Chapter 7 - Api Pertama

8 1 0
                                    

Huft ... ini sudah helaan napas yang kesepuluh sejak hitungan pertama satu jam yang lalu. Aku memutar gelas dalam ritme konstan, seraya menonton Sani sarapan dari sudut mataku. Menandaskan darah merah keemasan yang tersisa, aku menjilat bibir lantas meletakkan gelasnya. Setelah itu bangkit meninggalkan ruang makan.

Menyusuri lorong-lorong temaram, tak lama aku sampai di tangga. Perlahan menaiki tangga, aku berhenti ketika mendengar langkah samar yang menyusul di belakang. Berbalik, aku menemukan Sani yang terengah napasnya di bawah.

“Nona.” Ia memanggil seraya meniti tangga ke arahku.

Aku hanya melengos melihatnya dan kembali berjalan menuju kamarku. Aku mempercepat langkah saat menyadari Sani mengejar tak jauh dariku. Hingga aku meraih kenop pintu, sebuah tangan lebih dulu menahannya.

Menghela napas untuk kesebelas kalinya, aku segera berkata. “Sani, dengar--"

Namun ucapanku belum selesai, ketika tiba-tiba Sani membuatku terpana. Ia menarik tanganku dan mengusapkan ke wajahnya. Gerakannya begitu hati-hati, seraya netra kelabunya mengukur lekat reaksiku. Beberapa waktu, merasa tak mendapat respons yang berarti, ia mulai menjilat lembut jari-jemariku seolah mereka adalah barang rapuh yang tak ternilai harganya.

Sontak aku mendesah lirih saat luka bekas tusukan kaca tersentuh oleh lidahnya. Sekejap kemudian gerakan Sani membeku, sorotnya terlihat gelisah sekaligus merasa bersalah. Seakan ... ia adalah anjing yang tertekan akibat takut ditelantarkan oleh pemiliknya.

Tunggu, ah ... anjing? Aku terpaku memandangnya. “Sani, kau...,”

“Nona, kumohon ... jangan menghindariku.” pinta Sani, suaranya sangat menyedihkan.

Aku membisu menatapnya. Seluruh kata tampaknya lenyap begitu saja dari otakku. Entah kenapa ... tapi sepertinya aku masih kewalahan akan tingkah tak terduga dari Sani. Sehingga membuat reaksiku berubah lamban.

“Nona....” Sani berjalan maju mendekatiku.

Dan seketika ia mendorong pintu terbuka sembari menarikku masuk, lantas menutupnya lagi sedetik kemudian. Ia menarikku jatuh ke atas ranjang dengan lengannya mengunci pinggangku. Sedangkan tangan kirinya meremas erat pergelangan tanganku, sama sekali tidak memberi kesempatan untuk kabur.

Namun aku juga tidak berniat untuk melakukan apapun. Hanya aku tetap menolak berbicara. Bermaksud menunggu Sani yang selanjutnya. Dan kali ini ia tak mengecewakanku. Perlahan ia mengikir jarak di antara kami, sampai kepalanya menyelusup dalam lekukan leherku. Ia menyusuri permukaan lembut kulitku dengan lidahnya, bagaikan permen terlezat di dunia. Sisi wajahnya juga menyapu pipiku---mengelusnya ringan.

“Nona....” Ia berbisik rendah. “Katakan jika kau tidak akan meninggalkanku.” Tangan di pinggangku mengencang. Tanpa sadar bibir Sani pula bergetar saat mengatakannya. “Nona, kumohon....”

Melihatnya seperti ini, aku tidak bisa tidak berpikir bahwa ia sebenarnya begitu rentan. Nadanya sarat putus asa. Ia kemudian menenggelamkan kepalanya seraya memeluk erat diriku.

“Sani, dengar.” Aku berujar di telinganya. Tatapanku menerawang ke langit-langit kamar yang memiliki pola mawar. “Aku tidak pernah menyukai keterikatan.”

Sontak Sani mengangkat kepalanya dan mencari-cari dalam netraku dengan panik. Lantas ia menegang, ketika menemukan sorot mataku yang tak acuh menatapnya. “Nona, tidak....” Ia sedikit terhuyung, secara kejam ditampar kenyataan. Ekspresinya tampak sangat terpukul.

“Sani, lebih baik sekarang kau pergi.” Aku mengusirnya tanpa ragu.

“Nona, kau bisa melakukan apapun padaku. Kau bisa menyiksaku. Kau bisa mengurungku. Tapi nona ... kumohon, jangan menolakku.” Ia sungguh-sungguh memelas. Ia memegang kedua bahuku bak setitik harapan yang tersisa.

“Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Sani, sudah selesai.” ucapku dingin. Aku menolak melihatnya dan memalingkan muka.

Sekali lagi dihancurkan, wajahnya berubah pucat pasi. Seolah-olah ia kehilangan arah dan tersesat tanpa tujuan. Tepat saat ini, aku memiringkan tubuh dan menyikut dagunya. Segera erangan sakit terdengar memenuhi ruangan. Aku lalu mendorong dadanya dan cepat-cepat berguling menjauh dari ranjang.

“Sekarang, Sani, keluar!” titahku absolut. Aku mengangkat dagu seraya menunjuk pintu kamarku. “Enyah dari pandanganku.” Sorot mataku berkobar marah, penuh momentum yang tak bisa dibantah.

Mengatupkan bibir rapat, Sani menatapku dalam. Seakan ia dapat kapan saja menelanku ke dalam pusaran yang tak berujung. “Nona, kau yang memaksaku.”

Sesudahnya ia bangkit dan berjalan pergi dari kamar. Namun tatapan tak wajar yang diarahkan padaku, meninggalkan bekas dalam pikiranku. Selalu terngiang tanpa bisa dienyahkan.

***

Vote, Comment and Share! | IG: @izzamumtaz

Getih HaradTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang