Tiba di rumah, nuansa mewah tampak terlihat di mata Afissa melalui celah retina ke berbagai interior berwarna perak bertabur kesunyian . Afissa menatap sekeliling, kepalanya tergeleng-geleng, pandangannya jatuh ke arah mini bar di sudut rumah lengkap dengan seorang gadis cantik yang diperkirakan setara dengan usia Afissa. Tanpa sadarkan diri, kaki mungilnya berjalan menimbang-nimbang punggung cantik yang berdiri di area itu.
"Lo mau ke mana?" tanya Arhab menatap punggung Afissa yang berjalan ke arah berbeda dengannya.
Afissa berhenti, ia menoleh ke sumber suara.
"Tugas lo hari ini temanin gue main game," pungkas Arhab tanpa menunggu tanggapan Afissa.
Afissa mengangguk, tanpa bertanya lagi ia mengikuti Arhab berjalan. Terlihat sebuah lift terbuka, lift yang akan memudahkan Arhab untuk menuju ruang atas rumahnya. Afissa tak tahu ia akan memasuki ruangan sepertti apa, pikirannya berkecamuk dengan semua bayangan-bayangan negatif yang memasuki otaknya.
"Kak main gamenya enggak di kamar Kakak kan?" tanya Afissa ketika pintu lift sudah terbuka di lantai dua.
Arhab menaikkan sebelah alisnya dengan senyum mesumnya. Afissa yang menangkap Arhab tersenyum seperti itu langsung mengalihkan pandangan ke sebelah kiri, dadanya berkecamuk dengan menelan salivanya seakan Afissa terpanah untuk senyum pertama kali yang lahir dari wajah datar Arhab.
"Sungguh manis,"lirih Afissa. Ia menggeleng, merapalkan istigfar yang terdengar di telinga Arhab.
"Memang gue setan pakai istigfar segala," ketus Arhab dengan sorot mata tajam, tangannya berusaha memegang tangan Afissa.
"Kakak!" sentak Afissa tanpa sadar ketika secara mendadak tangannya terasa ada yang memegang dari sebelah kanan, terpelas kemudian.
"Lo berani bentak gue!" suara keras, dingin dan tajam itu menyeruap masuk ke telinga Afissa.
Afissa menunduk, meremas tangannya. Ia tidak bermaksud membangunkan macan yang tidur, ia hanya takut pegangan tangan yang ia rasakan itu tumbuh karena adanya nafsu.
"Eh! Ma-maaf, a-aku hanya itu Kak.. anu.. itu..." kata Afissa gugup dan salah tingkah, entah kenapa bentakan itu terasa menyakitkan di hati Afissa. Kini ia berusaha membendung air mata yang hampir jatuh.
Arhab tersentak ketika matanya tanpa sadar memandang wajah Afissa yang menunduk dengan bendungan air matanya. Tak dipedulikan, ia hanya ingin membuat Afissa sedih atas akibat perbuatan Afissa terhadapnya. Ia hanya ingin membuat Afissa merasakan apa yang ia rasakan sampai detik ini, Arhab hanya ingin membuat Afissa menangis selama hidupnya dan kini Arhab tahu jika menyakiti Afissa itu mudah.
"Masuk!" pintah Arhab ketika mereka sudah sampai di ruang bernuansa gelap.
Afissa menangkap layar TV dengan meja kursi yang tertata rapi di ruangan serba hitam dengan lampu yang menyala diiringi lukisan-lukisan keluarga Arhab.
Afissa menoleh ke Arhab, "K-Kak.." suaranya lirih, ia merasa tak enak jika ia hanya berdua bersama dengan Arhab walaupun Afissa yakin Arhab tak akan melakukan sesuatu yang jahat.
Tak ada tanggapan, hanya sunyi. Arhab sudah masuk ke ruangan, mata Afissa mencari sesuatu yang dapat dijadikan alasan untuk ia menghindari situasi ini.
"Lelet banget sih!" tegur Arhab tanpa menoleh.
"Kakak cerewet banget," keluh Afissa dalam batinnya.
Afissa menghembuskan nafas, dadanya naik turun.
"Aha, Afissa cerdas deh!" kata Afissa ketika tangannya berhasil memberikan pertunjuk atas situasi ini.
"Kak aku punya ide, main game itu lebih enak kalau sambil makan." Afissa tersenyum, tangannya naik menunjukkan bungkusan yang sedari tadi ia bawa.
"Ya sudah sana, jangan lambat. Lebih dari lima menit lo akan dapat hukuman," tegas Arhab menoleh ke Afissa dengan tatapan Afissa yang sedang berharap penuh.
"Janji," tangan Afissa terangkat membuat tanda peace, tak mengambil waktu lama Afissa segera menuruni anak tangga. Melewati anak tangga menurutnya akan lebih cepat sampai di dapur daripada lift yang membutuhkan waktu 3 menit.
Tap Tap Tap...
Afissa melupakan sesuatu, badannya berbalik arah, kepalanya mendongak melalui pintu yang masih terbuka lebar. "Hehe.. Kak dapurnya di mana?" tanya Afissa cengingisan, Afissa sangat handal dalam mengendalikan dirinya untuk tidak terlihat sedih dihadapan orang lain. Tapi, untuk saat ini itu bukan senyum terpaksa. Itu senyum tulus Afissa yang terlahir karena situasi yang menggembirakan buatnya.
Arhab tersentak, hampir saja minuman yang ia pegang jatuh. "Lo tuh ya! Bloon jangan dipelihara," seru ketus Arhab sembari tangan kanannya memberikan arah.
Afissa tahu kalimat pedas yang keluar dari mulut Arhab itu sebuah pelampiasan yang hanya ditujukan oleh angin lewat, bukan dirinya. Ia tahu Arhab merasa kecewa, Afissa tahu Arhab seorang laki-laki yang kuat bahkan Afissa tahu kalau Arhab hanya merasa kesepian sehingga membutuhkan dirinya untuk menjadi teman.
"Hehe.."
---
"Assalamualaikum Arhab," teriak dari pintu utama rumah Arhab. Bunda Arjanti melangkah memasuki ruang dapur, setelah tak mendapat tanggapan dari Arhab. Pikirnya mungkin Arhab sedang tertidur.
"Loh Nak Fissa?" terkejut Bunda Arjanti ketik matanya mendapati seorang gadis cantik tengah mendiami dapurnya.
"Astagfirullah Ibu ngagetin Afissa." Afissa tertunduk, wajahnya berubah masam.
Tak hening, Bunda Arjanti mengeluarkan tawanya di barengi tangan yang meletakkan bingkisan-bingkisan di meja bundar berlapis kaca.
"Maaf Buk, sudah berantakin dapur Ibu dan belum izin." Tangan Afissa meletakkan pisau yang sudah selesai untuk memotong kue yang dibawanya.
"Enggak bisa, kamu harus bertanggung jawab." Bunda Arjanti memasang wajah tak terima, kedua tangannya melipat di depan dada sembari mulutnya berkomat-kamit.
Afissa menunduk kembali, tangannya kembali gemetar dan ia remas-remas. Afissa tidak menyukai bentakan, sekali bentakan akan membuatnya merasa bersalah. "Iya, nanti Afissa bersihkan kok Buk."
"Kamu harus pulang setelah makan malam." Bunda Arjanti tersenyum, "Itu bentuk pertanggungjawaban yang paling tepat," lanjutnya sembari menghampiri Afissa dan memegang tangannya.
Afissa mengangguk, ternyata sifat tak terbantahkan Arhab lahir dari Bundanya.
Afissa melepas tangan Bunda Arjanti, matanya menangkap alorji dengan jarum panjang yang sudah menunjukkan angka lima tandanya ia sudah melewati batas yang ditentukan oleh Arhab.
Afissa tersenyum, "Buk Afissa boleh minta tolong ngak?" tanya Afissa diiringi dengan pergerakan wajah dan mata sorotan memohon.
Bunda Arjanti mengangkat pundaknya. "Boleh," serunya tampak mengerutkan dahinya.
"Ibu sibuk ngak?" tanya Afissa kemudian, ia memastikan bahwa Bunda Arjanti sedang tidak dalam waktu yang tertekan dan terpaksa untuk membantunya.
Bunda Arjanti mengelengkan kepala.
Membutuhkan waktu yang lama, setelah Afissa selesai menjelaskan peristiwa abu-abu yang tercipta antaranya dengan Arhab. Bunda Arjanti menumbuhkan senyum kebahagiaan, tangannya mengusap kepala Afissa yang tertutupi jilbabnya.
"Ya, Buk?" mohon Afissa, karena menurutnya ini cara terbaik untuk tidak berdua dalam ruang yang hening.
Bunda Arjanti meninggalkan Afissa tanpa memberikan kepastian, sepuluh langkah kemudian kepalanya menoleh Afissa yang menunduk. "Ayo Fissa," teriak Bunda Arjanti membuat Afissa mendongak, dan secara langsung ia menggenggam dan mengangkat tangannya. "Yeeyy.." terdengar lirih.
Bunda Arjanti melanjutkan langkahnya, sedangkan Afissa membereskan apa yang sudah ia perbuat di dapur ini. Telinganya mendengar telapak kaki yang memasuki area dapur, menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang membawa keranjang belanjaan dengan berbagai macam buah dan sayuran yang menghiasi keranjang itu.
"Eh Bibi! Maaf ya Bi Afissa ngotorin dapur Bibi dan Afissa ngak izin dulu," tuturnya yang sudah selesai membereskan sisa-sisa kue yang ia potong, tangannya sibuk untuk memegang piring dengan kue yang terpotong menghiasinya.
Wanita paruh baya itu keheranan, wajahnya menimbulkan pertanyaan dengan senyuman yang ia buat untuk menanggapi tingkah aneh gadis di depannya.
"Saya Afissa Bi, temannya Kak Arhab." Afissa menunjuk dirinya sembari sedikit membungkuk, "Nanti lagi ya Bi, Afissa permisi. Makasih Bibi."
Afissa mengangguk dan berjalan menaiki anak tangga, entah kenapa ia sudah merasa terbiasa dan akrab dengan rumah yang baru tiga belas jam lalu ia singgahi. Afissa merasa bahagia, Allah telah mengirimkan Bunda Arjanti untuk menyelesaikan masalah kecilnya. Hal itu membuat goresan senyum tak lekang hilang oleh waktu.----
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka
RomanceHidup bagai asmaraloka, dunia penuh cinta kasih. Walaupun terkadang manusia tidak menyadarinya, dan manusia selalu menyalahkan takdir yang itu akan baik dan indah pada penutupnya. --- Afissa Humairah sosok gadis yang berusaha menjadi baik dengan v...