With You on Board 03

32 7 1
                                    

Dari cerita-cerita yang dibuat oleh pemilik tubuh, Wei An mendapat kesimpulan kecil. Pemilik tubuh ini merupakan anak haram yang baru beberapa bulan diambil oleh keluarga ayahnya dari asrama sekolah di pedalaman. Selama beberapa bulan tersebut dia bertemu dengan banyak orang asing, tapi ada satu sosok yang begitu melekat dalam benaknya, sosok pemuda tampan yang misterius dengan tatapan tak terdeteksi dan sulit dipahami.

Pada titik itu dia menyadari bahwa telah terjadi kelainan pada sosok Wei An di dunia itu. Kelainan pada orientasi seksualnya yang tentu saja bertentangan dengan norma yang berlaku.

Untuk sesaat dalam keheningan, Wei An merasa tidak asing dengan cerita itu. Otaknya berputar pada kilasan hari yang dihabiskan untuk berbincang-bincang dengan sepupu pencinta novel. Dia mendapati persepsi baru, hidup kembali di dalam buku yang diceritakan sepupunya dengan antusias tinggi.

Bagaimana bisa?

Wei An bahkan tidak tertarik dengan kisah itu. Baginya, sosok Wei An dalam cerita sangatlah bodoh, karena mencintai seseorang yang jelas-jelas tidak bisa dimiliki. Jika benar seperti itu maka dengan penuh tekad yang membara dari lubuk hatinya, Wei An akan mengubah jalan cerita dan menjadikan akhir yang bahagia bagi sang antagonis.

Sebenarnya, Wei An bukanlah seorang pembenci hubungan sesama jenis. Dia hanya pemuda biasa yang begitu menyukai dunia baca-membaca. Karena terlalu suka, tak jarang pula membaca cerita tentang hubungan laki-laki dengan laki-laki. Mau bagaimana lagi, dia sudah mengklaim jika dirinya merupakan sejenis omnivora dalam dunia baca.

Kendati demikian, kecenderungan seksualitasnya masih diragukan. Selama hidup belum pernah merasakan suka pada lawan jenis, juga sesama jenis. Jadi, untuk masalah perasaannya terhadap Yan Huai, Wei An tidak bisa memastikan untuk tidak menyukai orang itu jika bertemu nanti.

Ketukan dari luar pintu kamar membuat Wei An terkesiap, buru-buru mengeluarkan peranti elektronik dari jam tangannya dan mematikan layar hologram. Seruan lembut terdengar di udara dan menyentuh pendengarannya.

“Tuan Muda An, Tuan Besar Wei memanggil untuk makan malam bersama!”

Tidak repot-repot memberikan jawaban, Wei An keluar kamar dan mengikuti wanita yang tidak lain adalah seorang pelayan paruh baya berwajah teduh. Sampai di ruang makan dengan pemandangan orang-orang yang sudah memulai kegiatan bersantap tanpa menunggu kehadirannya, Wei An merasa kecil hati, tapi tak urung melangkah kembali ke kamar. Mendudukkan diri di kursi paling jauh, dia mengisi piringnya sampai penuh dan mengabaikan orang-orang itu. Tidak peduli betapa kecewa dan jengkel bersekutu di dalam dirinya, dia tetap membutuhkan banyak energi untuk menghadapi kenyataan.

Tuan Besar Wei  melirik dengan kernyitan tak suka pada kening, melihat kelakuan putra haramnya yang bertindak seenak jidat, Wei Qifeng tidak tahan untuk terus bungkam. “Kembali ke rumah sama artinya dengan mengikuti ketetapan ayah,” dia berkata dengan nada menyindir.

Suara Wei Qifeng bernada rendah dan tidak menjelaskan targetnya, tetapi Wei An memiliki tingkat kepekaan yang tinggi sehingga dengan mudah mengerti jika kalimat itu dikhususkan untuknya. Dengan bahu dingin dia membalas seraya balik bertanya, “Ketetapan seperti apa yang harus diikuti?”

Satu kerutan lagi muncul di kening Wei Qifeng, amarahnya akan meledak jika saja sang istri tidak segera bersuara untuk mewakilinya.

“Bekerja di perusahaan ayahmu sebagai pegawai di bawah kepemimpinan A Zhen,” Nyonya Wei, bernama Yi Lan, mengatakannya dengan sikap merendahkan terhadap Wei An, tetapi menyanjung putra sulungnya secara tak langsung.

Dalam ingatannya yang tak begitu buruk, Wei An ingat jika pemilik tubuh yang sebenarnya sangatlah ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi semua itu mustahil tanpa dukungan keluarga. Lagi pula, di kantor itu  frekuensi pertemuan dengan seseorang yang bernama Yan Huai lebih besar karena satu alasan nyata, Yan Huai adalah teman sekaligus rekan kerja Wei Zhen.

“Aku masih tidak terima,” Wei An berkata dengan ketenangan yang mengalir di nada suaranya. Menyantap makanan tanpa peduli jika orang-orang  yang mendengarnya memberikan reaksi terkejut.

Wei An yang mereka kenal tidak memiliki keberanian besar untuk menjawab dalam ketenangan, karena merasa sangat rendah diri sebagai seseorang yang tak diinginkan. Bahkan cara terbaik yang diambil untuk mengutarakan penolakannya adalah melarikan diri di tengah malam ketika penghuni rumah terlelap dalam mimpi indah mereka. Setelah kembali dari acara ‘melarikan diri’, tiba-tiba mampu berkata dengan santai seolah dia tidak mengalami penekanan.

“Aku ingin melanjutkan pendidikanku,” Wei An mengatakan isi pikirannya, berharap mendapatkan persetujuan.

Sayangnya, jawaban yang diterima hanyalah kekehan ringan sarat ejekan. Mengedarkan pandangan untuk menyaksikan satu per satu wajah yang tampak berpuas diri, Wei An mengetatkan rahang dengan kesal. Pantas saja, dalam cerita yang dikatakan sepupunya, Wei An berniat menghancurkan keluarganya sendiri. Beginilah kebenaran tentang mereka, tak terkecuali sang protagonis yang disanjung, Wei Jia.

Benar-benar menjijikkan.

Mendorong piringnya dengan keras, Wei An melayangkan tatapan dengki yang terselubung pada mereka. Sudut bibirnya bergetar ketika dia memulai kalimatnya. “Kembali ke rumah ini bukanlah keinginanku. Seperti yang kalian dengar, jika Meng Qi menabrakku semalam, ketika dokter sudah memperbolehkanku pulang, dia memaksakan diri untuk mengantar. Dalam kondisi itu, bagaimana mungkin aku mengatakan padanya jika aku melarikan diri dari rumah karena perlakuan kalian yang buruk. Bukankah itu sudah mencoreng citra baik keluarga terhormat ini?” Tentu saja apa yang dikatakannya separuh dari kebenaran, tapi hanya itu saja yang mampu terpikirkan sebagai balasan tepat. Tidak merusak nama baiknya dan tidak memperkeruh keadaan.

Wei An beranjak, menggeser kursinya ke belakang, dan berkata untuk terakhir kali, “Aku akan segera pergi.”

Melenggangkan langkahnya menuju kamar, Wei An menutup pintu dengan keras agar didengar oleh seluruh penghuni rumah. Meskipun isi kepala yang semrawut, tapi dia berusaha tetap dingin dan mulai mengemas pakaian ke dalam ransel. Memasukkan beberapa benda yang dianggap sangat penting untuk menunjang kehidupannya sebelum mendapatkan kepastian mengenai kondisi di luar. Bagaimanapun, dia bukanlah seseorang yang berasal dari dunia ini, sehingga diperlukan banyak persiapan.

Mengandalkan jam tangan elektronik, dia mempelajari sistem di dunia tersebut, mencari tahu apa saja yang tidak jelas baginya. Kesimpulan yang didapat adalah dunia ini tidak jauh berbeda dengan tempatnya dulu, justru jauh lebih mudah dengan perkembangan teknologi lebih modern dan maju.

Pundak memikul ransel sebesar balita meringkuk berumur empat tahunan, langkah kaki ringan tanpa beban. Keluar dari gerbang, celingak-celinguk kebingungan. Meskipun sufah mempelajari tentang dunia ini, tapi dia lupa memeriksa denah lokasi tempat tinggal keluarga Wei. Menepuk jidat, dia kembali menggunakan alat elektronik yang menempel di pergelangan tangan. Ragu sejenak, sebelum akhirnya mengambil keputusan mendadak.

Minta tolong pada Meng Qi!

Bukannya Wei An tidak bisa hidup sendiri, hanya saja terlalu merepotkan mencari tempat penginapan malam-malam begini. Lagi pula nominal dalam tabungan digital berjumlah sedikit, tidak akan mampu menunjang biaya hidup jika harus membayar uang sewa tempat tinggal. Lebih baik dia menumpang sementara di tempat Meng Qi. Mereka sudah berteman sejak di rumah sakit dan orang itu bersedia membantu.

Mengirimkan pesan singkat yang berisi permohonan meminta jemputan sesegera mungkin. Setelah menerima balasan dalam kepastian, Wei An menepi, berjongkok di depan tembok sambil menunggu. Merapatkan tubuh dengan kedua kaki, kepalanya tertunduk dalam, tangannya bergerak dengan jari mengepal keseluruhan terkecuali jari telunjuk yang lihai membuat pola abstrak di atas jalan.




To Be Continued

WITH YOU ON BOARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang