Dalam pandangannya, kebingungan Wei An tampak nyata dan aneh. Meskipun memiliki kesulitan untuk dekat dengan orang asing, tapi Meng Qi cukup peka terhadap orang-orang di sekitar.
Mendengar kalimat itu, Wei An membeku untuk sesaat. Gerakan tubuh kaku dengan bola mata yang gelisah. Sesaat kemudian dia terkekeh pelan, dengan suara sedikit bergetar dia bertanya, “Apa aku terlihat seperti itu?”
Inginnya menjawab ‘ya’, tapi merasakan ketidaknyamanan yang besar pada diri Wei An, Meng Qi memilih acuh. Tidak memperpanjang masalah itu merupakan pilihan terbaik. “Bukankah kamu ingin pergi ke barber shop? Ayo, sebelum semakin larut!” mengalihkan pembahasan, Meng Qi bangkit berdiri. Merapikan jaket sebelum berjalan lebih dulu.
Wei An menghela napas lega. Meskipun dia tahu jika Meng Qi masih merasa curiga, setidaknya permasalahan ini bisa ditunda hingga dia memiliki penjelasan yang masuk akal. Lagi pula Wei An juga tidak tahu akan sampai kapan dia tetap berada di dalam kehidupan orang lain. Melangkahkan kaki mengikuti Meng Qi dan berusaha keras untuk tetap tenang agar tidak semakin mencurigakan.
Mereka pergi menggunakan motor, padahal jarak yang ditempuh tidak jauh. Hanya beberapa puluh meter dari gedung apartemen. Barber shop itu tampak normal, tanpa mesin elektronik yang mengejutkan. Setelah memutuskan model rambut yang akan dipakai, Wei An duduk manis, tidak ambil pusing dengan bagaimana hasilnya. Sesuai atau tidak, dia hanya ingin mengubah penampilan. Siapa tahu keberuntungannya juga ikut berubah?
Satu jam berlalu dengan cepat, rambut baru Wei An pun sudah merubah penampilannya. Rambut gelombang mediumnya telah dipotong pendek, poni menjuntai menutupi jidatnya yang sedikit lebar, tapi tidak menutupi mata lebar seperti anak kucing. Pipi agak berisi tidak lagi disembunyikan oleh rambut, justru kian menonjolkan kesan santai dan imut dengan wajah bulat kecil.
Meng Qi pun sedikit tidak percaya dengan perubahan itu, hanya mampu bergeming dalam rasa kagum dan tidak percaya.
Benar-benar berubah drastis!
Melihat reaksi berlebihan, Wei An tidak bisa untuk tidak mencibir dalam percaya diri besar. “Apa aku sangat tampan? Kamu bahkan begitu terpesona.”
Tak lebih dari hitungan jari, ekspresi wajah Meng Qi berubah datar. “Aku bahkan ragu jika kamu adalah orang sama satu jam lalu,” katanya sambil memutar tubuh Wei An. Mendorong bahunya untuk segera keluar dari ruangan itu.
Mereka berada tepat di lantai tiga, lantai dua merupakan tempat makan yang cukup populer di kalangan muda sehingga Meng Qi membawa Wei An untuk singgah di sana, menikmati makan malam. Menikmati tuna dengan mayones ternyata pilihan yang buruk, beberapa saat setelah melahap makanan itu, perut Wei An terasa melintir seperti sedang diperas. Tidak tahan dengan siksaan itu, dia berlari menuju ke kamar mandi untuk membuang muatan. Mengeluarkan kotoran hingga perutnya longgar dan nyaman.
Melangkah keluar kamar mandi, dalam balutan cahaya kekuningan itu, beberapa orang membentuk kelompok. Tampak sedang berselisih paham antara satu dengan yang lain. Merasa tidak memiliki kepentingan apa-apa, Wei An dengan dingin berjalan untuk melewati mereka. Ketika hampir melewati kerumunan itu, seseorang melayangkan sebuah pukulan pada pria yang berada di belakang Wei An. Pria itu memiliki refleks yang bagus, menghindar dengan cepat. Sayangnya, Wei An tidak dalam keberuntungan sehingga pukulan itu mengenai bagian belakangnya.
Terdorong kuat ke depan, tubuhnya nyaris menabrak ujung meja yang runcing. Tangan kokoh menopang dada dan membalikkan tubuhnya dengan cepat. Wei An dapat melihat wajah orang itu dan tidak bisa menyembunyikan kekaguman.
Rambut ditata rapi ke belakang, memperlihatkan alis yang hitam dan lebat, sepasang bola mata dengan tatapan tajam. Rahang tegas dan hidung makin ke ujung makin lancip.
Penampilannya dewasa dan mapan, sangat tampan!
“Yan Huai.”
Setelah menyebut nama itu, Wei An tidak tahu apa-apa lagi. Pandangannya secara bertahap menjadi kabur dan gelap. Paginya buka mata, tahu-tahu sudah terbaring di ranjang orang lain. Wei An terkejut, mengangkat selimut untuk memeriksa keadaan tubuhnya. Menghela napas lega, melihat masih dalam kondisi yang sama dengan semalam. Bangun dari tempat tidur, duduk di tepian, dan memikirkan beberapa hal.
Membuka jam tangannya, pada layar hologram terlihat beberapa email masuk dari Meng Qi yang menanyakan keberadaannya. Panggilan tak terjawab pun memiliki jumlah tak terhitung jari dari orang yang sama. Mengambil inisiatif, dia mengirim sebuah pesan pada Meng Qi dan mengatakan keadaannya baik-baik saja. Untuk masalah tempat, Wei An tidak tahu dia ada di mana. Yang diingat hanya wajah tampan Yan Huai.
Pesona Yan Huai tidak bisa ditolak, pantas saja Wei An dalam cerita menyukainya. Mengingat kejadian malam, dia mengerang kecil. Bisa-bisanya menyukai seseorang yang ingin dihindari.
Dalam kekesalan, terdengar ketukan pintu dari luar. Jantungnya berdetak dengan denyutan tak biasa, seperti berusaha keluar dari dada. Melompat dengan kecepatan penuh, berjalan penuh waspada mendekati pintu, dan memutar gagang pintu. Mengintip melalui celah kecil di antara pintu dan dinding, sebuah robot rumah tangga setinggi lutut orang dewasa menyambut dengan tampilan senyum lebar pada layar muka.
“Tamu Kecil, Tuan Yan menunggu di ruang makan,” ucap robot itu dengan lancar.
Membanting pintu hingga terbuka lebar, Wei An melonjak terkejut. Menyejajarkan tinggi dengan sang robot, jari telunjuknya memainkan peran, menunjuk tepat di depan muka robot rumah tangga. “Kamu ... kamu bisa bicara persis seperti manusia.” Ekspresi di wajahnya tidak pernah berbohong, terkejut, kamu, dan setengah bingung.
Robot rumah tangga itu bernama Pow, dengan senang hati membuat Wei An merasa nyaman dan terbiasa akan kehadirannya. Memaksa pemuda itu membersihkan diri, lalu turun ke bawah untuk mengambil beberapa makanan pengisi perut.
Wei An duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan sumber kegelisahannya dan mengambil roti yang sudah tersedia, memakan perlahan. Yan Huai tidak menggubris keberadaan Wei An, sibuk berurusan dengan bisnis, matanya tertuju pada layar holografi. Ekspresi wajahnya fokus dan serius.
Dia memandang Yan Huai di depannya penuh kekaguman. Seketika ada perasaan kesal yang tertanam di hatinya. Dia ingin melabrak penulis novel yang menciptakan dunia sempit dengan keterbatasan penduduk, mencubit urat sarafnya agar sadar tentang pentingnya cinta tanpa memandang norma ‘kenormalan’. Benar-benar tidak tahan dengan penderitaan sang antagonis, sampai membuat Wei An merinding dalam kekesalan.
“Mengapa melihatku?” Yan Huai mengetuk jarinya pada jam tangan, layar holografi menghilang, dan dia menatap Wei An. Ekspresinya tidak mengalami banyak perubahan, tetapi tampak sedikit serius.
Mata keduanya saling menyapa satu sama lain. Wei An menelan kasar makanan di dalam mulutnya, terbatuk canggung. “Kamu terlihat tampan,” katanya spontan. Sudah terbiasa mengeluarkan isi pikiran tanpa sadar ketika banyak hal yang tertimbun di otak.
Yan Huai mengernyitkan dahi, melakukan pergerakan kecil, dan tatapan mata bertambah serius. Suaranya tenang dan nada sangat lembut. “ Apakah kamu tahu, jika di planet ini dilarang keras berhubungan sesama jenis?”
“Aku tahu.”
Wei An sangat tahu akan hal itu, tapi perasaan seperti rasa suka tidak bisa ditolak. Siapa saja bisa merasakannya dengan bebas. Menyukai siapa yang ingin mereka sukai tanpa hambatan dari orang lain. Cinta itu tidak kaku juga tidak fleksibel.
Dengan murung dia memakan sarapannya. Meskipun terlihat tenang, pada kenyataan hati dan otaknya mulai bekerja sama dengan gencar mencari jawaban logis. Wajah murung itu berubah cerah, bibirnya bergerak. “Tapi ada planet lain yang mengizinkan hubungan sesama jenis.”
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH YOU ON BOARD
FantasyWei An menutup mata untuk selamanya, tetapi beberapa detik kemudian dia terbangun di tempat yang asing. Mengalami banyak hal dan mulai mempelajarinya, akhirnya dia mengerti. Wei An terlahir kembali dan hidup sebagai antagonis di dalam sebuah novel y...