Hari ini, pertama kali Afissa menginjakkan kaki di sebuah rumah sederhana bernuansa hitam putih. Kaki jenjangnya menelusuri setiap tepian bunga warna-warni yang berjajar ditemani matahari pagi yang memberikan panas cukup terik, tak lupa tiupan angin membuat dedaunan kering berguguran.
Semalam seharusnya Afissa sudah sampai di rumah ini. Namun, karena ada kesalahan komunikasi dengan kakaknya membuat Afissa harus bermalam di hotel dekat bandara. Bagaimana tidak, kakaknya lupa akan tanggal kepulangan adik tersayangnya. Jarak tempuh rumah orang tuanya cukup jauh, membutuhkan sekitar 3 jam. Sehingga, ia memutuskan untuk mencari penginapan di dekat bandara.
Jelita yang bersikukuh untuk menemani Afissa waktu itu pun, terus-terusan ditolak oleh Afissa. Afissa tahu bahwa semua teman-temannya, pasti ingin segera menumbangkan tubuhnya pada sebuah kasur empuk di dalam kamar. Alhasil, Jelita dengan wajah cemberutnya melangkahkan kaki untuk sebuah perjalanan dengan arah yang berbeda dari rumah Afissa.
"Assalamualaikum Bunda," salam Afissa diikuti terlepasnya ransel besar di pundaknya, tangannya beralih menggapai tangan Bunda dengan pelukan hangat tepat di depan pintu. "Afissa kangen," manjanya sembari melepaskan pelukan.
Bunda tersenyum, "Kok lama?" tanya Bunda dengan wajah penasaran.
"Itu tuh salahin aja kakak," Afissa dengan wajahnya yang cemberut, Bundanya celingukan menatap seseorang yang berjalan mendekati mereka.
"Kakak! Kamu apa kan adikmu?" tanya Bunda tegas sembari menerima uluran tangan putranya.
Mendengar pertanyaan sang Bunda tentu saja membuat kakak Afissa segera mengambil langkah untuk memeluk tubuh Bundanya, diiringi dengan kaki yang menuntutnya untuk mengambil posisi duduk di sebuah sofa rustik berwarna cokelat yang berada di pojok ruang tamu.
"Bunda tenang dulu, Kakak enggak ngapa-ngapain Adik. Adik aja tuh lupa ngabarin lagi!" Bundanya menoleh ke arah Afissa yang berusaha mengangkat ransel dan melanjutkan langkahnya menuju ruang bahagianya. "Tau sendiri Kakak kerjanya menumpuk, Bun!" tambahnya.
Mengetahui Afissa ingin melimpahkan semua pertanyaan ke kakaknya dengan gesitnya tangan Kakak Afissa sudah bertengger di ransel Afissa. "Adik ku tersayang mau ke mana?"
"Hehe.. Afissa mau istirahat sebentar," Afissa menoleh ke arah sang kakak.
"Jangan harap kakak lepasin kamu ya," seru Kakak Afissa dengan matanya yang melotot.
"Ih, siapa juga yang berharap bisa lepas dari Kakak. Nanti bisa-bisa aku nggak ada teman ngobrol kalau Ayah sama Bunda jualan," senyum Afissa mengembang.
"Lah terus?" tanya Kakak Afissa bingung.
Afissa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendengarkan percakapan antara yang mulai tak berujung antara kedua anaknya membuat Bunda Fasya mendekati mereka, dan memeluknya dari belakang.
"Ya sudah, ceritanya dilanjut nanti saja! Sekarang biar Adik istirahat dulu ya, Kak?" lirih Bunda Fasya dengan anggukan kecil.
"Tuh Bunda saja tahu!" seru Afissa dengan senyum merekah di wajahnya, "Katanya sayang sama Adik, tapi gitu saja Kak Faisal enggak tahu!" matanya menatap ke arah Kak Faisal.
Kak Faisal cemberut, lalu tangannya meraih ujung jilbab yang dipakai Afissa. Mata Kak Faisal melotot kembali. Namun, dihadiahi cengiran oleh Afissa. Saling menatap lama, tajam bagai bendara peperangan akan segera berkibar.
Bunda Fasya berjalan ke dapur sembari kepalanya menggeleng-geleng melihat kelakuan aneh ank-anaknya. "Hahaha.." tawa keduanya pecah ketika Bunda Fasya sudah tak terlihat di pelopak mata.
"Kakak tuh ya! Iseng banget deh. Gitu saja enggak langsung jelasin, malah drama."
Timpalnya, "Biar seru, Dik!"
Kelakuan aneh sering kali terjadi ketika keduanya tersatukan oleh waktu sebagai bahan hiburan. Pertemuan singkat begitu berharga bagi adik kakak ini, dengan puluhan aktivitas yang mengalihkan mereka untuk sekedar cerita secara langsung melewati mata. Hanya benda pipih multiguna yang menjadi kunci ceritanya.
Afissa yang sibuk dengan dunia pengabdian serta usaha yang dirintisnya, hanya kecil tapi itu cukup baginya. Dan Kak Faisal yang sibuk dengan tumpukan kertas yang selalu meminta tanda tangan darinya. Ya? Fasial adalah seorang pemimpin perusahaan yang terkenal dengan wajah tampan berkulit cokelat dengan sifat tegas serta dinginnya.
---
"Bunda, Afissa pengin cerita," kata Afissa ketika ia berhasil duduk di samping Bunda Fasya di meja makan.
"Makan dulu baru cerita," sahut Bunda menghentikan sejenak aktivitasnya. "Kan Adik juga punya hutang cerita sama Bunda," timpalnya kemudian sembari tangannya memegang sendok untuk mengambil lauk tempa. Afissa hanya mengangguk, ia melanjutkan aktivitasnya untuk memakan sesuap nasi yang telah disodorkan oleh Bundanya.
"Bunda Ayah ke mana?" tanya Afissa ketika matanya tak menanggap sosok lelaki paruh baya kesayangannya.
"Biasa habis pulang jualan tadi Ayahmu langsung mencari ikan," seru Bunda diikuti anggukan Afissa. Mata Afissa terkunci ketika matanya berhasil menanggap sosok yang ia tanyakan.
"Ayah!" teriak Afissa meninggalkan piringnya begitu saja, dipeluk tubuh Ayahnya.
"Ayah masih bau tahu, Dik! Peluk-peluk saja kamu itu," protes Ayah dengan wajah penuh senyuman.
"Biarin! Namanya juga Afissa kangen," jawab Afissa dengan tegas dan lugas. Sifat manja Afissa keluar ketika ia bersama dengan orang yang ia sayangi.
Ayah menggelengkan kepala. "Nanti lagi, Ayah tak mandi dulu." Tangannya berusaha melepas pelukan dari sang anak, melangkahkan kaki mendekati kamar mandi. "Nanti anak Ayah yang cantik ini jadi bau."
Afissa cemberut, pipinya mengembang. Kaki kecil membawanya ke tempat semula.
"Kakak sudah ganteng saja! Mau ke mana?" tanya Bunda sembari berdiri sejenak, tangannya sibuk untuk menyiapkan makanan untuk suaminya dan anaknya.
"Di kantor ada masalah sedikit Bun. Jadi, Kakak harus beresin dulu." Kakak Faisal menjelaskan dengan tangan yang mengambil uluran piring dari sang Bunda.
Tangannya mengambil sendok. "Kalau Kakak pulang bawakan Afissa telur gulung, cimol sama es susu ya?" tanya Afissa tidak sabar.
Kakak Faisal menggeleng. "Ayolah Kak!" tangan Afissa bersatu membentuk gunung. "Nanti kalau Afissa ke toko, Afissa bakal buatkan Kakak kue kesukaan kakak deh."
Afissa merayu dengan mata yang berkaca-kaca. Jajanan pinggir jalan memang menjadi kegemaran buat Afissa, bagaimana tidak setiap akhir pekan ia selalu berusaha untuk memasak jajanan-jajanan tersebut. Walaupun, kerap kali kegagalan selalu membuntutinya, alhasil berakhir dengan Afissa membeli pada bapak-bapak beroda dua yang menetap di pinggir jalan. Bukan gagal sepenuhnya, tetapi rasanya tidak sama dengan jajanan yang ia beli dipinggir jalan.
Pintu kamar mandi yang berdiri dipojok ruang makan terbuka, menandakan Ayah Usman telah selesai dengan aktivitasnya. Pandangan matanya tertuju pada semua orang yang duduk rapi di meja makan, senyumnya merekah seketika. Kaki Ayah Usman berakhir di meja paling dekat anak laki-lakinya.
"Ayah! Kakak nakal, Afissa mau minta tolong saja. Kakak enggak mau bantu!" Afissa mengadu ketika melihat Ayahnya sudah ikut makan bersama mereka.
Ayah menoleh ke samping, matanya bertanya kepada sang Kakak. Dan dengan santainya Kakak Faisal menoleh pula, hanya dihadiahi anggukan kecil olehnya bagai isyarat antara kedua laki-laki. Saling mengangguk dan tersenyum jahil.
"Kapan Kakak bilang enggak mau?" tanya Kak Faisal seketika memprotes ucapan Afissa.
"Tadi Kakak geleng-geleng," jawab Afissa dengan mata yang tak teralihkan.
"Geleng tanda tak mau ya? Jangan suka menghakimi, Dik." Kak Faisal tersenyum meledek. Ayah dan Bunda hanya menyaksikan perdebatan kecil di meja makan.
"Sudah dihabiskan dulu makanannya, ngak baik makan sambil bicara." Akhirnya Bunda Fasya membuka suara.
Tinggal keheningan ditemani bunyi jarum jam yang menunjukkan pukul empat.
--
Waktu menunjukkan enam malam, setelah Afissa selesai menunaikan ibadah salat magrib, Afissa menuruni anak tangga untuk berkumpul bersama keluarganya di rung televisi. Malam ini, Afissa sudah mempunyai hutang banyak untuk bercerita kepada orang tuanya tentang kejadian demi kejadian yang menimpanya selama ia berada di Malang.
Afissa mengenakan hijab instan berwarna kunyit dengan setelan gamis hitam. Tak lupa ia membawa handphone digenggamannya untuk bahan informasi para adik-adiknya yang sedang bekerja di tokonya. Ya! Afissa menganggap bahwa semua para karyawannya adalah adiknya, karena semua karyawan Afissa berusia rata-rata belasan tahun dalam fase lulusan SMP atau SMA yang ia jumpai di tempat pengabdian. Afissa yakin bahwa mereka akan menjadi hebat, jika mereka mau melakukan usaha dan berdoa.
"Bunda, Ayah!" panggil Afissa sembari memeluk bundanya dari belakang yang sedang duduk di samping ayahnya.
"Iya, sayang. Ayah ngak dipeluk ini?" canda ayahnya, dibarengin dengan pelukan hangat Afissa padanya.
Sifat manjanya kembali muncul di antara kebahagiannya. Sifat ini bertolak belakang dengan sifatnya ketika ia berada di toko ataupun tempat luar. Tentu saja, karena dalam area lingkup luar Afissa harus menjadi manusia yang mandiri, profesional dan pantang menyerah.
Menginjak usianya yang terbilang muda, Afissa sudah berlalu lalang mengelilingi Indonesia untuk sekedar menularkan kebahagiannya kepada orang lain.
Setelah mereka berkutik dengan keheningan. Terdengar menggoda ketika Afissa menceritakan kejadian dimana ia bertemu lagi dengan sahabat seperjuangannya Jelita, sampai kejadian di mana ia membuat kesalahan kecil karena ketidaksengajaan gadis kecil, dan kejadian di mana ia dimintai nomor dan alamat rumah.
"Bagaimana kondisinya sekarang, Dik?" suara barito ayahnya terdengar menghantui telinga Afissa, karena terakhir Afissa tahu kondisinya belum sadarkan diri dan selanjutnya ia belum menerima pesan atau panggilan dari orang tua kakak tersebut.
"Afissa belum tahu, Yah!" kata Afissa lesu, kepalanya menunduk dengan mata tak terbaca.
Tangan bundanya menepuk bahu Afissa, Afissa menoleh. "Bunda yakin Afissa bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, dan Afissa kan punya Allah. Jadi, sekarang Afissa harus banyak-banyak doa untuk kesembuhan kakaknya itu." Bundanya menatap lekat melalui sorotan mata.
Afissa mengangguk. Tiba-tiba terdengar bunyi bel, raut wajah Afissa kembali seperti biasanya.
"Pasti kakak itu, Bun." Setelah berkata, Afissa langsung berjalan menuju pintu.
"Assalamuaikum, Bunda! Ayah! Dik Fissa!" teriak seseorang dari luar pintu, Afissa tahu dan hafal betul suara barito ini.
"Waalaikumsalam, sebentar Kak." Afissa berjalan cepat.
Afissa membuka pintu dan alangkah terkejut dirinya, ketika matanya melihat bungkusan-bungkusan dengan aroma sedap menghiasi pandangan pertamanya. Sedetik kemudian, Afissa tersenyum dan merebut bungkusan-bungkusan itu.
"Kakak baik deh," kata Afissa, tangannya sudah penuh dengan bungkusan. Kak Faisal masuk lebih dulu ketika ia sudah melihat wajah bahagia adiknya. Setelah tinggal Afissa sendiri, ia menutup pintu dan berjalan sembari mencari posisi duduk di ruang televisi yang nyaman baginya untuk menyantap jajanan yang dibawakan oleh kakaknya.
Ayah dan Bunda yang melihat kejadian itu terheran-heran, bagaimana bisa raut wajah putrinya itu seketika berubah terlihat tanpa masalah. Disusul Kak Faisal yang duduk setelah ia berganti pakaian.
"Kakak, Adik ada yang mau melamar." Bunda Fasya memecah keheningan, pandangannya jatuh pada putrinya yang tak menanggapi ucapannya. "Adik yang cerita sendiri," imbuhnya.
"Ha?" Kak Faisal terkejut. "Bunda lihat deh!" Matanya menatap Afissa. "Bunda yakin adik enggak ngarang cerita?" tanya Kak Faisal dengan kerut di dahinya.
Afissa mendengus. "Kakak ngak percaya banget sih sama Afissa! Afissa beneran mau dilamar," katanya sembari menaruh kantong jajan yang sudah habis.
"Terus adik yakin kalau itu bukan candaan?" tanya Kak Faisa, Afissa terdiam pikirannya berhenti sejenak.
"Candaan? Maksud kakak?" tanya Afissa ketika otaknya tak mampu lagi untuk berpikir. Afissa memang cerdas dalam beberapa hal, kecuali percintaan dan perasaan. Ia harus belajar banyak mengenai hal ini.
"Ya! Adik tahu sendirikan, kalau orang baru ketemu itu mudah banget jatuh cintanya. Terus gombal sana-sini, menjanjikan sesuatu dan akhirnya hanya sebuah wacana saja." Kak Faisal menatap adiknya dengan lekat, menyalurkan aura logis yang ada padanya. "Jangan terlalu berharap ke manusia, Dik."
"Yeee.... Siapa juga yang berharap ke dia. Dan oh iya? Dia juga seorang Ustadz, Kak!" Afissa menyakinkan sembari tangannya meremas hijab depannya.
"Ustadz juga manusia biasa, Dik. Jadi, kamu harus tetap minta petunjuk sama Allah kalau memang niat baik itu tersampaikan, pasti akan dilancarkan sama Allah."
Afissa mendesah, mengusap wajahnya gusar dan mengucapkan kalimat istigfar beberapa kali.
"Iya, Kak. Afissa tahu kok. Kalaupun dia hanya bercanda Afissa enggak bakal sakit hati kok, berarti itu bukan jodohnya Afissa. Dan Afissa tadi juga cuma cerita kak, kalau semisal itu beneran. Ayah, Bunda sama Kak Faisal jangan kaget begitu," kata Afissa dengan senyum yang merekah kembali, ia merasa bahagia ditakdirkan Allah hidup di tengah keluarga yang selalu mengingatkannya pada Tuhannya.
Setelah Ayah Bunda hanya saling menatap, diam tak ikut berbicara. "Ayah sama Bunda, bangga sama kalian." Ayahnya mengambil suara, serak-serak basah membasahi suasana di tengah haru.
"Anak-anak Bunda sudah pada dewasa semua," imbuh Bundanya menatap Afissa dan Kak Faisal yang menatapnya balik. Afissa bisa melihat betapa bahagianya kejujuran yang terpancar dari mata Ayah dan Bundanya.
"Terima kasih Ayah, Bunda! Afissa sayang kalian, dan Afissa bahagia punya Ayah sama Bunda yang..." kalimat Afissa terpotong ketika kelopak matanya banjir dengan tampungan air. Afissa berdiri, berjalan dan memeluk erat Ayah dan Bunda yang duduk berdampingan.
"Dan buat Kakak ku tersayang, makasih sudah jadi kakak hebat buat Afissa." Afissa memeluk kakaknya sembari sesekali segukan akibat air mata yang tak keluar.
Sesederhana itu kebahagaian buat Afissa, wejangan demi wejangan yang diberikan Ayah, Bunda dan Kak Faisal selalu menguatkan Afissa di tengah lemahnya Afissa yang sebenarnya. Terkadang Afissa merasa aneh pada dirinya sendiri, sifatnya gampang berubah dan perubahan itu terlihat pada seseorang yang diajaknya berbicara.
Afissa tahu kalau keadaan enggak selamanya seperti ini, maka dari itu Afissa harus selalu berpikir positif dan berbuat baik pada siapa pun selama Afissa bisa dan Afissa masih hidup di dunia. Bagi Afissa senyum dari semua orang menggambarkan kebahagian yang Afissa peroleh, inilah cara Afissa mensyukuri nikmat dari-Nya.---
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka
Любовные романыHidup bagai asmaraloka, dunia penuh cinta kasih. Walaupun terkadang manusia tidak menyadarinya, dan manusia selalu menyalahkan takdir yang itu akan baik dan indah pada penutupnya. --- Afissa Humairah sosok gadis yang berusaha menjadi baik dengan v...