Chapter 8 - Bujuk Rayu

14 1 0
                                    

“Tidak, itu salahmu.... Rival, itu salahmu!”

Hah! Aku tersentak bangun dengan bingung. Mengusap wajah kasar, baru kusadari kalau aku ketiduran tepat setelah perdebatan itu.

“Ternyata hanya mimpi....” gumamku merenung. Sepertinya tatapan Sani terakhir kali sangat ampuh, hingga memicu mimpi buruk.

Turun dari ranjang, perlahan aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Tampak beberapa pelayan berbaris rapi di depan pintu. Aku menatap mereka sembari berpikir, beruntung ketukan mereka membangunkanku dari mimpi itu.

“Salam, nona.” sapa para pelayan wanita bersamaan.

Aku mengangguk mengakui. “En.”

“Kami ingin menyiapkan untuk mandi, nona.” jelas salah satunya.

Memandang pada langit yang nyaris gelap dari jendela, aku lalu membiarkan mereka masuk. Tanpa sengaja, sisa hari ini aku mengurung diri dalam kamar. Menggeleng tak berdaya, aku duduk di sofa sambil menunggu para pelayan menyelesaikan pekerjaannya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku tersadar dari kantukku saat salah satu dari mereka menunduk di hadapanku. “Nona, sudah selesai disiapkan.”

“Ya.” Aku lantas mengibaskan tangan.

“Kami permisi, nona.”

Sampai pintu benar-benar tertutup, aku meregangkan tubuh sembari melangkahkan kaki ke arah kamar mandi. Mengunci pintunya, aku menghampiri bathtub dan mencelupkan jari ke air. Merasakan suhunya yang pas, aku tersenyum puas.

Aku kemudian mulai melepaskan pakaian satu-persatu, yang ternyata telah basah kuyup oleh keringat. Mengerutkan dahi halus, aku merendam tubuhku sedikit demi sedikit ke dalam air. Seketika merilekskan seluruh tubuh saraf yang tegang sedari lama. Menghirup aroma terapi mawar yang semerbak, aku tidak bisa tidak mendesah---sungguh kenikmatan tiada taranya.

Menatap pantulan wajah pucat di air, aku menelusuri pahatannya yang tampak sempurna. Hidung lancip, bibir merah muda, disertai mata tajam yang membentuk busur indah. Tiap incinya begitu menawan hingga tak terkatakan.

Tanpa sadar pikiranku kembali mengembara pada mimpiku baru saja. Mimpi itu ... aku bertanya-tanya. Menenggelamkan tubuh mencapai dagu, aku memejamkan mata erat, saat tiba-tiba pening menghantam kuat kepalaku. Mendesis lirih, aku memijat pelipis guna meredakan sakit yang mendera. Tak lama, helaan napas ... samar-samar bergema ke seluruh ruang.

***

Mendorong pintu terbuka, aku keluar kamar mandi sembari menyampirkan bathrobe ke tubuh polosku. Melangkah ke depan cermin, tiba-tiba saja seseorang memelukku dari belakang. Sesaat tubuhku menegang, sebelum kemudian menyadari sosoknya dari cermin.

“Sani....” Aku berucap skeptis.

“Nona, kau wangi sekali.” Ia mengendus leherku seraya menyandarkan dagunya di bahuku.

“Bagus sekali. Kau tidak mendengarkanku.” cibirku, menatap dari sudut mataku.

“Tapi nona yang memaksaku melakukannya.” ujar Sani tak peduli, dan mengembalikan ejekanku.

Aku terkekeh lucu. “Hm? Bukankah mulutmu semakin pintar?”

Sani juga balas tertawa riang. “Nona, jilat aku.” pintanya bersemangat.

Melirik pada lehernya yang terekspos, lalu ke arah kaosnya yang berkerah rendah. Aku yakin ia sengaja mengundangku. Perlahan senyuman lembut terbit di wajahku. “Apa kau menggodaku, Sani?”

“Aku berharap nona secara sukarela meminum darahku.” jawabnya alami. Sekilas netra kelabunya membawa sentuhan kesenangan.

Aku menyipitkan mata, lantas tanganku mengangkat dagunya agak miring ke atas. “Bau darahmu berbeda---lebih memabukkan. Apa itu semacam afrodisiak?” Aku menghirup dalam aromanya.

Seketika wajahnya berubah pucat. Mengamati ekspresinya yang tertangkap basah, aku tergelak tawa. Merasa sangat terhibur.

“Oh, Sani. Aku benar-benar tak menyangka ini.” Ia tampaknya mengerti benar, bahwa Harad serakah akan darah. “Jadi, selain menggodaku. Kau sekaligus ingin memikatku?”

“Nona jelas mengetahui maksudku.” Sani tak lagi menyangkal, berkata murah hati.

“Sayang sekali aku sedang tidak ingin menghargai kerja keras siapa pun.” Aku menghela napas menyesal dan mendorongnya mundur dari tubuhku. “Jadi, Sani, kau bisa pergi.”

Namun usahaku sia-sia, karena Sani justru menempel semakin dekat padaku. “Nona berhak untuk menolak. Tapi aku juga memiliki hak untuk menuntut.” Ia lalu mengerang, saat darah tiba-tiba mengalir turun ke lengannya. Tangan kirinya entah sejak kapan memegang silet dan menyayat pergelangan tangannya.

Dalam sekejap menyebarkan bau memabukkan yang semakin menyengat. Tak lelah untuk terus mencoba mematahkan niatku. “Bukan begitu, nona?”

Aku mengikuti aliran darahnya dengan mataku. Lalu menahan napas seraya melemparkan pujian padanya. “Kau sungguh pekerja keras, Sani.”

“Terima kasih, nona.” Sani tersenyum lemah, mata sipitnya pula melengkung ke atas---membawa godaannya hingga tak terbatas. Ia kemudian secara sengaja menyodorkan tangannya yang berdarah ke hidungku. “Apa nona akan memberiku hadiah sekarang?”

“Aku lebih ingin menghukummu, sayang....” Aku memiringkan kepalaku, lantas menggigit gemas daun telinganya.

“Kalau begitu, nona, hukum aku.” pintanya sepenuh hati.

Tersenyum memikat, aku dengan lancar berbalik seraya meraih tangan kirinya dan menodongkan siletnya sejajar pada leher. Aku berbisik di telinganya. “Oh, sayang, aku sangat bersemangat untuk menghukummu....”

“Nona, apa kau begitu ingin aku mati?” Sani menatap lekat silet di lehernya, bergumam lirih.

“Apa kau bersedia mati untukku, Sani?” Aku mengusap lembut pipinya, bertanya-tanya.

“Jika itu nona yang inginkan, aku akan...,” Seketika ia menggerakkan tangannya ke pembuluh nadi di lehernya, sangat bertekad untuk bunuh diri.

Namun, aku satu langkah lebih cepat menahan aksinya. Lantas melemparkan siletnya jauh dari jangkauan siapapun. “Yah, kalau begitu ... mati akan terlalu ringan untukmu.”

Setelahnya aku melangkah mundur dan bertepuk tangan dua kali. Dalam sekejap mata, beberapa pelayan berseragam merah-hitam memasuki kamar.

“Perintahmu, nona.” Nathael memimpin untuk membungkuk rendah.

“Tangkap dan jangan biarkan dia keluar dari kamar.” titahku menunjuk Sani yang terpaku di tempat dengan dagu. “Dan juga ... ikat dia. Ia tidak boleh beranjak sedikitpun dari ranjang tanpa perintahku.”

“Baik. Apa ada instruksi lain, nona?” tanya Nathael sopan.

“Kau bisa membawanya pergi.” Aku mengibaskan tangan sebagai isyarat.

“Laksanakan, nona.”

Kemudian secara efisien, para pelayan itu segera menahan Sani dan memaksanya pergi dari kamar. Sebelum pintu benar-benar ditutup, aku melihat Sani yang membelalakkan mata tak percaya ke arahku. Mengetahui itu, aku hanya mendengus sembari berbalik tak acuh.

***

Vote, Comment and Share! | IG: @izzamumtaz

Getih HaradTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang