5. Studio

252 34 1
                                    


Sudah hampir 1 bulan aku tidak berinteraksi dengan Gara, bukannya disengaja, hanya saja takdir seakan tidak mengizinkan aku untuk membuat moment baru bersama Gara. Entah aku yang langsung pulang ketika selesai kuliah atau Gara yang langsung pergi ke studio setelah selesai kelasnya. Keadaan seperti itu yang membuat kami tidak pernah berinteraksi.

Selain itu, eksistensi Gara benar-benar semakin bersinar, hal itu membuat aku semakin merasa jauh dari Gara. Aku tidak berbohong. Sering kali aku melihat Gara sedang dikerubuni oleh orang-orang, seakan Gara tidak diizinkan untuk sendirian di kampus ini.

Sebenarnya aku ikut senang Gara dikelilingi banyak orang, karena saat berada di sekitar teman-temannya, Gara selalu tampak bahagia. Dia selalu memancarkan aura positif melalui senyumannya. Kadang aku juga berharap mendapatkan aura positif itu secara langsung dari Gara.

Tapi tak apa, melihat senyuman Gara dari jauh saja sudah lebih cukup untukku.

"kita nggak mau keluar kelas nih?" tanya Gara sambil melihat keadaan kelas yang sudah kosong

Seperti biasa, aku tengah menunggu kelas sepi sebelum aku memutuskan untuk keluar kelas. Namun kali ini tidak sendiri, kali ini Gara juga ikut menunggu. Namun bukan tanpa alasan Gara ikut menunggu kelas sepi bersamaku kali ini, kami ditempatkan di kelompok yang sama. Sebenarnya dengan 1 anak lagi, tapi dia langsung ada kelas sementara aku dan Gara sudah tidak ada kelas lagi setelah ini.

Aku sudah menawarkan opsi untuk membagi tugas saja, tapi Gara bersikukuh untuk mengerjakan tugasnya bersama-sama alasannya sih, "gue nggak ngerti Cil, daripada lo nanti marah-marah karna tugasnya nggak bener, mending kita ngerjain bareng-bareng."

Padahal mana pernah aku marah-marah, aku tipe orang yang tidak bisa marah sama sekali. Biasanya, kalau aku sudah marah aku hanya bisa diam dan ujung-ujungnya menangis sendirian.

Tapi aku pernah sekali mencoba marah, namun ketika marah-marah, suaraku lama-kelamaan bergetar dan pada akhirnya aku tetap menangis juga. Hhhh memang anaknya sangat cengeng.

"ini mau keluar." Ucapku sambil bersiap bangkit.

"kalo gue perhatiin, kayaknya lo itu selalu keluar kelas paling terakhir bahkan sampe kelas bener-bener kosong. Kenapa dah?"

"nggak apa-apa, kalo langsung keluar kelas rame, nggak suka gue."

"rame apanya sih Cil?"

"ya rame, lorong banyak orang kayak di pasar, lift ngantri. Mending nunggu sepi dulu."

Gara terlihat menatapku aneh, mungkin dia berfikir aku berlebihan karena selalu menunda keluar kelas dengan alasan tidak suka keramaian.

"terus lo sekarang mau kemana? Kita nunggu Cindy selesai kelasnya dulu kan?"

Cindy anak yang aku maksud tadi, sekelompok denganku dan juga Gara.

"kayaknya gue nunggu di perpus aja deh, nanti kita janjian di taman baca aja kalo Cindy udah selesai kelasnya."

"ikut gue aja yuk."

"kemana?"

"studio."

Aku membelakkan mata, bukannya apa. Aku tidak pernah menginjakkan kaki ke ruangan-ruangan sekretariat UKM yang ada di fakultasku. Sebagai mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang-kuliah-pulang, aku sangat merasa asing dengan ruangan sekretariat keorganisasian di fakultasku.

Dengan teman seangkatanku saja aku tidak akrab, bagaimana kalau aku main ke ruangan sekretariat yang berisi anak-anak dari berbagai angkatan. Bisa mati kutu aku kalau masuk ke ruangan-ruangan itu.

Memang paling benar perpustakaan, ruangan itu begitu tenang untuk aku singgahi sambil menunggu kelas berikutnya.

"enggak ah, gue ke perpus aja." tolakku

KANIGARA | Hendery✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang