Afissa melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kecilnya, menunjukkan pukul 03.30 sore. Afissa bangkit dari kursi putihnya untuk menuju rumahnya. Ya, hari ini Afissa mengunjungi toko kuenya untuk menerima dana akhir bulan yang akan disumbangkan ke panti asuhan ataupun diberikan kepada orang yang membutuhkan. Dana itu berasal dari uang pembelian kue pelanggan yang disisihkan oleh toko setiap harinya di penjualan pertama toko ini. Selain itu, Afissa juga mengadakan rapat untuk membahas strategi peningkatan dan pengembangan tokonya.
Toko kue dengan brand Fiss Cake bersemboyan Happiness in Every Bite, toko kue yang sudah berdiri sejak dua tahun lalu. Mengusung tema pernak-pernik bernuansa warna-warni pada sajian kue-kuenya, popular dengan kue bolu talas beraroma gula aren bertabur parutan kelapa yang sudah di masak bersama keju. Toko kue yang ia rencanakan, usahakan dan doakan ini berkembang dengan pesat walaupun beroperasi di bangunan kecil yang ia sewa selama lima tahun ke depan.
"Kakak pulang dulu, ya?" kata Afissa keluar dari ruang kerjanya saat ia berpapasan dengan adik-adiknya yang sedang duduk di berbagai kursi, ruangannya berada di belakang kasir dan etalase kue-kuenya. Dan di depan kasir atau etalase terdapat kursi-kursi kayu berwarna putih dengan meja yang bersahabat di dekatnya, untuk tempat duduk pelanggan yang berkeinginan pesan untuk dimakan di tempat.
Adik-adiknya mendekat, menyalami Afissa, "Oh iya, tadi pagi kakak bawa camilan. Nanti jangan lupa dimakan ya?" sahutnya kemudian setelah ia mengingat membawa sesuatu tadi pagi.
"Kakak selalu saja repot-repot," seru Trisya dengan dengan nada lirihnya.
"Kakak enggak merasa repot," Afissa menjawab sembari menyerahkan amplop cokelat kepada Trisya. "Dan ini bonus buat kalian ya! Soalnya toko lagi ada rezeki lebih," tambahnya, diikuti amplop yang memutar ke tiga adik-adiknya.
"Makasih kak," jawab Nayla dengan wajahnya yang berbinar.
Afissa tersenyum dan mengangguk, langkahnya mulai berjalan tetapi berhenti kemudian. "Dan jangan lupa kalau waktunya salat, tokonya bisa ditutup dulu sekalian sama kalian bisa istirahat." Afissa menoleh dengan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Iya kakak," seru mereke bersamaan.
"Assalamualaikum," salam Afissa menoleh lagi, dan dilanjutkan memegang pintu untuk mengakhiri percakapan.
Kaki mungilnya yang tertutup rok panjang berwarna abu-abu tua telah berjalan menyusuri jalan setapak trotoar dan menuju taman yang akan membawanya ke area masjid di samping toko berjarak empat bangunan. Terlihat ada banyak jamaah yang sudah menyelesaikan ibadah, dan itu berarti Afissa tidak ikut berjamaah. Afissa tak sendiri, beberapa orang yang belum melaksanakan salat Ashar pun segera menunaikannya.
Setelah selesai melepas sepatu yang ia pakai, ia segera mengambil air wudu. Setiap tetesan air yang mengalir ke tubuhnya memberikan rasa nyaman pada tubuhnya, setelah usai Afissa memasuki area masjid untuk wanita dan tangannya mengambil mukena yang di sediakan oleh masjid tersebut.
Cantik sudah, berdiri dengan tegap, mengucapkan niat salat diiringi dengan gerakan salat. Merapalkan doa-doa dengan penghayatan penuh di setiap ayatnya. Setelah salam, Afissa berdoa dan mencurahkan isi hati kepada-Nya. Tangannya melepas mukena, kakinya membawa Afissa melangkah menuju rumahnya.
Kembali ke area toko untuk mengambil sepeda motor cokelat yang ia parkirkan. Namun, di tengah penjalanan ia melihat seorang wanita paruh baya yang berteriak-teriak dan sesekali matanya menumpahkan air dengan tiga orang yang sudah mengerubung dan belasan orang yang sudah main kejar-kejaran, tampak seorang berbaju hitam berlari ke arahnya. Afissa dengan cepatnya, menaikkan sedikit kakinya ke atas bermaksud untuk menjenggal orang berbaju hitam tersebut. Namun, aksinya gagal dengan lincahnya orang tersebut melompati kaki Afissa. Sehingga, ia berhasil lari kembali. Tak hanya itu yang dibuat Afissa, ia berlari mengejar orang tersebut. Berbelok-belok bagai ular yang menyelinap masuk ke sebuah ruangan.
Sampai pada akhirnya, di pertigaan kecil ketiga orang tersebut berbelok kanan. Afissa menambah lajunya, matanya sesekali melihat ke belakang menampakkan orang-orang yang ikut mengejar orang berbaju hitam tersebut.
Brakk...
Suara dentuman keras menghantam jalanan yang sepi, jalanan yang ditutupi batu sebagai hiasan. Afissa tersadar jika baru saja dirinya menabrak seseorang. Terasa keras bagai besi yang ia rasakan, matanya menangkap seseorang yang tergeletak di tepi jalan dengan kursi roda yang sudah terjatuh, rodanya berputar diiringi dengan angin yang menghembuskan debu.
Afissa bangkit dengan tertatih, terasa perih di bagian siku dan lututnya yang tertutupi baju panjangnya, tak terlihat tapi terasa. Afissa berjalan pelan, ada beberapa orang yang mengejar orang berbaju hitam dan ada beberapa orang yang ikut membantunya, dan membantu orang yang tergeletak.
Afissa mendekat ke arah seseorang yang tergeletak, nafasnya naik turun, keringat dingin dengan hantaman suara jantung bekerja lebih cepat dan tangannya gemetar. Afisaa takut, Afissa bingung dan Afissa khawatir jika orang itu terjadi apa-apa, karena mata Afissa hanya mampu melihat punggung orang tersebut. Orang itu....
Orang itu, laki-laki yang Afissa bantu saat terjadi kecelakaan di Malang area balap sepeda Donwhill. Afissa sudah lama menunggu kabar dari orang tua laki-laki tersebut, namun tak kunjung ada. Tapi, hari ini Afissa ditakdirkan untuk bertemu dengannya. Melihat apa yang terjadi, hati Afissa berdebar begitu kencang debaran itu karena kekhawatiran yang menyeruak di pikirannya. Ditakdirkan dengan pertemuaan yang selalu membuat Afissa merasa bersalah.
"Ka- Kak Kakak tidak apa-apa?" tanya Afisa terbata-bata sembari menunduk. Setelah, seseorang yang diajak berbicara tidak kunjung menanggapi akhirnya Afissa mendongak ke matanya. Mata itu, mata teduh yang tertutup, untungnya nafasnya masih berhembus. Afissa berusaha menetralkan detak jantungnya, sembari beberapa kali mulutnya merapalkan istigfar.
Mencari sebuah taksi yang berlalu lalang, tak ada taksi yang lewat. Hanya bisikan-bisikan penyemat dari orang-orang yang membantunya, menegakkan aura positif yang akan membuat suasana menjadi tegang.
"Jalanan ini sepi mending lo sekarang pesan taksi online," tegur seorang perempuan yang ikut membantunya.
Afissa menganguk-angguk, tangannya merogoh ponsel kecil di dalam tasnya. Mengetik beberapa kalimat, berharap tak ada hal buruk yang akan terjadi dengan merapalkan doa-doa yang Afissa bisa. Tangan kecilnya meraih sebuah minyak kayu putih, dibuka dan dekatkan di hidung laki-laki itu.
Setelah menunggu sepuluh menit, akhirnya pesanan taksi pun datang. Beberapa orang langsung ikut membantu Afissa untuk mengangkat tubuh yang sudah lemas itu, tak ada darah yang tertangkap mata Afissa. Tapi, hal itu yang membuat Afissa tambah khawatir. Kursi roda ditempatkan di belakang taksi, dan Afissa berusaha masuk ke dala taksi.
"Makasih semua....." kata Afissa terpotong oleh seruan seseorang.
"Ada yang ketinggalan," seru seseorang menyerahkan ponsel berwarna hitam dibalik kaca taksi yang hampir tertutup.
Afissa menerima ponsel itu, tanpa berpikir panjang Afissa langsung meninggalkan lokasi tersebut. Jantungnya tak berhenti bergerak, diambil air minum yang berada di ransel untuk menghentikan rasa gemetarnya, sembari beberapa kali minyak kayu putih didekatkan lagi dihidung mancung itu berharap laki-laki itu terbangun.
Wajah laki-laki itu begitu dekat dengan Afissa, terlihat tampan dan tegas. Afissa menggeleng-gelengkan kepalanya sembari merapalkan istigfar terus menerus.
"Pak, cepetan sedikit."
Pak sopir hanya mengangguk, jalanan yang sepi memperlancar laju taksi yang di tumpangi Afissa. Afissa memperkirakan butuh waktu dua puluh menit untuk saapi di rumah sakit. Tetap tak ada tanggapan dari laki-laki tersebut, minyak itu lebih lama mendiami hidungnya.
Pikiran Afissa melayang ke ponsel yang ia terima, tangannya mengambil dan mencoba untuk membuka. Ponsel itu terkunci dengan password atau sidik jari, pikirannya terus berkecamuk sesekali ia melihat wajah yang terbaring lemah itu. Jantungnya tetap berdetung, walaupun tak separah sebelumnya. Luka di siku dan lututnya terasa perih, tapi Afissa membiarkannya.
Sampai ketika otaknya menemukan satu harapan, diarahkannya tangan laki-laki itu dibalik layar ponsel. Terbuka, Afissa tersenyum. Afissa mencoba mencari kontak atas nama orang tua laki-laki ini. Jemarinya selancar kesana kesini, tak menemukan kontak atas nama Bunda, Ayah, Ibu, Bapak, Mama, Papa atau sebagainya. Akhirnya, Afissa memutuskan untuk mencari dipanggilan masuk dan keluar. Seketika, matanya menangkap nama "Nda Nda".
"Assalamuaalaikum! Arhab kamu di mana?" tanya suara diujung ponsel ketika kontak atas nama Nda Nda melakukan panggilan, dan Afissa mengangkatnya.
"Waalaikumsalam. Buk.." jawab Afissa lirih dan terpotong pertanyaan dari ujung ponsel.
"Kamu siapa? Arhab mana?" tanya Ibunya dengan nada keras, semburat kekhawatiran terdengar di telinga Afissa.
Afissa tersentak, kepalanya bergeleng. " Buk ini saya Afissa, tadi Kak Arhab pingsan. Jadi, ini saya bawa ke Rumah Sakit Mutiara Kasih," penjelasan Afissa.
"Afissa siapa? Arhab tidak apa-apa kan?" tanya dari unjung memperjelas. Terdengar, beberapa kali Ibu Arhab memanggil Ayahnya.
Afissa hanya terdiam, rasanya begitu kaku dan kelu mulut Afissa untuk menjawab.
"Sudah, sudah. Sekarang saya akan ke sana. Assalamualaikum," putusan suara diujung ponsel, terputus pula panggilan itu.
Tuuuttt... tuuuttt... tuuuttt....
"Waalaikumsalam," lirih Afissa menjawab salam walaupun panggilannya terputus terlebih dulu.
Afissa lega, setidaknya ada penyelesaian dari kejadian yang terjadi walaupun belum sepenuhnya selesai. Kejadian baru saja membuah hatinya kembang kempis lagi, Afissa tak suka jika dirinya selalu melukai orang lain walaupun itu tanpa kesengajaan. Menunggu sampai di rumah sakit dengan harapan doa-doa yang terbaik.---
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka
RomanceHidup bagai asmaraloka, dunia penuh cinta kasih. Walaupun terkadang manusia tidak menyadarinya, dan manusia selalu menyalahkan takdir yang itu akan baik dan indah pada penutupnya. --- Afissa Humairah sosok gadis yang berusaha menjadi baik dengan v...