Hanya beberapa jam setelahnya, Wei An terbangun tepat pukul empat pagi. Mendapati tubuhnya yang tergulung oleh selimut membuat suasana hatinya sangat baik, bibir tak henti menyunggingkan senyuman manis. Kebahagiaan kecil itu mengusir rasa kantuknya dengan baik. Dia memutuskan untuk beranjak, berencana pindah ke tempat tidur bersama Yan Huai, tapi melihat sebuah cahaya samar-samar terlihat dari luar balkon, lebih menarik perhatiannya.
Membuka pintu, perlahan angin pagi menyerbu masuk ke dalam kamar, Wei An mempererat pelukan selimut. Langkahnya berhenti di tengah balkon, menatap lurus pada cahaya yang semakin membesar seperti kebakaran, namun dari sumber itu meluncur beberapa kembang api. Kanvas gelap berupa langit perlahan dihiasi bunga-bunga api yang mekar.
Keindahan langit terpancar pada bola matanya yang jernih, melotot penuh kekaguman hingga membuat engsel di rahang mengendur.
“Akhir dari hari berkabung selalu terlihat bagus.”
Dari belakang, Yan Huai muncul dengan tatapan terpaku pada langit yang sama. Sedikit mengejutkan Wei An, tapi begitu mengenali suara itu secara bertahap dia merasa aman. Mereka berdiri bersebelahan.
Wei An mengalihkan perhatian, menatap lamat-lamat pada wajah Yan Huai. Meskipun dilihat dari samping, ketampanannya tidak berkurang, justru menumbuhkan kesan misterius untuk dipecahkan. Pada dasarnya, Wei An memang sosok yang akan mengatakan apa saja isi kepalanya secara gamblang.
“Yan Huai, aku menyukaimu. Menikahlah denganku!”
Bola mata Yan Huai tentu saja membelalak dengan cepat, ekspresi kaku di wajah tampan itu luntur karena terlalu terkejut. Telapak tangannya yang besar berpindah pada mulut Wei An, ketika remaja itu akan mengatakan sesuatu. Sedikit gelisah memerhatikan sekeliling, dia berkata, “Jangan katakan omong kosong itu lagi!”
Meskipun intonasi suara pelan, tapi penuh peringatan. Wei An berpikir jika Yan Huai benar-benar tidak menyukainya, karena itu menganggap perkataannya sebagai omong kosong belaka. Namun, menyaksikan kekhawatiran di wajah Yan Huai, juga mata yang bergerak dengan gelisah, Wei An mulai memahami situasi.
Yan Huai bergerak ke tepian balkon, mengedarkan pandangannya ke atap. Sebuah boneka keramik tersenyum lebar ke arahnya. Tanpa pikir panjang, dia memanjat. Menaiki atap untuk mengambil boneka tersebut.
Wei An terkejut, jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya. “Hati-hati!” teriaknya panik.
Untung saja kebugaran fisik Yan Huai sangat bagus dan terlatih. Setiap pijakan kakinya mantap tanpa ragu, pergerakan cepat dan tepat.
Boneka keramik itu tidak berdiam diri, setengah tubuh bagian atas berputar dalam ritme cepat diiringi tawa kecil yang perlahan mulai menggema dengan keras. Boneka keramik melayang beberapa centimeter di atas, lalu muncul api dari kakinya.
Yan Huai lebih dulu mencegah boneka keramik untuk meluncur. Percikan api mengenai tangan, tapi dia tetap berusaha menghentikan boneka keramik. Menekan sebuah tombol tersembunyi pada punggungnya, secara bertahap boneka itu kehabisan tenaga. Api di kakinya padam, tubuh keras itu berhenti berputar, dan tawa mengerikan berhenti menggema.
Karena luka bakar pada salah satu tangannya, Yan Huai melepaskan boneka keramik. Meluncur ke di sepanjang atap dan terjatuh ke halaman samping. Pow segera diperintahkan untuk mencari boneka tersebut, merusak sistem dan menghancurkannya.
Yan Huai turun dengan susah payah, untung saja Wei An siap sedia membantu. Menarik tubuh Yan Huai ke balkon, luka di tangan pria dewasa itu terlihat sangat mengerikan. Dengan panik Wei An membawa Yan Huai kembali ke kamar, memaksanya duduk di sofa.
“Di mana kotak obatnya?” Wei An bertanya dengan nada khawatir. Ekspresi pada wajah tampak gelisah, tangannya bergetar dan terasa dingin, berbanding terbalik dengan suhu tubuh yang meningkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH YOU ON BOARD
FantasyWei An menutup mata untuk selamanya, tetapi beberapa detik kemudian dia terbangun di tempat yang asing. Mengalami banyak hal dan mulai mempelajarinya, akhirnya dia mengerti. Wei An terlahir kembali dan hidup sebagai antagonis di dalam sebuah novel y...