Sudut 7 : Sebab Akibat

37 37 2
                                    

Hari itu, sosok gagah itu masih berbaring lemah dengan mata tertutupnya. Dokter tersenyum melihat Arhab sedang tertidur.Beberapa selang kabel menghiasi tubuhnya, pemeriksaan lanjutan pasca koma telah dilakukannya. Efek dari benturan keras akan mempersulit ia mengingat walaupun ia tidak kehilangan memorinya.
Tak hanya itu, buruknya lagi area kaki dan tangan sebelah kirinya kaku. Dokter Firman melakukan pengecekan pada mata untuk melihat adanya rangsangan pada cahaya, namun hasilnya pasif. Belum ada pergerakan.

Clek...
Pintu UGD terbuka. Rasa cemas, gelisah, khawatir tercampur aduk ke dalam tiga hati seseorang yang menunggu di depan ruangan tersebut. Pergerakan Pak Dokter dengan raut wajah datarnya, membuat lingkaran kekecawaan itu muncul kembali.

"Pak Argani, untuk saat ini Arhab membutuhkan waktu cukup lama untuk mengembalikan fungsi geraknya.Tapi, Alhamdulillah. Retakan pada tulangnya tidak begitu parah, sehingga kelumpuhan hanya terjadi di beberapa titik dan saya yakin Arhab bisa berjalan kembali walaupun itu membutuhkan waktu yang sangat lama."

Ayah Argani mengangguk dengan sedikit senyuman dan tangan yang memeluk pundak istrinya. Dokter berjalan menjauh setelah menyampaikan informasi kesehatan pasiennya.

"Kalau begitu Alex pulang dulu ya, Tan Om." Alex meminta undur diri, raut wajahnya memancarkan cahaya kelegaan akan berita yang masuk ke dalam telinganya.
Lagi, hanya anggukan dan senyuman yang menjadi tanggapan.

Setelah terdiam cukup lama dengan memeluk istrinya. Ayah Argani dan Bunda Arjanti masuk untuk melihat perkembangan kondisi anaknya. Arhab terbangun, hanya terlihat tatapan sayu dengan setitik air mata yang menumpuk di sudut mata. Mencoba untuk berbicara tapi sulit untuk digerakan.

"Anak Bunda hebat kok!" Bunda Arjanti dengan kalimat dinginnya, Bunda berusaha menumbuhkan percakapan dingin agar dapat membendung air mata yang telah ia pendam sedari memasuki ruangan.

"Maaf Bunda," hati Arhab berbicara. Matanya memandang benci pada peristiwa saat itu, memorinya seakan mengingat kejadian di mana ia mengalami kecelakaan akibat seorang gadis kecil yang menyeberang tanpa melihat di area balap sepedanya. Kebenciannya bertambah ketika matanya menatap sosok wajah yang menolong anak gadis itu, sehingga secara tidak langsung Arhab kaget dan membuat pemberhentiaan mendadak yang membuat Arhab terpental dan terjatuh di jurang bebatuan.

"Gue enggak akan diam, lihat saja nanti!" pikirannya berbicara dengan ketus.

---

Seiring berjalannya waktu. Terapis yang Arhab lakukan selama ini membuahkan hasil yang manis, secara perlahan Arhab dengan cepat mampu menguasai interuksi dari terapis mulai dari belajar berbicara huruf hingga menggerakkan tangannya. Dan yang awalnya Arhab makan menggunakan selang di hidungnya, kini sudah mendapatkan izin dari dokter untuk makan menggunakan mulutnya kembali walaupun lidahnya tak dapat merasakan kesegaraan air putih dan lezatnya makanan yang disajikan.

Kini Arhab sudah kembali dapat menggerakan tubuhnya secara keseluruhan, walaupun retakan di kakinya membuatnya harus berjalan dengan bantuan kursi roda.
Pada hari ini. Arhab ingin mengutarakan keinginannya untuk pulang. Arhab merasa bahagia di tengah peristiwa pahit yang menimpanya, orang tuanya tidak meninggalkannya. Lagi, Arhab merasa bahagia dengan perkataan dokter yang memperbolehkan untuk pulang.

"Alhamdulillah kamu sudah boleh pulang, Nak." Bunda Arjanti tersenyum memandang Arhab yang sudah pindah ke kursi roda dibantu oleh terapis dan suster yang merawatnya. Tatapan Arhab tetap kosong, tersirat kebencian di air mata itu. "Semua ini takdir, enggak ada yang bersalah. Maafkan dan Ikhlaskan!" petuah Bundanya seraya tangannya mendorong kursi roda menuju mobil yang sudah menyambutnya di depan pintu masuk rumah sakit.


Arhab tak memberikan tanggapan, tangannya menggenggam tangan Bundanya ketika ia berhasil menempatkan bokongnya untuk duduk di mobil berwarna hitam. Mata Arhab berputar mencari sosok laki-laki yang dikaguminya selama ini. Namun, nihil matanya tak kunjung menemukan sosok itu.
Bundanya menoleh, mendapati mata elang itu sedang mencari sesuatu. "Ayah hari ini ada rapat, menggantikan kamu untuk sementara waktu."

--

"Lah semenjak kejadian itu Arhab sering kali bengong, dan ngurung diri di kamar. Baru hari ini dia mau keluar," penjelasan Bunda Arjanti, wajahnya terlihat sedih dan tak bersemangat. Tangannya memegang tangan Afissa, begitu erat tak terlepas.

Melihat mata Bunda Arjanti yang berbinar dengan tampungan air mata, Afissa mendekati dan memeluknya. Tangannya beralih ke punggung Bunda Arjanti, menyalurkan ketenangan. Sedangkan Ayahnya mondar-mandir di depan pintu ruangan, menunggu kabar yang membuatnya bahagia oleh dokter yang sedang memeriksa Arhab.

Bunda Arjanti mengangguk lemah. "Sekali lagi makasih ya Nak Fissa sudah membantu Arhab."

Afissa mengeleng-geleng sembari melepas pelukan dari Bunda Arjanti, "Seharusnya saya yang berterima kasih karena Ibu dan Bapak tidak menyalahkan saya atas kejadian yang kedua kalinya ini."

Tanpa disadari pun, Afissa bersyukur dalam keadaan apapun ia selalu dipertemukan dengan orang-orang baik.

"Dokter bagaimana keadaan anak saya?" tanya Ayah Argani secara tiba-tiba ketika pintu ruangan terbuka yang menampilkan dokter dengan seragam putih kebanggannya.

Dokter tersenyum, "Alhamdulillah keadaan pasien baik, ia hanya sedikit shock dan akhirnya pingsan." Tangannya memegang selembar laporan medis atas nama Arhab. "Dan kalau dia sudah bangun boleh langsung dibawa pulang. Tapi, jangan lupa setiap sebulan sekali tetap harus diperiksakan untuk mengetahui tindak lanjut penyembuhan untuk kakinya."

Bunda Arjanti dan Afissa berdiri, lalu mendekat ke arah dokter yang telah memberitahu keadaan anaknya dengan senyum yang mengembang. Tangannya tetap memegang tangan Afissa begitu erat.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak dokter." Sahut Bunda Arjanti dan Ayah Argani secara bersamaan. Dokter mengangguk dan melangkahkan kakinya menuju ruang periksaan pasien lainnya didampingi dengan perawat.

"Kamu ikut masuk ya?" tanya sebagai pernyataan Bunda Arjanti ketika menoleh ke arah Afissa.

"Tidak apa-apa, Buk?" tanya Afissa kemudian.

"Kamu itu kaya sama siapa saja. Memangnya kamu tidak ingin tahu keadaan Arhab?" Ayah Argani ikut berbicara, matanya menyorotkan rasa capek. Percakapan itu terjadi tepat di depan pintu. Afissa menunduk, ia berpikir jawaban atas apa yang ditanyakan oleh Ayah Arhab. Dilanjutkan anggukan kecil oleh Bunda Arjanti.
Klik..
Pintu terbuka, langkah kaki menelusuri setapak untuk menuju ranjang. Hati Afissa berdetak kencang, otaknya berusaha merangkai berbagai kata menjadi kalimat yang tepat untuk dijelaskan ke Arhab. Afissa takut jika satu kata saja yang salah akan merubah keadaan.

"Semoga baik-baik saja," hati Afissa berbicara lirih dengan pikirannya.

Jujur. Jika saja Afissa tak melakukan kecerobohan untuk yang kedua kalinya, ia tidak akan ada dalam situasi seperti ini. Situasi, di mana hati dan pikirannya tak dapat berjalan beriringan.

"Ehm!"

Sebuah suara membuyarkan lamunan Afissa.

Seketika dada Afissa berdebar saat melihat satu sosok yang berbaring di ranjang dengan tatapan tajam dan dingin yang menusuk mata Afissa. Afissa membuang muka dan kembali menatap Ayah dan Bundanya.

"Lo tuli? Gue tanya sama lo?" tanyanya sinis.

Afissa menoleh ke sumber suara, "Ha?" lamunannya berhasil dibubarkan oleh pertanyaan yang terdengar tak enak di telinga Afissa, ketus dan dingin.

"Arhab," ucap Bunda Arjanti lirih sembari matanya menangkap mata Arhab yang menyorotkan kebencian.

Bunda Arjanti mengetahui situasi yang tidak aman buat Afissa, ia tahu bahwa putranya belum bisa merelakan dan mengikhlaskan takdir yang menimpanya, apalagi kejadian yang kedua kalinya ini membuat Arhab pasti menambah kebencian yang sudah tertanam di hatinya akibat kecerobohan seorang gadis.

"Yang anak Bunda siapa sih?" tanya Arhab ketus.

"Ya, Arhablah."

"Terus kenapa Bunda belain nih cewek?"

Terdengar suara mulai kesal. Afissa hanya bisa diam. Kejadian di Malang dan di pertigaan itu masih membekas kuat dihatinya, bahkan masih terasa jika Afissalah yang menjadi penyebab dari semua ini.

"Bunda sama Ayah keluar dulu, aku pengen bicara berdua sama nih cewek." Arhab mempertegas ucapannya, sembari matanya menatap tajam kea rah Afissa.
Ayah Argani memberikan anggukan sembari tangannya merangkul pundak Bunda Arjanti, "Bunda percaya sama Ayah. Arhab enggak mungkin aneh-aneh," ucapnya lirih di telinga Bunda Arjanti sembari langkahnya keluar dari ruangan.

"Lo yang sudah buat gue kaya gini," suara Arhab terdengar dingin. "Dan lo yang harus bertanggung jawab!" Arhab menggerakkan tangannya untuk menunjuk-nunjuk wajah Afissa.

Bertanggungjawab? Ya, Afissa mau bertanggungjawab, tetapi ia tidak tahu dengan cara apa ia harus bertanggungjawab selain mendoakan dan membantu biaya penyembuhannya. Afissa hanya terdiam, wajahnya menunduk sembari mulutnya merapalkan istigfar secara lirih.

"Lo tuli? Gue bicara sama lo!" kata Arhab lagi.

Afissa menggeleng-gelengkan kepala, mulutnya seketika kelu. "Bertanggungjawab bagaimana?" tanya Afissa kebingungan.

"Lo harus jadi pembantu gue sampai kaki gue sembuh!" tukas Arhab sinis dengan seringai penuh kemenangan.

Afissa mengangkat wajah mendengar kalimat Arhab. Ditatapnya wajah tampan berhidung mancung itu, ia menggeleng kembali sembari mulutnya merapalkan istigfar.

Afissa memperkirakan usia Arhab setara dengan Kak Faisal di atasnya dua tahun. Wajahnya terlihat dewasa dengan aura dingin dan tak terbantahkan. Sangat menarik! Hatinya berdebar kembali, bagaimana bisa ia menjadi pembantu hanya karena kesalahan yang dibuat bukan karena ia sendiri.

Lagi, tanpa sadar Afissa menggelengkan kepalanya sekilas. Mulai merasa gila dengan pikirannya yang tak dapat terkendalikan. Bukannya Afissa tidak mau bertanggungjawab? Bagaimana mungkin seorang Afissa gadis melankolis yang sibuk mengabdi harus mengabdikan dirinya untuk seorang laki-laki di hadapnnya yang berbaring dengan senyum misteriusnya.

"Tapikan ini bukan kesalahanku saja. Ini kesalahan Kakak juga," bela Afissa di tengah degub jantungnya, tangannya meremas ujung jilbab yang ia kenakan.
Arhab menatap Afissa dengan raut wajah yang tidak sabar. Keangkuhan tergambar jelas di wajah tampannya yang berkulit sedikit putih.

Arhab berbuat sesukanya.

"Lo pikir gue mau enggak bisa jalan! Seharusnya lo saja yang enggak bisa jalan! Dan lo sekarang dengan enaknya jalan kesana-kesini pakai kaki lo yang cantik itu, sedangkan gue harus pakai kursi roda!" kata Arhab ketus. "Dan lo hanya punya dua pilihan. Mau jadi pembantu gue atau lo gue laporkan ke polisi." Arhab menatap tajam ke arah Afissa yang sedang menunduk, Arhab tahu Afissa gugup dan sedikit takut saat ia berbicara. Entah kenapa aura panas tak terbantahkan menyeruap masuk ke dalam ruangan ini.

Afissa menggeleng-geleng, kepalanya bekerja secara cepat untuk mencerna setiap perkataan yang tajam yang terlontar dari mulut Arhab. Afissa tak mau berhubungan dengan polisi, jika ini sampai terjadi orang tuanya pasti akan bersedih. Dan Afissa tidak mau itu terjadi.

Dengan kesal Afissa sedikit mengentakkan kaki. Tanpa punya pilihan, ia hanya mampu mengangguk untuk menjawab perkataan Arhab. Afissa tahu, sebesar apapun usahanya untuk menolak, tetaplah Arhab yang akan menjadi pemenang karena Afissa manusia yang tidak tega, apalagi ketika ia melihat kaki Arhab yang lumpuh.

----

AsmaralokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang