Afissa duduk dengan perasaan berkecamuk di ruang tunggu rumah sakit dengan kedua tangannya yang saling menggenggam erat sambil mulutnya merapal kan beberapa doa agar apa yang Afissa khawatirkan tidak akan terjadi. Mata tampak kosong dengan lalu lalang orang serba abu-abu, dan terlihat sepi di jalanan luar rumah sakit. Pada pukul sepuluh malam dengan hujan yang semakin lebat, hanya terlihat raut wajah khawatir, sedih dan gelisah.
Afissa menghembuskan nafas panjang. Kejadian sore itu terekam jelas satu-persatu di setiap detik benturan di area otaknya, merasa bersalah dengan kecerobohannya. Sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa, jalan satu-satunya hanya menengadahkan tangan dengan iringan doa yang tak lekang oleh waktu.
Afissa kembali menghembuskan nafas. Afissa dengan sukarela harus mengorbankan dirinya untuk disalahkan dalam kecelakaan yang terjadi. Ya! Bukan kesalahannya, hanya ketidaktahuan seorang gadis kecil yang berusaha menyelamatkan gadis kecil lainnya yang terperosok jatuh ke dalam jurang. Ya! Kecelakaan itu terjadi begitu cepat bagai kilat tanpa terlihat mata oleh Afissa. Kecelakaan itu terjadi dari arah yang berbeda, guyuran hujan lebat ditambah tak terlihatnya sebuah sepeda melaju dengan cepat ke arah gadis kecil yang berusaha menolong temannya. Bersyukurnya, tiga gadis kecil itu tidak terjadi sesuatu yang mengeluarkan air mata hanya luka kecil di sudut siku. Namun, Afissa tidak tahu kejadian setelah seorang laki-laki yang terbaring di UGD itu terbangun.
Afissa tahu para gadis kecil itu merasa bersalah dan mengkhawatirkannya, akan tetap Afissa berusaha menguatkan bahwa ini semua bukan kesalahan mereka. Sehingga, kini Afissa lah yang harus mempertanggungjawabkan apa yang telah terjadi.
"Jangan diam saja!" sentak seorang lelaki dari arah pintu UGD. "Panggil dokter terbaik di kota ini, cepetan!" imbuhnya dengan keringat dingin yang tampak di wajahnya dengan tangan yang menunjuk dua orang lelaki berbaju hitam berdiri di hadapannya.
Dua lelaki dengan wajah kaku segera melangkah pergi setelah membungkukan tubuhnya sebagai penghormatan.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya lelaki itu lirih.
Pikiran Afissa berjalan ke segala arah, matanya kosong dan tak ada tanggapan yang ia berikan untuk menjawab pertanyaan.
"Hei.... Saya berbicara dengan Anda, Nona!" sahutnya kemudian setelah tak mendapatkan tanda-tanda tanggapan.
Bubar! "Ha...Astagfirullah," gelagapan sembari tangannya memegang dada. "Iya kak, bagaimana?" wajah Afissa menengok ke arah sumber suara.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya lelaki itu mengulangi.
Hening tanpa suara, hanya detik jarum jam dan telapak kaki yang membuat kebisingan. Tangan Afissa meremas-remas ujung jilbab yang menutupi dadanya, menandakan ia berusaha untuk merangkai kata yang tepat untuk dikatakan sebagai penjelasan.
Hembusan nafas laki-laki mulai terdengar di telinga Afissa, ia menoleh untuk mencari sudut titik yang tepat untuk mulai menceritakan kronologi yang terjadi.
"Tadi ..." suara Afissa terpotong akibat telapak kaki yang tersentak keras di depannya.
Brak... Brak... Brak...
"Alex...." suara lirih kekhawatiran lelaki paruh baya, sembari tangan kanannya menggenggam erat tangan wanita cantik dengan wajah yang penuh air mata.
"Tenang dulu, Om!" Laki-laki yang berada di depan pintu UGD memberikan tanggapan, "Kita tunggu kabar dari dokter," ucap Alex dengan matanya yang berbinar-binar memandang sepasang kekasih di depannya.
Tubuh paruh baya itu terlihat lesu tak berdaya, Afissa bangkit menggenggam tangan wanita cantik untuk menyalurkan kekuatan walaupun kenyataannya Afissa tak berdaya. "Bu, tenang! Allah masih sayang pada anak Ibu, makanya sekarang anak Ibu berada di sini."
"Saya Ayahnya, Lex! Saya harus tahu bagaimana kondisi anak saya!" Teriak Ayah Argani memegang kedua pundak Alex dengan keras.
Wajah Alex pucat, mulutnya mulai terbuka dan pikirannya berjalan ke segala arah. "Tadi, kami menemukan Arhab didasar jurang," tambah Alex mencoba menjelaskan apa yang ia tahu, matanya sekilas memandang Afissa dan segera teralih ke Bunda Arjanti, Ibu Arhab Nicholas yang tak mampu berkata-kata.
Mendengar itu Ayah Argani sedikit lega, putranya masih diberikan kesempatan untuk hidup. Walaupun dengan kondisi terluka parah, berusaha tegar untuk tidak membuat sang istri larut dalam kesedihan.
------
"Atas nama Arhab Nicholas?" Dokter itu memanggil setelah keluar dari ruang UGD.
Dua wanita cantik berdiri secara mendadak diringi dengan langkah kaki Ayah Argani dan Alex yang mendekati dokter tersebut.
"Keluarga pasien harap menemui saya di ruangan," ketiganya membisu usai dokter itu meninggalkan mereka.
Ayah Argani dan Bunda Arjanti tergesa-gesa mengikuti dokter yang memeriksa anaknya. Setelah sampai di ruangan, hembusan angin yang keluar dari mulut keduanya begitu terasa sembari mengambil posisi duduk di depan kursi sang dokter.
"Buk.." suara dokter dengan pandangan mata menengok ke arah Bunda Arjanti. "Pak, setelah melakukan pemeriksaan kondisi Arhab. Ada beberapa tulang yang patah dan retak, serta salah satu rusuknya melukai paru-paru. Dengan begitu, saya meminta persetujuan kepada keluarga Arhab agar Arhab segera dalam penanganan operasi." Dokter Firman memberikan keterangan sembari menunjukkan lembar-lembar foto bergambar bagian tubuh mulai paru-paru, leher, dada, otak dan anggota gerak lainnya.
Membisu, mencoba tegar. "Akibat dari kecelakaan itu akan membuat otaknya mengalami trauma berat dan cedera tulang belakang yang akan membuat Arhab lumpuh setelah ia bangun, dan kabar buruknya nyawanya tidak dapat tertolong."
Membeku, membisu. Penjelasan Dokter Firman menghantui pikiran Ayah Argani dan Bunda Arjanti.
---
"Ya Allah, aku mohon tolong kakak itu." Afissa menatap lekat tanpa henti ruang UGD yang masih menyala, barisan doa ia rapal kan.
Kring... Kring... Kring...
Saku ransel bergetar, handphone bernyanyi. Afissa merogoh lubang saku di ransel sebelah kanan. Matanya tertuju pada satu nama yang membuatnya selalu merasa bahagia.
"Assalamuaikum, Bunda." Terdengar ceria tanpa beban. "Bagaimana kabar, Bunda?" tanya Afissa dengan jemari tangan kirinya menutup lubang speaker handphone.
"Alhamdulillah kabar bunda baik, bagaimana dengan kakak di sana?" ujung handphone mengeluarkan suara yang sangat dinanti oleh Afissa.
"Afissa juga baik dong, Bunda..." ucap Afissa terpotong karena matanya melihat sepasang kekasih paruh baya tadi berjalan menuju kearahnya. "Bunda, nanti lagi ya? Ini kakak mau istirahat dulu, soalnya besok masih harus ngajar lagi." Afissa berusaha mengakhiri panggilan.
"Tapi, kakak tidak..." suara dari ujung handphone terpotong.
Keempat kaki itu semakin mendekat, "Assalamualaikum, Bunda."
Memasukan handphone ke dalam ransel kembali, mengkondisikan suasana agar terlihat tak terjadi apa-apa dengan wajah Afissa yang bertanya-tanya. Akhirnya, kaki itu berada di sampingnya. Tak ada jeda, tak ada skat sangat dekat terlihat akrab.
"Nak, kamu tidak pulang dulu?" tanya Arjanti menoleh ke arah Afissa yang sedang menatap Arjanti.
"Ha?" Afissa gelagapan. "Iya, Buk..." jedanya kemudian.
"Makasih ya, Nak. Sudah membantu anak Ibu." Suara Bunda Arjanti terdengar ramah penuh dengan lelah, matanya sayu dengan dua pahatan senyum yang menghiasi pipinya. Argani meninggalkan Afissa dengan istrinya untuk mencari makanan di luar.
"Ibu, istirahat dulu saja." Afissa menawarkan sehelai kain tipis kepada Bunda Arjanti yang ia sembunyikan di dalam ransel "Biar Afissa yang nunggu anak Ibu.." ucap Afissa terpotong, ia berusaha merangkai kata yang tepat. "Dan maaf nggeh, Buk. Semua ini gara-gara saya," lanjutnya sembari menyodorkan kembali kain tipis yang tertolak.
"Tidak perlu minta maaf, Nak. Ini bukan sepenuhnya kesalahan kamu, kemarin Ibu juga bilang ke Arhab kalau cuaca sedang tidak baik, malah itu anak nakal nekat saja tetap ikut perlombaan." Bunda Arjanti berusaha tegar dengan tiba-tiba memeluk Afissa untuk meredamkan emosi dan menyembunyikan tangis.
"Ibu pasti kuat. Kalau ada apa-apa saya akan bertanggungjawab, Buk." Otaknya berhenti, kalimat itu secara tidak langsung keluar dengan sendirinya. Pelukan itu terasa erat, semakin erat hingga membuat Afissa nyaman dalam dekapan seorang Ibu.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka
RomanceHidup bagai asmaraloka, dunia penuh cinta kasih. Walaupun terkadang manusia tidak menyadarinya, dan manusia selalu menyalahkan takdir yang itu akan baik dan indah pada penutupnya. --- Afissa Humairah sosok gadis yang berusaha menjadi baik dengan v...