Keberuntungan Hinata, Naruto, atau mungkin bagi keduanya. Bukan tanpa sebab, pasalnya semula mereka kerap berhadapan pada situasi rumit. Ada perdebatan, saling mengejek, bahkan yang paling parah adalah pertengkaran. Meskipun waktu itu lebih jelas terlihat bahwa kemarahan Naruto berada dipuncak, juga akibat kesalahan Hinata. Dan sekarang agaknya berangsur-angsur membaik, kala mereka berada di posisi lebih dekat walau ini terencana berdasarkan tuntutan pekerjaan.
Pagi-pagi sekali Hinata sudah tampak gembira. Membangun aura positif di tempat kerja, jelas berdampak baik bagi suasana hati. Dia sengaja melalui lorong yang melewati ruang lamanya. Menyapa rekan terdekat yang selama ini menemani dan banyak membantu dirinya.
"Mei...!" Hinata menyapa di bingkai pintu. Berdiri sambil membagi senyum cantik. Lalu keriangan Mei meledak-ledak sekarang.
"Aku sedih saat tahu kau tidak lagi di sini bersamaku. Tapi aku sangat bahagia atas pengangkatanmu. Selamat, ya." Mei memeluk Hinata, menunjukkan antusiasnya yang pula tak kalah besar atas pencapaian perempuan itu. "Kau tidak ingin merayakannya bersamaku?"
"Pasti, nanti kutraktir. Kayaknya masih sempat berbincang sebentar." kata Hinata setelah melirik singkat arloji di pergelangan tangan. "Sebenarnya tidak sesederhana itu. Aku masih dalam masa percobaan." seraya mendekati kursi kosong di meja lamanya. Sedikit demi sedikit, Hinata menceritakan secara terbuka.
"Yakin aman? Bos tidak suka keterlambatan. Dia pernah sangat marah padamu, gara-gara ini."
"Aku tahu. Memangnya siapa yang bisa melupakan hari buruk semacam itu. Apalagi kesalahanku berakibat fatal. Masih beruntung bisa diselesaikan dan kita mendapat kesempatan kedua, Samui benar-benar hebat. Tidak heran kalau Bos selalu memuji-muji kinerjanya." Mei tetap berdiri, ragu bila Hinata mendapat waktu untuk berbincang lebih lanjut. "Santai saja, aku sengaja datang cepat agar kita bisa mengobrol." Lantas Mei Terumi langsung mendudukkan bokongnya di kursi. Bertopang dagu, menanti kisah Hinata berikutnya. "Dia akan memecatku jika kali ini aku melakukan kesalahan."
"Oh Tuhan, aku tidak mau itu terjadi."
"Mei, kau memang teman sejati. Aku juga tidak mungkin memberi celah padanya. Jadi dia sedang mengujiku sekarang. Kau tahu Mei... sebelumnya aku tidak pernah merasa gugup saat berhadapan dengan dia. Entah kenapa saat ini..."
"Kau gugup?"
"Sangat." Hinata mendengkus setelahnya.
"Apa karena kau sadar kalau dia begitu tampan?" Mei justru menggodanya, ketika muka Hinata samar-samar bersemu merah.
"Mei... bukan soal itu." Hinata memendamnya, memang bukan perihal tersebut yang mau dia beberkan. "Hanya saja, selama kami terlibat, selain perselisihan aku tidak pernah bisa bertahan lama untuk berbicara secara serius, mendalam, ini benar-benar dekat. Aku bisa menyaksikan dan yakin dia merupakan lelaki yang terlalu fokus dalam bekerja."
"Ya, bagus 'kan?! Artinya dia bisa diandalkan dan kita tidak perlu meragukan dedikasinya untuk perusahaan."
"Benar. Tapi menghadapi dia yang seperti itu, ketenanganku menipis. Aku grogi, Mei."
"Oke... aku paham maksudmu. Berarti bukan karena ketampanan, tapi kau terpikat oleh kegigihannya. Betul 'kan?" Mei lagi-lagi mengusili. Sedang Hinata langsung dibuat gelisah. Dia langsung melihat arlojinya sekali lagi dan beranjak detik itu juga.
"Kita sambung nanti, ya. Aku takut dia mengamuk." Hinata tertawa kaku, gigi-giginya merapat akibat kikuk.
"Dasar! Begitu saja sudah keok." Mei spontan terkikik geli, menyaksikan Hinata yang lari belingsatan keluar.
.
.
.Sampai saat ini, segalanya berjalan lancar. Hinata membuktikan bila ucapannya bukanlah sekadar isapan jempol belaka. Perilakunya kentara berbeda. Seperti dia kukuh ingin membuktikan kelayakan diri.
Satu, dua, tiga kali pintu ruangan CEO dia ketuk perlahan. Mendengar bariton berat nan serak itu menyahut, Hinata sedikit merapikan penampilan ala kadarnya, ditutup dengan dia menarik seluruh rambutnya ke belakang. Lalu sembari dia membawa beberapa map berisi berkas-berkas, Hinata memasang muka ramah dibingkai senyuman.
"Ya, Hinata. Ada yang menyulitkanmu?" Sang CEO itu pun tak kalah bersahaja. Dia menyambut Hinata dengan tenang.
"Tidak sepenuhnya demikian. Tapi aku berusaha memahami beberapa berkasmu dan sudah tiga kali kuulang, tetap menyisakan tanda tanya di kepalaku."
"Yang mana?" Naruto bertanya seraya dia memperhatikan berkas-berkas yang mulai dibuka Hinata.
"Ada yang tidak sinkron di sini. Padahal ini laporan yang sama 'kan? Aku bingung kenapa di mataku justru berbeda?"
"Maksudmu yang ini?" Naruto menunjuk lembar laporan itu sambil menatap intens Hinata. Sejenak dia melipat bibirnya, menandakan bila dia tengah memusatkan pikirannya. "Ini memang jenis laporan yang sama. Samui memisahkan keduanya agar waktunya tidak berbenturan. Laporan merah ini adalah jadwalku untuk proposal yang sudah berjalan, tidak ada yang bisa dibatalkan. Dan yang biru masih jadwal sementara. Nah, di sini aku membutuhkan kesigapanmu untuk memastikan jam kerjaku. Lama-lama kau akan tahu mana yang perlu diutamakan." Hinata mengangguk selagi netranya mengamati lekat-lekat.
"Aku jadi waswas tidak bisa seteliti Samui." perkataan Hinata terdengar berbisik. Keyakinannya menurun, tak sekuat pagi tadi saat dia mengungkapkan rasa percaya dirinya pada Mei Terumi.
"Kalau sudah terbiasa, semuanya akan terasa mudah. Santailah sedikit, tapi kau jangan main-main. Ini seolah bermain dengan caramu, tapi kau ikut peraturanku. Dengan seperti itu kita bisa saling mengerti dan segalanya juga berjalan lebih tertib."
Usai mendengar pernyataan si CEO, Hinata terlihat meraup udara sedalam-dalamnya. "Kau benar. Mungkin karena ini merupakan hal baru untukku, aku jadi gugup."
"Ya, itu bisa dimaklumi. Asal kau terus disiplin dan giat ... mungkin kau bisa menyamai prestasi Samui, atau malah di atasnya." Naruto bersungguh-sungguh saat mengutarakan itu. Tanpa dia sadari senyuman di bibir tipisnya mengalihkan pikiran Hinata ke tempat lain. Di benaknya terlintas ucapan Mei Terumi tadi pagi, lamat-lamat pipi Hinata mendadak merah.
"Kau tidak apa-apa? Kenapa wajahmu?"
"Eh ... ti-tidak. Aku hanya sedang mencoba mengingat sesuatu." jawab Hinata dengan gagap.
"Ya sudah. Jika ada lagi yang membuatmu bingung atau ragu, jangan sungkan menanyakannya padaku."
"Tentu. Aku tidak mau menciptakan masalah baru bagimu maupun perusahaan ini. Takutnya aku tidak sepiawai Samui dalam menyelamatkan perusahaan disaat genting." tawa Hinata tertahan. Hingga Naruto yang kini merasa lucu terhadap tingkahnya.
"Tidak usah setegang itu. Biasakan santai, tapi tidak lupa tujuanmu. Aku dan Samui juga sering bercanda. Bahkan tak jarang dia menceritakan lelucon kepadaku. Suasana rileks itu penting, agar kau tidak gampang bosan." jari-jari Naruto saling bertautan, kemudian dia menyentak lengan-lengannya ke atas, merenggangkan sendi-sendi yang mulai kram.
"Kelihatannya kalian sangat dekat."
"Dia banyak berjasa di perusahaan ini. Ayahku terang-terangan mengakui prestasinya. Dan ya, kalau boleh jujur. Dia yang pertama kali mengajari banyak hal padaku, sampai akhirnya aku benar-benar kuat untuk duduk di singgasana ini."
"Kupikir ada sesuatu yang berbeda. Baiklah! Terima kasih, aku permisi dulu. Tapi bisa saja aku kembali ke sini saat bingung."
"Tidak masalah. Karena kau masih dalam masa percobaan, aku tidak keberatan membantumu." sekali lagi Hinata mengucapkan terima kasih seraya sedikit membungkuk. Dan yang tertinggal adalah bunyi napas kelegaan oleh sang CEO. Puas karena pada akhirnya dia bisa berkomunikasi secara normal dengan Hinata, tanpa perlu bersitegang.
.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Comfort table (End)✔️
FanfictionBerawal dari banyak peristiwa menjengkelkan yang memancing amarah tak terkendali. Pun perdebatan tak terelakkan. Namun di saat yang sama, perlahan rasa rindu datang menyiksa. Bagaimana kisah selengkapnya ? Silakan baca. My collab with @laceena Ini...