Sudut I : Insiden

175 92 50
                                    

Afissa Humairah yang baru saja akan merajut sketsa indah bersama Taehyung di alam mimpi terpaksa mengurungkan niatnya karena secara tiba-tiba ada yang memanggilnya dari alam nyata. Panggilan itu terasa semakin mendekat melewati celah-celah jendela dibarengi dengan kicauan burung yang terdengar bernyanyi membentuk barisan yang terlihat jelas oleh mata Afissa yang bertengger cantik berbulu putih di tangkai pohon kering.

Niatnya mengistirahatkan tubuh tertolak, setelah bagian tubuhnya bekerjasama untuk membagikan makan sore untuk para pengungsi longsor. Yap! Aktivitas Afissa disepanjang hari ini, kegiatan yang membuatnya merasa lebih bersyukur dan menikmati hidup dengan kebahagian yang ciptakan dari hati yang selalu mengerjakan apa yang Afissa suka.

“Wahh.. adek-adek, kenapa membangunkan kakak?” Afissa mengucek-ngucek mata sambil menguap tanpa menoleh pada anak-anak yang telah mengukir senyumnya karena Afissa sudah menghafal betul suara merdu yang memanggilnya disetiap hari semenjak Afissa berada dilingkungan ini. Kalau tidak Syifa, Indah pasti Ica. Gadis-gadis kecil dengan sejuta cerita yang setiap hari mendongengkan masa-masa indah kebersamaan keluarganya di bawah gubuk kecilnya yang kini sudah tak berbentuk akibat tanah longsor yang mengusur bangunan rumahnya.

“Mau main lagi dong kak! Ih kakak bagaimana sih katanya tadi pagi kita mau naik gunung,” seru Ica sembari mengedip-ngedipkan satu matanya dengan rangkaian bunga liar yang terikat rapi ditangannya.

“Iya, katanya sore ini kita mau main ke gunung.” Syifa menimpa sembari lombat melewati jendela terpal bernuansa cokelat.
Meraih tangan Afissa yang mengambil sebotol air mineral di atas meja plastik ditemani dengan berbagai camilan snack. “Sini biar Syifa saja yang bawa kak,” timpalnya kemudian.

Afissa menoleh dengan ukiran senyum yang terlihat manis di wajahnya, berusaha untuk merebut kembali apa yang telah anak-anak kecil ini perbuat. “Sudah biar kakak saja, kalian tunggu diluar gih!”

Tak ada tanggapan dari Syifa, dibarengi lompatan dari Ica dan Indah yang berusaha membantu Syifa.
Sehabis semuanya beres, mulai dari air mineral dan beberapa camilan masuk ke dalam ransel berwarna hitam. Tak lupa pula seperangkat lensa yang terbenam indah di dalam handphone tergantung indah di leher Afissa, moment demi moment menabjubkan akan terekam indah di dalamnya sebagai bentuk wujud kenangan. Tak hanya itu, sebuah buku kecil berbaju abu-abu dengan untaian tali cokelat yang memperindahnya.

“Kak Fis tadi aku dengar nih, kalau hari ini bakal ada Balap Downhill.” Syifa mulai melangkahkan kaki menyeimbangi Afissa yang berusaha untuk mencari rute. “Memangnya Balap Downhill apa sih kak Fis?” tanya Syifa kemudian.

“Loh, kamu tahu dari mana loh dek Syif kalau ada Balap Downhill?” tanya balik Afissa dengan tangannya yang menggenggam tangan Syifa yang hampir terjatuh akibat licinnya tanah pijakan.

“Itu loh kak, tadi ada beberapa rombongan yang lewat naik mobil gundul begitu....” Ica menjeda Downhillnya akan dimulai 2 jam lagi.” Ica berusaha menjelaskan kembali dengan tangan yang sudah beralih ke tangan Syifa.

“Kalian hati-hati ya, tanahnya mulai sedikit licin.” Afissa menoleh, tetesan keringat jelas berjatuhan dari dahi para gadis kecil. “Kayaknya kalian capek. Kita istirahat sebentar saja dulu, sambil minum airnya dan makan camilan ini.” Afissa memberikan minuman dan makanan kepada para gadis kecil.

Iya, Afissa tahu betul kalau para gadis kecil itu sedang kelelahan walaupun senyum kebahagian mengembang disekitar bibirnya. Setelah hampir satu bulan Afissa berada di Malang, Afissa menganggap 3 gadis kecil ini sebagai adik-adiknya.

Lingkungan yang berbeda, membutuhkan adaptasi dengan cara yang berbeda pula. Untungnya Afissa sering mengikuti kegiatan kerelawanan berbasis segala macam bidang, baik itu pendidikan, kemanusiaan ataupun sekedar pengabdian. Afissa terkenal dengan Queen of Volunteer, tak bisa diam walau hanya sedetik dan tak jarang Afissa melupakan dirinya sendiri yang terkadang membutuhkan waktu istirahat.

“Iya kak, kan ada kakak. Pasti kak Fissa bakal lindungin kita kan?” Indah mengedipkan satu matanya dengan makanan yang memenuhi tangan dan mulutnya. “Oh iya, tadi apa kak Balap Downhill?” tanyanya heran kemudian.

“Sampai lupakan kakak. Hehe.. Setau kakak nih ya, Balap Downhill itu balap sepeda gunung sih. Kayak main ditrack-trackan gitu dijalur-jalur ekstrim.” Afissa menjelaskan sekenanya, matanya tertuju pada gumpalan warna hitam di atas mereka dengan sedikit tiupan angin yang menandakan hujan akan menuruni bumi. “ Tapi...” imbuhnya.

“Tapi apa kak?” tanya Indah sembari meletakkan tanganya di bahu Afissa, memberi isyarat kalau lelahnya mereka sudah hilang.

“Lihat itu,” Afissa menunjuk awan hitam. “Cuacanya lagi gak bagus buat main track-trackan, takutnya yang tidak-tidak akan terjadi.” Afissa melanjutkan ucapnya dengan matanya berbinar menatap mata para gadis kecil.

Keadaan membaik setelah sebulan terlewati, para warga mulai berani untuk memulai aktivitas walaupun banyak rumah yang belum berdiri sempurna.

----

“Arhab! Berhenti dipos dua!” Terdengar suara Alex memberikan arahan melalui aerphone.

Udara semakin dingin, awan semakin hitam dengan tebing curam, jalan setapak dan bebatuan membentuk track kali ini begitu berbeda.
Awalnya, awan hitam itu mengerumuni area ini dengan sapuan angin yang cukup dijadikan perhatian untuk terus waspada dan hati-hati.

“Sorry, Bro. ...” sambungannya terputus. Arhab berusaha untuk memperbaiki posisi aerphone agar dapat terdengar dengan jelas, tangan kirinya berusaha mengusik dengan menjaga kestabilan tangan kanan. “Gue sudah lewat pos dua,” jerit Arhab mengharapkan suaranya terdengar oleh Alex.

“Denger gue, Ar!” Alex membentak, “Berhenti sekarang, itu terlalu berisiko!” Alex lagi dan lagi membentak. Bagaimana tidak? Kali ini hujan mulai membasahi tanah dengan beberapa kilatan putih yang menghiasi langit. “Tunggu sampai hujan reda!” Alex memberikan arahan kembali.

Srek.. srek... srek...
Suara aerphone Arhab hanya memberikan dentuman-dentuman bunyi percikan hujan, hal itu seharusnya masih tersambung dengan baik ditelinga Arhab. Namun, Alex tak kunjung mendapatkan jawaban melalui aerphone tersebut.

“Ar? Arhab?”
Lebih dari sepuluh menit Alex tidak mendapatkan laporan dari pos dua maupun pos tiga jika Arhab berada disana. Justru beberapa peserta yang berada dibelakang Arhab sudah terlihat satu persatu.

Akhirnya Alex dan para crew mulai khawatir. GPS Arhabpun mati dengan panggilan dari para crew yang tidak mendapatkan respon. Hujan lebat tetap membasahi, sehingga sedikit susah untuk mencari keberadaan Arhab dengan dominasi warna putih yang semakin menebal.

Hingga kurun waktu tiga jam, aerphone terdengar mengeluarkan suara seorang gadis yang tergesa-gesa untuk memberikan sebuah informasi.
“Halo.. Halo.. Ada yang mendengar saya?” suaranya terdengar lirih akibat guyuran hujan yang belum reda.
Tak ada respon, “ Halooooooo....” teriaknya ulang mengharapkan ada jawaban dibalik aerphonenya.

Bermain dengan waktu. Selang sepuluh menit menunggu akhirnya lampu merah aerphone yang dipegang Alex menyala, senyum diwajahnya sedikit terukir karena nyalanya lampu itu memberikan bertanda baik. “Arhab? Ar? Ar? Arhab?” Alex menekan aerphone, dan berusaha membuat panggilan.

“Halo? Tolong..tolong..tolong kak,” sahutnya lirih diujung aerphone yang sudah terdengar jelas ditelinga Alex walaupun hujan belum reda. “Ini ada kakak yang pingsan,” suaranya meredam, semakin nyaris tak terdengar.

“Mana Arhab?” tanya Alex dengan kegugupannya. Sean berusaha untuk mendeteksi GPS yang terpasang di aerphone yang sudah menyala. Tak mendengarkan suara Arhab sedikit pun membuat Alex membentak suara diujung aerphone “Arhab dimana?”

Srekk, tersahut. “Kakak tolong jangan marah-marah dulu, jaga bicaranya soalnya kakak lagi bicara sama anak kecil tadi dan kita di sini juga khawatir sama kakak yang pingsan ini. Bingung mau bagaimana!” Hentakan suara yang berbeda diiringi dengan rintikan air dedauan yang membasahi seluruh tubuh.

“Kita tidak tahu ini di mana,” lanjutnya kemudian terdengar suara putus asa diujung aerphone.

Lagi dan lagi bermain dengan waktu, hembusan nafas kejar-kejaran terdengar diberbagai tempat dengan rintikan hujan yang semakin lambat dan mengecil. Daun tertiup angin dengan awan hitam yang sudah berlari.

“Dekat pos tiga! Arhab ditemukan!” 

AsmaralokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang