Kendaraan beroda dua itu berhenti di depan sebuah gerbang raksasa. Meng Qi melihat sosok pemuda yang berada di belakang tubuhnya, kelopak mata itu terpejam dengan erat dan mengerut membuat bulu mata panjangnya terlihat seperti sayap.
“Kita sudah sampai,” Meng Qi mengatakannya untuk memengaruhi Wei An yang tampak ketakutan sejak awal mereka menunggangi kuda elektrik itu.
Wei An membuka matanya secara bertahap dan mendapati gerbang hitam yang menjulang cukup tinggi. Entah mengapa dia merasakan embusan aura dingin dari bangunan di balik gerbang tersebut, membuat tidak nyaman. Perasaannya berubah gelisah yang secara langsung direfleksikan oleh raut wajahnya dengan tekukan pada alis, dan hal itu tertangkap indra penglihatan Meng Qi. Pemuda itu berpikir jika Wei An takut dimarahi karena tidak pulang selama dua hari. Menghela napas, Meng Qi pun kembali menyalakan motornya dan melajukan hingga ke tiang penyangga di sisi kanan. Membuka kaca helm dan memosisikan wajah tepat pada alat sensor yang memiliki fungsi serupa seperti pada jam tangan. Setelah cahaya biru yang lembut mengidentifikasi identitasnya, dengan perlahan pintu gerbang terbuka otomatis.
Motor itu pun kembali melaju memasuki halaman luas yang dipenuhi tumbuhan hijau terawat. Meskipun sangat indah dan asri, tapi Wei An tidak bisa untuk tidak merasa tertekan. Bulu kuduknya meremang sampai pada punggung yang tegak. Tampaknya pemilik tubuh itu memiliki ingatan buruk tentang tempat tersebut. Wei An dengan berat hati membawa diri untuk menuruni motor Meng Qi ketika mereka sudah berada tak jauh dari muka rumah. Meng Qi lebih dulu berjalan menaiki tangga dua anak, sedangkan Wei An memilih bersembunyi di balik punggung yang tegap.
Seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu dengan senyum ramah memesona di usia yang tak lagi muda. Penampilannya tampak elegan dan mewah khas istri seorang pengusaha kelas atas. Dengan tatapan hangat dia menyambut Meng Qi, “Tuan Muda Meng, senang mengetahui Anda yang mampir. Silakan, masuklah terlebih dahulu.”
Meng Qi tersenyum kaku, sangat tidak nyaman dengan perlakuan formal yang didapat dari Nyonya Wei. Mengesampingkan perasaan, Meng Qi segera menolak tawaran untuk masuk dan dengan gamblang mengatakan alasannya mampir. “Tidak perlu terlalu formal, Nyonya Wei, saya datang untuk mengantarkan Wei An pulang. Sepenuhnya salah saya yang menabrak Wei An ketika belajar mengendarai mobil sehingga dia harus menginap semalam lebih di rumah sakit. Maafkan saya,” penjelasan Meng Qi cukup lugas dan jujur. Dia sedikit menundukkan kepala sebelum menggeser tubuh agar keberadaan Wei An tidak tersembunyi lagi.
Ekspresi pertama yang muncul di wajah Nyonya Wei adalah keterkejutan. Tatapan matanya sulit dimengerti ketika melihat pada sosok Wei An, lalu kembali ke mode lembut pada Meng Qi untuk menyembunyikan kekagetannya. Memberikan senyum kecil yang menawan dan berucap, “Terima kasih, Tuan Muda Meng, sudah repot-repot mengantarkan Xiao An.” Bergegas mendekati Wei An yang masih bergeming dan menggenggam pergelangan tangan yang kecil milik pemuda itu. “Xiao An, kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir yang sangat lembut, tapi dalam pandangan Wei An, manik mata sosok ibu itu tampak menyebalkan. Pada detik itu juga, Wei An memberi penilaian buruk terhadap wanita bermuka dua tersebut, terlepas dari panggilannya yang terdengar sangat akrab dan begitu menyayangi anaknya.
Tak lama setelah itu Meng Qi berpamitan pulang dan mengendarai motornya hingga menghilang di balik pagar raksasa.
Pegangan Nyonya Wei pada pergelangan tangan Wei An berubah menjadi cengkeraman yang secara bertahap kian menyempit dan menimbulkan rasa sakit. Wei An meringis pelan.
“Kamu masih berani pulang, huh!” desis wanita itu sembari menggeram. Gigi atas dan bawah menyatu dengan erat menimbulkan bunyi, mata memelotot galak. Bulu kuduk Wei An berdiri, tapi ekspresi di wajahnya tidak beriak berlebihan seolah tidak terjadi apa-apa. Dia juga mulai memahami alasan mengapa sejak melihat gerbang di depan tadi, tubuhnya merasa tidak nyaman.
“Jadilah anak laki-laki yang baik, maka kamu akan diterima di keluarga ini lagi,” setelah mengatakan itu, Nyonya Wei memegang tangan Wei An dan berjalan masuk ke rumah. Memperlakukan seperti Wei An mengalami sakit yang sangat serius.
Memasuki rumah, ruang tamu itu terlihat diisi oleh beberapa orang yang tengah menikmati waktu senggang mereka. Bersantai di hari libur dan memanfaatkan waktu untuk saling mendekatkan diri. Nyonya Wei masih menarik Wei An pada tangannya, melewati orang-orang itu, dia berkata, “Xiao An tampaknya tidak sehat, aku akan membawanya ke kamar.”
Memanfaatkan gerakan Nyonya Wei yang melambat, Wei An menyempatkan diri untuk mengedarkan pandangan ke arah orang-orang itu. Seorang pria tampak sangat tampan dengan tatapan dingin yang tajam, duduk bersebelahan dengan satu-satunya gadis muda, tatapan matanya terarah langsung pada wajah pucat Wei An.
Nyonya Wei kembali melenggangkan langkah lebar menaiki tangga dengan tangan yang membimbing Wei An dalam cengkeraman erat. Sedikit mendesak tubuh pemuda itu dari belakang untuk cepat-cepat berjalan, memasuki kamar, dan menutup pintu. Melayangkan tatapan tajam, dia berkata, “Jangan berani keluar dari kamarmu! Setelah Tuan Muda Yan pulang obrolan kita akan berlanjut.”
Nyonya Wei pada akhirnya menghilang di balik pintu berwarna coklat dan meninggalkan Wei An dalam beragam pertanyaan dalam otaknya. Keluarga Wei yang kaya itu sepertinya sangat miskin dalam kasih sayang terhadap anak mereka, atau mungkin hanya pada Wei An saja.
Di dalam kamar dingin itu, Wei An memerhatikan setiap sudut dan mulai mengecek satu persatu benda. Mengobrak-abrik isi lemari juga laci untuk menemukan beberapa petunjuk tentang keberadaannya di dunia itu. Alasan yang menjadi fondasi tertariknya jiwa Wei An ke dalam tubuh Wei An yang lain. Dia harus mendapatkan cara untuk kembali atau mungkin cara bertahan hidup di dunia yang mana keberuntungan tidak berpihak padanya.
Ada kalung misterius yang ditemukan Wei An di bawah tumpukan bajunya, kalung itu berwarna silver terang dengan liontin berbentuk kepingan kecil dan memiliki motif bunga daffodil di atasnya. Memerhatikan dengan cermat, Wei An mendapati jika benda itu merupakan peranti elektronik. Merasa jika akan menemukan petunjuk dari dalamnya dengan segera Wei An memasang peranti itu pada jam tangannya. Benar saja, sebuah penampakan berbentuk seperti buku muncul pada layar hologram. Wei An membukanya dengan sidik jari dan mengeklik salah satu dari puluhan bagian.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH YOU ON BOARD
FantasyWei An menutup mata untuk selamanya, tetapi beberapa detik kemudian dia terbangun di tempat yang asing. Mengalami banyak hal dan mulai mempelajarinya, akhirnya dia mengerti. Wei An terlahir kembali dan hidup sebagai antagonis di dalam sebuah novel y...