Di tengah hamparan lautan manusia yang tertidur lelap dengan guyuran hujan yang membasahi desa itu hingga dinginnya angin menyapa kulit. Namun, tak membuatnya ingin cepat-cepat untuk terlelap bersama lautan manusia itu.
Tak ada dinding kaca yang menjadi pembatas, bahkan bongkahan batu bata masih separuh berdiri di atas tanah berair berwarna cokelat akibat musibah yang menimpa daerah ini. Tatapannya terus tertuju pada satu dinding terpal yang berdiri kokoh tak berpenghuni.
"Abang!" tegur Indah ketika ia terbangun dan matanya menangkap sosok laki-laki yang memandang jendela transparan sehingga Indah secara jelas dapat melihat sosok laki-laki itu yang pikirannya sedang melayang ke segala penjuru arah.
"Eh.. Astagfirullah.." balas sosok laki-laki itu dengan gelagapan. Terdiam sejenak, "Ada apa, In?" tanya Abrisam yang terlihat menolehkan wajahnya. "Kenapa belum tidur?" tambahnya kemudian.
Abrisam Jagat atau biasa dipanggil Ustadz Abri oleh warga sekitar karena ia sosok guru yang mengajarkan mengaji kepada warga sekitar. Abrisam merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya bernama Indah Jagati yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar.
Setelah kesadaran Indah kembali stabil. Indah melangkahkan kaki mendekati kakaknya yang hanya membutuhkan tiga langkah "Indah capek lihat Abang ngelamun terus! Pasti Abang lagi mikirin Kak Fissa ya?" adunya.
Abrisam menoleh dan mendapati adiknya telah duduk dengan cantik disampingnya. "Ha? Kak Fissa?" elaknya.
Semenjak Afissa menginjakkan kaki di daerah ini, keakraban antara Afissa dan Abrisam mulai tampak seperti bunga mekar dibulan Desember. Abrisam yang menjadi idola para gadis daerahnya, bagaimana tidak? Wajahnya tampan, teruji kecerdasannya, pembawaannya yang menenangkan dan ilmu agama yang terpancar auranya. Ada banyak para gadis yang mengharapkan dapat berjodoh dengan Abrisam.
"Iya?" kepadanya mengangguk-angguk dengan senyum penuh tanda tanya. "Kakak suka kan sama Kak Fissa?" tanya Indah setelahnya.
Abrisam tersentak. Dengan sayang, Abrisam mengusap kepala Indah yang tertutup hijab hitamnya. "Abang hanya khawatir."
"Halah, Abang mah gak pandai bohong. Indah boleh usul ke Abang gak?" matanya berjalan ke kanan-kiri.
"Usul apa?" tanya Abrisam.
"Kalau suka bilang, Bang." Indah dengan lantangnya bangkit untuk menginjakkan kaki menjauhi Abrisam. "Kak Fissa tadi sore baik-baik saja kok, dan oh iya Indah mau banget kok punya Kakak baru seperti Kak Fissa." Suara Indah terdiri lirih dengan jarak yang ia buat.
Karena alasan itulah, hati Abrisam berdetak lebih kencang.
Sebulan lebih Abrisam dipertemukan dengan Afissa, sebulan itu pula ia membulatkan niatnya untuk segera melamar Afissa setelah Afissa kembali ke kediamannya.
---
"Bunda kangen, Nak. Bunda mohon bangunlah, Nak." Tangis BundaArjanti pecah ketika matanya menyaksikan Arhab terpujur tanpa kata.
Bunda Arjanti semakin terisak. Ketika tangannya menyentuh perban putih yang menutupi tempurung kepala Arhab. "Apa ini sakit, Nak? Sakitnya kasih ke Bunda saja," suaranya lirih dengan tangannya yang beralih ke perban tangan Arhab.
"Sudah sayang." Ayah Argani memegang pundak Bunda Arjanti, ia berusaha tak mengeluarkan air mata. "Kamu tahu kan kalau anak kita Arhab itu kuat banget," hiburnya kemudian.
"Tapi..." ucapnya terpotong.
Ayah Argani memutar posisi Bunda Arjanti, kini mereka saling berhadapan dengan bola mata yang berbinar. "Kalau kita sedih nanti Arhab pasti bakal sedih." Tangannya berusaha menyalurkan aura positif.
Tangisnya pecah, pelukan erat terasa lemah dirasakan oleh Ayah Argani.
"Walaupun anak kita dinginnya kebangetan, tapi Ayah yakin kalau Arhab sekarang lagi berjuang demi kita." Pelukan erat itu menguatkan Bunda Arjanti.
Tok... Tok... Tok...
Pintu ruangan UGD terketuk dengan begitu lirih. Namun, hal itu tak luput dari telinga Bunda Arjanti. Melepaskan pelukan, berbalik arah dan melangkahkan kaki menuju sumber suara.
"Buk, saya pamit pulang dulu ya?" Afissa menjabat tangan Arjanti sebelah kanan untuk ditempelkan ke dahinya. "Kalau ada apa-apa nanti Ibu bisa hubungin saya," Afissa menyerahkan selembar kertas bertulis angka yang berbaris rapi.
Tangan kiri Arjanti menghapus sia air yang membendungi matanya. "Iya, Nak. Makasih atas bantuannya," tangannya meraih kertas yang diberikan Afissa.
"Assalamualaikum.." salam Afissa terpotong.
"Oh iya Ibu sampai lupa, kamu masih sering main ke Panti Kasih Bunda kan?" tanya Bunda Arjanti ketika ingatannya berporos pada kejadian enam bulan lalu yang melihat seorang gadis cantik dengan hijab kunyit membawa kantong besar ditangan kanan dan kirinya.
"Loh? Kok Ibu bisa tahu?" Afissa heran, pikirannya terbang menuju waktu dimana ia berkunjung ke Panti Kasih Bunda untuk memberikan rezeki yang ia punya karena Afissa berani untuk memulai membuka usaha yang selama ini Afissa rencanakan dan impikan.
"Ibu kepikiran dari kemarin malam. Kok kayanya Ibu pernah melihat wajah kamu." Bunda Arjanti memandang mata Afissa. "Dan tadi pagi tiba-tiba Ibu ingat kalau Ibu pernah bertemu dengan kamu di pintu masuk panti itu," penjelasan Bunda Arjanti dengan wajah penuh kerja keras untuk mengingat.
"Masya Allah Ibu..." Afissa menghentikan ucapannya setelah pria baruh baya terlihat mendekati mereka berdua.
"Ayah?" panggil Bunda Arjanti ketika ia merasakan kehadiran Ayah Argani di sampingnya. "Ternyata! Ibu kenal loh sama nak...." ucapan Bunda Arjanti terjeda ketika ia berusaha mengalihkan pandangannya ke Afissa untuk meminta penjelasan atas namanya.
"Afissa, Buk."
"Iya, Afissa. Ibu ketemu Afissa di Panti Kasih Bunda loh, Yah." Bunda Arjanti menjelaskan kemudian.
Ayah Argani terdiam sejenak. Matanya menandakan ia sedang berpikir. "Loh? Panti Kasih Bunda."
Salamnya anggukan oleh Afissa dan Bunda Arjanti. "Berarti bukan anak sini?" tanya Ayah Argani dengan rasa penasarannya.
"Bukan, Pak. Di sini ada kegiatan," kata Afissa. Ranselnya bergetar membuat Afissa sedikit berbelok pandangan.
Ayah Argani dan Ibu Arjanti yang mengetahui hal tersebut, lantas langsung mempersilakan Afissa untuk segera kembali melakukan kegiatannya.
"Kan sudah ada yang mengkhawatirkan," ucap Bunda Arjanti dengan senyum manisnya. "Nanti kalau kau disini kelamaan, bisa-bisa kamu pulang besok Anak Afissa."
"Ibunya Arhab kalau sudah sehati pasti nanti ditanggapnya lama," senyum jahil Ayah Argani terbit di ujung pipi.
"Ayah ini ya," Bunda Arjanti mengembangkan pipinya, berpura-pura menciptakan dramatis marah.
Afissa ikut mengembangkan senyum ketika matanya menyaksikan keromantisan yang sederhana, akan tetapi membuat bahagia.
"Ya sudah kalau begitu Buk Pak, Afissa pamit pulang dulu. Assalamualaikum." Afissa menyalami tangan Ayah Argani dan berlanjut ke tangan Bunda Arjanti.
----
Sore kian larut dengan matahari orange yang menghiasi daerah Malang, seakan menambah kecantikan suasana hari ini. Angkutan umum yang mengantarkan Afissa terhenti di pertigaan jalan menuju desa yang Afissa tempati karena desa ini tak dapat dijangkau oleh kendaraan roda empat.
Berhenti, dan terdiam menunggu. Jemarinya berselancar di area deretan huruf transparan.
"Lo ke mana saja sih Fiss?" ucapan pertama kali ketika handphone tersambung dengan seseorang yang berada diujung suara.
"Assalamualaikum Jelita, salam dulu baru ngomel-ngomel." Canda Afissa di tengah kesendiriannya menunggu sembari jari-jarinya bermain di are ransel.
Jelita Panca Auora gadis cantik dengan lesung pipi yang mewarnai wajahnya, calon Ibu Dokter. Pertemuan itu tercipta karena ketidaksengajaan, tertukarnya ransel pada kegiatan kerelawanan pendidikan di Nusa Tenggara Timur dan kejadian itu sudah berselang 1 tahun yang lalu.
"Bocah nakal, lo bikin gue khawatir."
"Maaf," sesal Afissa. "Kemarin aku mau menghubungi kalian tiba-tiba bateraiku habis, dan tahu sendiri kan .." penjelasan Afissa dengan cengiran di wajahnya.
"Sudah-sudah, gue tahu lo kok. Ih selalu begitu lo tuh, sekarang lo ada dimana?" Jelita berusaha menahan emosi.
"Haha.. Sehari gak ketemu kamu tuh bikin rindu tahu Ta," Afissa mencoba menghibur dengan candaan yang dibuatnya. "Minta tolong jemput ya Ta?" lanjut Afissa dengan nada lemasnya.
"Kenapa ngak minta tolong sama Ustadz Abrisam saja," kalimat bernada ejekan itu akhirnya keluar dari ujung handphone.
"Ih Jelita apa sih," Afissa mengelak dengan semburat merah tumbuh di pipi. "Nanti kalau sudah sah baru aku minta jemput hehe.." terpotong penjelasannya.
"Gue bilangin sama Ustad Abri ah,"
"Eh aku tadi cuma bercanda Ta, kamu ini. Sudah ah, cepetan jemput aku Ta. Aku lagi ada di pertigaan menuju desa. Dan jangan lupa bawa jaket sama helm, ok?" Afissa berjalan mencari posisi duduk terbaik di gubuk pos kamling.
"Iya-iya Nyonya Abri," Jelita terdengar kesal tetapi tawa ledekan kebahagiaan.
Ia tidak menyesal mengenal Jelita, bayangan kebaikan Jelita selalu melintas di pikirannya. Dengan tekad yang kuat, Afissa harus selalu menjaga dan memperkuat hubungan persahabatan.---
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka
Roman d'amourHidup bagai asmaraloka, dunia penuh cinta kasih. Walaupun terkadang manusia tidak menyadarinya, dan manusia selalu menyalahkan takdir yang itu akan baik dan indah pada penutupnya. --- Afissa Humairah sosok gadis yang berusaha menjadi baik dengan v...