasai mata kuliah-mata kuliah di kampus, setiap dia diberi tugas, tidak pernah sekali pun Nina tidak meminta bantuan dari aku. Awalnya aku pikir Nina mau berteman dengan aku karena ingin memanfaatkan otak aku.

Namun ternyata tidak, Nina benar-benar tulus ingin berteman dengan ku, terbukti ketika aku butuh sesuatu pasti dia akan menolong, dia akan membela aku ketika teman-teman yang lain mulai membicarakanbahwa aku berteman dengan Nina hanya untuk "panjat sosial." Dan jangan lupakan, setiap bulannya Nina yang selalu mengisi paket internet dan mengirim beras 5kg ke kosan aku!

Awalnya aku merasa sungkan diperlakukan seperti itu, namun ketika aku berusaha menolak pemberiannya, dia pasti akan memberiku 2x lipat dari biasanya ia kasih. Karena itulah aku membalas itikad baiknya dengan sering menyuruh Nina ke kosan aku dan dengan sukarela aku akan memasakan makanan untuk dirinya.

"Ya Kay?? Gue beliin lo lilin terapi yang varian baru deh!" tawar Nina

Aku terperanjat seketika, memang benar aku sangat menyukai aroma lilin terapi, tapi aku tidak menyukai kalau Nina selalu memberiku sesuatu saat aku akan membantunya menyelesaikan tugas kuliah. Aku sangat ikhlas saat Nina meminta tolong ke aku, aku tidak pernah meminta imbalan. Serius.

"Nin, gue bakal bantuin lo dengan ikhlas, jadi nggak perlu gue ngasih sesuatu terus ke gue. Orang tua gue masih sanggup menghidupi gue Nin."

"ya kenapa sih Kay? Kan lo udah nolongin gue, lagipula gue juga ikhlas kok pengen ngasih lo."

"iya tapi nggak udah beliin gue terus, mending uangnya lo tabung untuk beli sesuatu yang lo inginkan."

"tapi gue selalu punya uang kalo mau beli sesuatu.." cicit Nina

Oke aku melupakan hal itu. menabung untuk membeli sesuatu tidak ada di dalam kamus Nina. Ketika Nina ingin sesuatu, kartu debit berwarna hitam di dompetnya akan langsung bekerja.

"yaudah mau kerjain dimana?" tanyaku

"di kostan lo aja boleh gak hehehe."

Aku tau kemana arah pembicaraan Nina, "mau gue masakin apa?" tanyaku

"apa aja! masakan lo semuanya gue suka." Ucapnya sambil tersenyum lebar.

"yaudah sabtu sore. Gue mau rapih-rapihin kosan dulu."

"oke siap komandan! Kalo gitu gue kelas dulu ya, bye."


-


Jarak dari kampus ke kosan ku memang tidak terlalu jauh, hanya 10 menit jalan kaki. 10 menit itu suka aku manfaatkan untuk mengamati sekitar, seperti gedung apartemen yang makin hari makin menjulang tinggi, warung kopi yang bulan lalu baru launching kian banyak pengunjungnya, sampai anak lelaki ibu warteg samping gang kosan ku kini tingginya hampir menyetaraiku.

Banyak hal-hal kecil yang sebenarnya bermakna namun tidak pernah kita sadari. Mungkin hari ini tidak terasa penting, tapi aku yakin pasti ada waktunya  aku akan merenung dan berkata "andaikan gue dulu.."

KANIGARA | Hendery✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang