Aku adalah Shu.

4 0 0
                                    

Seorang pemuda tanggung tidak terlalu tinggi dan badan kurus dengan warna kulit bagai terang bulan, wajah cukup rupawan, rambut hitam panjang hampir mencapai pundaknya. Nampak normal saja di usianya kecuali warna kulit yang terang itu.

Sejak dilahirkan Shu tinggal berdua saja bersama ibunya ia tak pernah tahu siapa ayah kandungnya saat menanyakan perihal ayahnya raut wajah ibunya sangat sedih kalau sudah begitu sang ibu akan menangis tanpa henti berhari-hari dan akan membuat Shu repot sendiri dan merasa bersalah.

Shu, anak yang penurut dari luar ia terlihat lemah tidak bertenaga akan tetapi ia sangat ingin bisa beladiri terutama ketertarikannya terhadap jurus pedang. Menjadi anak laki satu~satunya serasa beban jika ia tak mampu melindungi orang tercinta, apalagi sejak musim kemarau beberapa bulan lalu desa Shu sering jadi sasaran perampasan hasil bumi. Mereka kekurangan bahan baku pangan harta benda ikut direnggut ditambah lagi penyiksaan yang dilakukan para bandit membuat hidup semakin berat untuk dijalani.

Di Desa tidak ada satupun yang berani melawan keserakahan dan kegilaan para bandit gila  yang disebut sebagai kelompok Awan Hitam [The Black Cloud].

Shu... bersumpah suatu saat akan memerangi para bandit gila  dengan pedangnya sendiri. Namun sebelum itu ia harus keluar dari desa dan meninggalkan orang yang dia kasihi, mustahil juga untuk membawa ibunya yang sudah cukup berumur terlebih lagi jarak tempuh serta medan sangat berbahaya. Shu dilanda dilema baik meninggalkan atau membawa sama berbahayanya akhirnya diambillah keputusan untuk pergi bersama keluar dari desa. Setidaknya Shu bisa memastikan bahwa ibu selalu ada menyertai di tiap langkahnya.

"Shu, kita harus sangat berhati~hati sebab kau tahu sendiri bagi penduduk desa yang berniat meninggalkan desa harus kehilangan nyawanya." ibu mengingatkan 

"Tentu aku tahu ibu". shu menjawab dengan malas sembari menjungkir balikkan bola matannya.

Sementara itu sang ibu sibuk menyiapkan perbekalan dan barang~barang yang akan dibawa, walaupun sesungguhnya tidak banyak lagi yang tersisa. Mereka berdua telah lama merencanakan pelarian ini jalan satu~satunya adalah meninggalkan kampung halaman mencari tempat yang damai untuk memulai hidup baru karena sudah tidak mungkin bertahan di desa.

Ibu menatap nanar pada sekeliling dapur yang hanya terdapat bahan pangan yang sudah kering mulai dari sayuran, buah hingga beras untuk diolahpun tak ada.
Di lubuk hatinya menjerit pilu hanya yang Maha Kuasa yang tahu.

Ia berpikir mungkin akan memetik buah di dalam pelarian mereka di tengah hutan dan berburu ayam hutan untuk dimasak.
Satu-satunya bekal yang tersedia hanyalah persediaan air bersih untuk diminum.

Lalu ia berkata tanpa membalikkan badan ke arah putranya tak ingin Shu menyaksikan lelehan air mata.

"mungkin sedikit terlambat bagimu untuk memulai berlatih putraku...." ibu sedikit meragukan kemampuan anaknya bagaimanpun juga ibulah yang paling tahu bakat anaknya. 

Namun iya juga tersentuh melihat tekad kuat putranya menuju kemahsyuran dunia persilatan. Di era sekarang pendekar sangat dibutuhkan tenaga dan keahliannya bahkan ada pembesar yang berani membayar dengan bongkahan emas untuk menyewa pendekar pedang.

Shu, anak yang tidak beruntung dalam nasib ia lahir di zaman kekacauan meskipun perang antara kebaikan dan keburukan telah lama berlalu imbasnya dapat dirasakan hingga ke generasi depan seperti Shu ini. Ada yang mengatakan bahwa perang ini tidak menghasilkan apapun selain kerusakan, ada yang berujar bahwa perang lalu dimenangkan oleh pihak yang jahat. Bahwa sesungguhnya pihak putih yang berada di sisi kebenaran telah gagal.

Tentu saja ini dapat dibenarkan mengingat kenyataan masih sering terjadi ketidak adilan di mana-mana, pembunuhan, rampok serta kejahatan lain.

Sejak kematian kepala suku keadaan desa jadi tidak jelas dan tidak seorangpun yang sanggup menjadi pemimpin desa. Masih terbesit dalam ingatan tiap orang bagaimana bandit~bandit itu berlaku kejam kepada kepala suku, seluruh anggota keluarga disiksa dan dibantai.

Shu sangat marah namun tak dapat membela diri apalagi menolong orang lain jika ia memaksakan diri nyawanya beserta ibunya akan dapat dipastikan melayang. Akhirnya tibalah saat yang paling ditunggu~tunggu untuk melarikan diri dari desa, malam ini sebelum pergantian penjaga mereka ibu dan anak telah paham betul situasinya. Tanpa membawa barang menyelinap keluar melalui pintu belakang dengan pakaian serba hitam tujuannya tersamarkan oleh gelapnya malam. Malam hari tanpa penerangan sungguh gila bahkan jika membawa lentera sekalipun belum tentu luput dari perangkap maut yang memang sengaja dipasang oleh para penjahat itu.

Mereka harus menuruni bukit kecil ini lalu menerobos hutan yang cukup lebat yang menghadang di depan. Shu mengikat pergelangan tangan ibu sebelah kiri agar tidak mudah terpisah ia juga mempersenjatai diri dengan benda tajam yang mungkin terlihat seperti golok hanya saja ukurannya lebih kecil entah ini bisa berguna atau tidak saat menghadapi ancaman di dalam hutan.

"Ibu mereka sudah menjarah abis~abisan desa kita tapi mengapa mereka masih begitu enggan melepaskan desa ini?"  Shu berjalan pelan sambil tetap menarik sang ibu seperti seekor piaraan.

"Mereka sangat rakus nak entah apa yang mereka rencanakan mungkin saja desa kita ini akan dijadikan tempat persembunyian mereka atau tempat sebagai- ahh...entalah ibu juga tak begitu yakin"

Sang Ibu nampak seperti wanita bungkuk yang sedang berjalan lambat ini dikarenakan ibu Shu membawa barang dipunggungnya yang dibalut dengan kain.

Desa kelahiran Shu bisa dibilang cukup luas wilayahnya dan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi namun sejak perampok datang ke desa jumlah penduduk berkurang hampir tiap minggunya.

Shu setelah mendapatkan keahlian tinggi sebagai pendekar akan membebaskan penduduk desa dari penderitaan serta cengkraman para bandit biadab itu.

Memasuki hutan berdua ibu dan anak berjalan perlahan dengan tenang, sesekali mereka harus berhenti berjalan melengok ke kiri dan kanan serta ke belakang untuk memastikan keadaan tetap aman. Sang ibu hanya dapat melongo saat dituntun putranya masih dalam keadaan diikat dengan tali kecil halus di pergelangan tangannya.

Dalam hati ia berkata 'bagaimana dia bisa ingat jalanan di hutan dalam gelap gulita begini tanpa tergelincir atau jatuh?'

'Ah anak ini memang sering bermain berlama-lama di hutan wajar saja ia masih mengenal area sekitar'

Sang ibu terbuai dalam lamunan bahagia melihat masa depan Shu....
Desa yang mereka tinggalkan adalah desa pelangi yang keindahan alamnya begitu menawan orang akan sulit berpaling darinya.

Namun sejak kedatangan kelompok Awan Hitam, pelangi di desa ini tidak lagi seindah sebelumnya.
Terus berharap kelak munculnya pendekar hebat yang punya kemampuan tinggi mewujudkan kedamaian dalam arti yang sebenarnya.

Sumpah PedangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang