Sudut 4 : Berbagai Rasa

85 70 10
                                    

Afissa melirik handphone yang tergenggam di tangannya. Sudah tiga puluh menit waktu berlalu untuk menunggu kemunculan Jelita, tetapi batang hidungnya belum tampak di mata Afissa. Sahabatnya yang satu ini, selain cerewet berbumbu sayang tetapi juga sedikit tidak bisa mengontrol waktu ketika medan yang ditempuhnya dalam keadaan sulit.

Untuk mengalihkan rasa bosannya, perut Afissa yang bernyanyi sempat ia hiraukan akhirnya ia melangkahkan kaki menuju warung di persimpangan jalan.

Perhatiannya langsung tersita saat sebuah klakson motor berbunyi nyaring di ujung jalan. Senyuman itu seketika mengembang, rasa laparnya ia hiraukan kembali.

"Jelita..." teriak Afissa sembari menyeberang jalan.

Mulutnya seketika tertutup ketika Afissa mendapati sosok dibelakang Jelita dengan sepada motor berwarna hitam yang mengembangkan sedikit senyumnya.

"Woi..." Jelita berhenti tepat ketika Afissa selesai sampai. "Gue di sini Fiss, nggak di belakang." Jelita kemudian menggerak-gerakkan tangannya di hadapan wajah Afissa. "Sekarang malah bengong," katanya lagi ketika usahanya tak ada tanggapan.

Jelita memukul bahu Afissa. "Eh... Astagfirullah," kaget Afissa kemudian.

Afissa mendekati telinga Jelita berusaha untuk membisikan sesuatu, "Kenapa Ustadz Abrisam ikut?"

Raut wajah Jelita seketika mengeluarkan bau misterius, "Lah? Kenapa tanya ke gue, tanya aja ke Ustadz Abri."

"Assalamualaikum Afissa," salam Ustadz Abrisam ketika ia sudah turun dari sepeda motornya.

"Waalaikumsalam Ustadz Abri,"

Tak ada tanggapan setelahnya, hanya sebatas debu yang berlarian ke arah pandangan mata.

"Sudah ah, nunggu kalian selesai berdiam lama! Ayo kita kembali, matahari mulai tenggelam."

---

Matahari menyapa mata di ujung timur, Afissa menelungkupkan wajahnya di atas bantal sambil memejamkan mata. Kemarin malam Afissa sudah mendapatkan ceramah panjang dari seluruh warga, sebab Afissa tak mengabari kondisinya saat ia ke pusat kota. Hanya kabar yang berasal dari anak-anak gadis yang menjadi sumber penenang untuk sesaat.

Matanya melirik jendela transparan, terlihat jelas adanya seseorang yang berdiri di sebelah pintu masuk rumah terpal itu dengan lalu lalang teman-temannya yang berada di luar rumah sibuk dengan barang bawaannya.

Ya, hari ini hari di mana kegiatan kerelawanan berakhir. Kondisi yang sudah membaik, entah itu mentalnya ataupun tubuh yang kokoh. Sehingga, mampu untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Ada beberapa penduduk yang mulai mempersiapkan untuk membangun rumahnya kembali, kebanyakan dari mereka akan tetap kembali ke rumahnya masing-masing walaupun rumah belum berdiri secara keseluruhan.

"Fiss, ada Ustadz Abrisam tuh yang cariin lo di luar." Panggil Natasya menggema di setiap titik sudut rumah terpal tanpa penghalang, membuat Afissa segara menoleh ke sumber suara.

Ternyata sosok yang berdiri diambang pintu masuk itu Ustadz Abrisam.

"Ada apa yang kira-kira?" tanya Afissa kebingungan, karena ia merasa ia tak memiliki janji dengan Ustadz Abrisam.

Natasya mengangkat bahunya, "Mana gue tahu, sudah sana ditemuin dulu."

"Cie cie ada tanda-tanda nih," ledekan Jelita menggema tepat di telinga Afissa, Jelita yang terlelap kembali saat selesai menunaikan ibadah subuh ternyata hanya berpura-pura.

"Jelita kayanya kamu tadi tidur deh, kok dengar saja orang omong. Nyaut lagi," Afissa menoleh dengan ekspresi penuh kecurigaan. " Dan oh iya tanda-tanda apa Ta?" lanjutnya, pikiran Afissa mulai tak mampu diajak bekerja sama.

"Capek gue ngomong sama lo Fiss, apalagi otak lo kali ini lagi nggak jalan." Keluh Jelita sembari menempelkan wajahnya ke bantal putih di hadapannya.
Kali ini Afissa menghiraukan ucapan Jelita, kakinya sudah dulu beranjak menghampiri Ustadz Abrisam.

Sedetik, dua detik, tiga detik... hanya sunyi yang terdengar.

"Afissa boleh saya minta nomor dan alamatmu?" tanya Ustadz Abrisam memecah keheningan. Namun, pertanyaan itu membuat Afissa berpikir secara ekstra.

"Kalau boleh saya tahu Ustadz, buat apa ya?" Afissa berusaha mengalihkan pandangannya dari wajah Ustadz Abrisam, meremas tangannya yang sudah basah dengan keringat.

Ketampanan yang terpancar dari wajah Ustadz Abrisam membuat Afissa terus merapal kan istigfar. Wajah tampan serta akhlak baik memancing Afissa untuk berusaha tidak menyukai Ustadz Abrisam karena Afissa merasakan namanya tak layak berdampingan dengan sosok di hadapannya.

"Insya Allah seminggu lagi saya dan orang tua saya akan berkunjung ke rumah Afissa," kata Ustadz Abrisam dengan suara kerasnya.

Afissa terdiam dengan pikirannya sendiri, tanpa sadar tangannya mengambil selembar kertas yang disodorkan oleh Ustadz Abrisam.

Setelah Ustadz Abrisam mendapatkan alamat dan nomor Afissa, ia berpamitan dengan sala yang terucap. Sedangkan Afissa hanya mematung melihat apa yang telah ia perbuat hingga Ustadz Abrisam tak terlihat dari pelupuk mata.

Jelita yang sedari tadi mengintip dan mendengarkan percakapan Afissa dengan Ustadz Abrisam tiba-tiba menghampiri Afissa, menepuk pundak dengan binar-binar cahaya dari matanya.

Afissa menengok ke arah pundak yang terasa dipegang, membeku dan bertanya "Ta, aku mimpi nggak sih?"

Afissa Humairah sosok gadis berusia dua puluh tiga tahun yang tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, tiba-tiba pernyataan Ustadz tersebut membuatnya kalang kabut. Walaupun Afissa bukan sosok gadis solehah tetapi ia memutuskan untuk tidak berpacaran. Afissa beranggapan bahwa ada sesuatu yang lebih membahagiakan di usianya yang terbilang muda dari hanya sekedar membuang waktu sia-sia dengan menjalin hubungan tanpa adanya kepastian karena Afissa yakin setiap manusia memiliki jodohnya masing-masing yang akan dipertemukan dengan waktu dan tempat yang terbaik, dan tempat terbaik untuk meminta adalah Sang Maha Pencipta agar tidak merasakan kekecewaan.

"Uluh uluh, kan benar firasat gue bakal ada status baru sebentar lagi."

"Ta aku bingung," keluh Afissa dengan wajah murungnya.

"Bingung kenapa? Bukannya itu yang lo mau Fiss," Jelita memegang bahu Afissa agar ia berhadapan dengannya.

"Bukan itu masalahnya, aku bingung bagaimana caranya bilang ke Bunda sama Ayah Ta!"

"Ya jelasin apa adanya, bereskan?" sahut Jelita sekenanya.

Pandangan Afissa terlihat kosong, percampuran antara rasa-rasa telah menjadi satu. Rasa khawatir, bingung, takut dan yang paling penting ia merasa tidak pantas bersanding dengan Ustadz Abrisam yang terlihat sempurna dimatanya.

"Pasti Allah bantu Afissa kok, tenang." Imbuh Jelita ketika ia merasakan jika Afissa dengan mata kosongnya.

Pelukan hangat secara tiba-tiba dirasakan oleh Jelita, posisi ini terasa nyaman. Perkataan Jelita sedikit menghilangkan kekhawatiran yang tubuh pada diri Afissa.

---

Sudah waktunya untuk sayonara, sebuah perpisahan yang tak diinginkan. Sebuah kata yang mengandung bumbu air mata berjatuhan. Perpisahan terjadi karena adanya pertemuan, tunggu waktunya sampai Afissa menghentikan air terjun yang membasahi pipinya.

Afissa tergolong cewek melankolis dengan sifatnya yang mudah menangis bila ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Namun, terkadang tangisan itu selalu terkontrol oleh Afissa. Kali ini sungguh berbeda, air matanya tak dapat dikontrol sama sekali. Tangannya sedari tadi sibuk membersihkan air-air yang membendung pipi.

"Sampean nginep ing kene ae, Nduk." Tangis Afissa semakin pecah ketika nenek itu memeluknya begitu erat. Nenek yang selalu ia kunjungi di pagi hari, dan berpamitan pulang di sore hari. Nenek yang mengajarkan artinya perjuangan dalam hidup. Nenek yang hidup sebatang kara tanpa sanak saudara, berjuang menghidupi dirinya sendiri di tengah usianya yang semakin tak kuat untuk aktivitas lebih. Namun, sifat gotong royong ala pedesaan masih terasa di desa ini dengan begitu Nenek Imah selalu merasa ada yang menjaga, melindungi dan membantunya walaupun itu bukan saudaranya.

"Hiks.. hiks.. Insya Allah Afissa akan sering main ke sini untuk Nenek," cegukan Afissa diantara mata yang mulai memerah.

"Ojo lali omahe mbah mesthi mbukak jembar kanggo sampean Nduk," Nenek Imah merenggangkan pelukan dan mengembangkan senyum.

"Afissa ayoooo..." Teriak dari arah gerombolan sepeda motor yang telah berjajar rapi hanya untuk menunggu Afissa.

"Iya," teriak Afissa.

"Nek, ini ada sedikit rezeki buat Nenek. Tolong terima ya Nek, Afissa sayang Nenek." Afissa menyerahkan selembar amplop putih ke tangan Nenek Imah, digenggamnya tangan itu dan dipeluk kembali.

"Nenek jangan lupain Afissa," kata Afissa ketika langkahnya mulai berjarak. "Afissa pamit dulu, Nek. Assalamualaikum." Pamit Afissa dengan tangan sang Nenek Imah yang tercium olehnya.

Afissa berjalan melewati beberapa penduduk dengan berbagai raut wajah, tak terkecuali Ustadz Abrisam. Tangis bahagia begitu terasa dengan senyuman yang selalu terukir di wajah penduduk desa itu. Hampir ujung terlihat barisan anak kecil yang melebarkan tangannya untuk mendapatkan pelukan hangat dari Afissa, sembari beberapa tangan memegang tali berbentuk gelang yang mereka buat sendiri. Gelang itu kini beralih ke tangan Afissa.

"Jangan lupakan kami kak," ucap Indah tersenyum.

"Iya kak, kami sangat sayang sama kakak." kata Syifa dan Ica berbarengan.

Afissa hanya mampu tersenyum dan mengangguk, dipeluknya erat anak-anak itu.

"Terima kasih atas bantuan kalian semua," ucapan Pak Ketua RT yang begitu lantang terdengar di telinga Afissa, bukan telinga Afissa saja namun telinga teman-tema relawan lainnya.

___

AsmaralokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang