August: Makan Siang

1 1 0
                                    

Via pernah bercerita tentang bagaimana makan siang di sekolah menengah, jadi seharusnya aku tahu hal itu akan sulit. Tapi aku tidak menyangka akan sesulit ini. Pada dasarnya, semua anak-anak dari kelas lima berhamburan ke kafetaria pada waktu yang sama, berbicara dengan kerasnya dan saling bertabrakan satu sama lain saat mereka berlari ke meja yang berbeda. Salah seorang penjaga kantin mengatakan sesuatu tentang tidak boleh memesan tempat, tapi aku tidak tahu apa maksudnya dan mungkin memang tidak ada yang tahu, karena hampir semua orang menempati tempat untuk temannya. Aku mencoba duduk di salah satu meja, tapi anak yang duduk disebelahnya berkata, 

"Oh maaf, tempat ini sudah ada yang menempati."

Jadi aku berpindah ke meja yang kosong dan menunggu semua orang selesai menyerbu. Guru penjaga memberitahu kami apa yang harus dilakukan selanjutnya, dan saat dia memberitahukan itu, aku melihat ke sekeliling untuk melihat dimana Jack Will duduk, tapi aku tidak tahu apakah dia di pihakku.

Anak-anak masih berdatangan selagi guru mulai memanggil beberapa meja untuk mengambil nampan dan mengantre di barisan. Julian, Henry, dan Miles duduk di meja di belakang ruangan.

Mom memberiku sandwich keju, biskuit, dan box jus, jadi aku tidak usah mengantri saat mejaku dipanggil. Sebaliknya, aku malah berkonsentrasi membuka bekalku, menariknya dan perlahan membuka aluminum foil yang membungkus sandwichku.

Aku tahu kalau aku sedang dipandangi tanpa harus mendongak memastikan. Aku tahu kalau orang-orang saling menyenggol, mengawasiku dari sudut matanya. Aku pikir aku sudah terbiasa dengan ini, tapi sepertinya tidak.
Disana ada satu meja para cewek yang aku tahu sedang membicarakan aku karena mereka bicara dibalik tangannya. Mata dan bisikannya terus tertuju padaku.

Aku benci caraku makan. Aku tahu betapa anehnya itu. Aku pernah menjalani operasi untuk memperbaiki celah bibirku ketika aku bayi, lalu operasi yang kedua saat umurku empat tahun, tapi aku masih memiliki celah bibir. Meskipun aku sudah menjalani operasi penyesuaian rahang beberapa tahun yang lalu, aku harus mengunyah makanan di bagian depan mulutku. Aku bahkan tidak sadar bagaimana ini terlihat sampai aku menghadiri suatu pesta ulang tahun, dan seorang anak memberitahu bahwa dia tidak ingin duduk disampingku karena aku terlalu berantakan dengan remahan makanan yang jatuh dari mulutku. Aku tahu anak itu tidaklah bermaksud jahat, tapi setelahnya dia mendapatkan masalah, dan ibunya meminta maaf pada ibuku malam itu. Ketika aku pulang dari pesta, aku langsung pergi menuju cermin kamar mandi dan mulai memakan biskuit asin untuk melihat bagaimana rupaku saat mengunyah. Anak itu benar. Aku terlihat seperti kura-kura prasejarah.

"Hey, kursi ini kosong?"

Aku mendongak dan seorang gadis yang belum pernah aku lihat sebelumnya berdiri di sebrang mejaku dengan baki penuh makanan. Dia memiliki rambut keriting yang panjang, dan memakai kaus coklat dengan tanda damai berwarna ungu.

"Uh, tidak" kataku.

Dia menaruh baki makan siangnya dan menjatuhkan ranselnya di lantai, lalu duduk di sebrangku. Dia mulai memakan makaroni dan keju di piringnya.

"Ugh," katanya setelah menelan gigitan pertama. "Harusnya aku membawa sandwich sepertimu."

"Yeah," jawabku, mengangguk.

"Ngomong-ngomong, namaku Summer. Siapa namamu?"

"August."

"Keren," katanya.

"Summer!" kata seorang gadis mendatangi meja kami sambil membawa baki. "kenapa kamu duduk di sini? Ayo kembali ke meja"

"Di sana terlalu sesak," jawab Summer. "Ayo duduk di sini. Masih banyak ruang."

Sejenak, gadis itu terlihat kebingungan. Aku baru sadar, dia adalah salah satu gadis yang terus memandangiku tadi: berbicara di balik tangannya, berbisik. Aku pikir Summer bagian dari mereka.

"Terserah," kata gadis itu, pergi.
Summer melihatku lalu tersenyum, dan memakan makaroni kejunya.

"Hey, sepertinya nama kita cocok," katanya sambil mengunyah. Aku rasa dia tahu aku tidak mengerti maksudnya.

"Summer? August?" katanya tersenyum. Matanya berbinar seraya menunggu responku.

"Oh, yeah," jawabku beberapa detik kemudian.

"Kita bisa membuat klub 'musim panas', " katanya.  "Hanya anak-anak yang memiliki nama musim panas bisa duduk di sini. Mari kita lihat, apakah ada yang bernama Jane atau July di sini?"

"Ada, Maya," kataku.

"Secara teknis, May adalah musim semi," jawab Summer, "Tapi jika dia ingin duduk di sini, kita bisa buat pengecualian." katanya layaknya dia sudah memikirkan semuanya. "Ada Julian. Namanya seperti Julia, dan di ambil dari kata July."

Aku tidak mengatakan apapun.

"Ada anak yang bernama Reid di kelas Inggris." kataku.

"Yeah, aku tahu Reid. Tapi apakah Reid adalah nama 'musim panas'? " tanyanya.

"Aku tak tahu." kataku. "Aku cuman membayangkan reed (alang-alang) itu bagian dari musim panas."

"Yeah, okay." dia mengangguk, mengambil catatannya.

"Dan Ms. Petosa juga bisa duduk di sini. Namanya seperti diambil dari kata 'petal (daun bunga)' yang menurutku memiliki nuansa musim panas."

Dia mulai menulis daftar nama di setiap halaman buku catatannya.

"Jadi, siapa lagi?" katanya.

Seusainya makan siang, kami sudah memiliki daftar nama anak dan guru yang boleh duduk di meja kami jika mereka mau. Kebanyakan bukanlan benar-benar nama 'musim panas',  tapi nama mereka berkaitan dengan musim panas. Aku bahkan membuat nama Jack Will berkaitan dengan menghubungkan namanya dengan kalimat tentang musim panas, seperti "Jack pergi ke pantai," yang mana Summer menyetujuinya.

"Tapi jika seseorang yang tidak memiliki nama musim panas dan ingin duduk dengan kita," katanya sangat serius, "Kita akan mengijinkannya kan jika dia baik?"

"Okay." aku mengangguk. "Bahkan meskipun namanya bernuansa musim dingin sekalipun."

"Keren," jawabnya memberiku jempol.

Summer terlihat seperti namanya. Dia berwarna coklat dan matanya hijau seperti dedaunan.

WONDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang