Chapter 13 - Masalahnya Adalah ...

14 0 0
                                    

Aku sampai di rumah bergaya Mediterania dengan nuansa lebih santai nan lepas, berbanding terbalik dengan desain Victoria milikku yang lebih terkesan elegan dan mewah. Keluar dari mobil, aku melemparkan kuncinya pada valet di depan pintu dan melangkah ke dalam rumah. Kemudian sesosok pelayan menyambutku. “Mari, Nona Kirana.”

Ia lantas mengantarku menuju sebuah ruangan mirip lounge bar---tempat di mana pesta diadakan. Memasuki ruangan, alunan musik menyebar di udara---melengkapi suasana yang awalnya sudah semarak. Berdiri di pusat keramaian, sesosok wanita muda berpaling, ketika ia tiba-tiba menyerbu ke arahku.

“Kirann! Akh, akhirnya kau datang juga. Usahaku memang tidak sia-sia.” panggil Vea seraya berteriak narsis.

Namun aku lebih dulu bergerak ke samping---dengan mudah lolos dari sergapannya. “Yah, halo, Vea.”

“Balasan macam apa itu, huh? Kau benar-benar terlalu lama di rumah, sampai bahkan semangatmu pun luntur.” sindir Vea sembari menyeretku ke sebuah meja bundar yang paling indah, di sudut terbaik ruangan. Yakni bagian di mana kau bisa melihat seluruhnya dengan leluasa, tapi tidak mudah untuk ditatap orang lain akibat sudut pandang.

“Kau berhutang cerita padaku.” Aku mengingatkannya baik hati, dengan nada penuh tuntutan.

“Tidak, tidak, tidak. Kau yang seharusnya berhutang terima kasih padaku.” bantahnya berulang kali, sangat-sangat tidak setuju. Vea menarik sebuah kursi dan mendorongku ke atasnya. Lalu ia duduk di sebelahku. “Nah, baik. Kau perlu memberiku sebotol darah terbaik milik Allein setelah ini. Sebagai hadiah terima kasihmu padaku.”

“Bilang saja kau ingin yang gratis. Dasar miskin.” cibirku memutar bola mata.

“Maaf, tapi selama ini, Harad sama dengan kaya, serta cantik dan tampan. Karena itu, ucapanmu tak berdasar. Juga terlalu sepele untuk mengejekku.” balas Vea, tidak terpengaruh sedikitpun.

Aku tidak lagi menjawab sindirannya dan hanya meliriknya malas. “Jadi?”

“Apa?” Vea balik bertanya, mengerjapkan mata polos.

“Kau terlalu tua untuk menunjukkan wajah semacam ... ‘imut’.” Aku memperagakan ekspresinya dengan jijik, lalu melemparkan tatapan remeh. “Aku tidak pernah menyangka kalian akan setuju. Mengingat kalian selalu seperti kucing dan anjing tiap kali bertemu. Bahkan aku bisa membuat drama serial dari pertengkaran kalian yang tak berkesudahan---semenjak kau masih suka mengedot.”

“Apa! Aku tidak pernah pakai botol dot. Dan Kiran, umurku baru 30 tahun, empat bulan lalu. Itu waktu yang tepat bagi Harad untuk saling berhubungan.” Vea nyaris menggebrak meja saking tidak terimanya. Menenangkan diri, ia mulai mengatur napas dengan menghitungnya dari satu sampai tiga bolak-balik. “Pada intinya, aku memiliki masalah yang berakhir terpaksa setuju.”

Menaikkan alis, aku tersenyum simpul melihatnya menjadi tak sabar karena aibnya yang dibongkar. “Apa masalahnya?”

“Tidak seperti keluarga lain yang sudah pasti atau punya terlalu banyak. Ahli waris keluarga Caroline benar-benar berhenti padaku---tidak ada yang lain. Jadi ibuku terlalu cemas, jika sesuatu yang tak terduga muncul, hanya bisa pasrahkan pada nasib. Yang berarti, tidak ada solusi. Karena itu, ibu terus mendesakku untuk membuat keturunan sebelum semua yang ia cemaskan terjadi.” jelas Vea memijat dahinya, lelah pada nasib yang tak memberinya pilihan.

“Ah, benar juga. Dari generasi ke generasi, keluarga Caroline selalu hanya memiliki satu keturunan. Dan rata-rata perempuan. Apalagi ibumu juga sudah berpisah dengan ayahmu.” Aku mengangguk-angguk paham lantas menepuk bahunya. “Kalau begitu, aku ikut berbahagia untukmu dan Deron.”

Memicingkan mata curiga, Vea lalu mendengus kesal. “Dibandingkan bahagia, wajahmu lebih menampakkan belasungkawa padaku. Memang benar, kalau teman selalu yang paling kencang tertawa saat ditimpa kemalangan.” Meratap penuh kebencian, Vea pada akhirnya kembali menghela napas. Sebelum kemudian mengibaskan tangan dan mengambil dua gelas darah segar dari pelayan yang lewat. “Baiklah, lupakan. Ayo, minum. Tidak akan lengkap pesta tanpa minum.”

Terkekeh geli mendengar curhatan Vea, aku pun menerima gelas yang disodorkannya. Mengendusnya sedikit, aku lantas mengerucutkan dahi saat melihat butir halus dalam darah merah-keemasan. “Ini ... darah manusia setengah Harad? Dan masih Harad keturunan murni?”

“Yap, ini juga hal yang ingin kutunjukkan padamu. Aku mendapat jackpot dua hari lalu.” Seketika Vea memasang cengiran lebar, seolah bukan ia yang sebelumnya mengeluh putus asa. Matanya lalu mencari di kerumunan, hingga tak lama berhenti pada seorang lelaki sekitar umur 21-22 tahun, memakai kemeja hitam yang kontras dengan kulit pucatnya, membuat ia mencolok. Dan kemudian Vea memanggilnya agar mendekat. “Nah, perkenalkan ia Orean.”

“Salam untuk Nona Kirana.” sapa Orean tepat nan sigap.

Menatapnya lama, ekspresiku segera menjadi aneh. “Dari mana kau mendapatkannya? Ia tidak seperti dari pedagang manusia maupun rumah bordil?”

“Nah, keluarga Synn melelang beberapa keturunan acak mereka kemarin lusa. Kau tahu sendiri bukan, mereka keluarga Harad paling berantakan yang pernah ada. Dan semuanya masih berasal dari paman tunanganmu.” Vea mulai mencibir, seakan bibirnya tidak bisa berhenti menyindir atau ia akan dikutuk.

“Pamannya Kavyar maksudmu?” Aku menatapnya bertanya-tanya.

“Yah, siapa lagi yang hobinya memburu banyak wanita cantik. Sampai namanya terkenal pada tiap bar di ibu kota.” papar Vea mengerutkan hidung jijik, tapi setelahnya ia menghela napas lega. “Untungnya, ayah mertuamu bersih. Jadi calon pewaris Synn tetap jatuh pada tunanganmu.”

“Tentu saja. Jika aku bahkan sudah memegang posisi penguasa keluarga. Sebagai tunangan pilihanku, Kavyar juga harus menjadi ahli waris satu-satunya. Itu baru setara dan adil.” ujarku dengan arogansi yang menawan. Menyandar pada punggung kursi, aku menyesap darah dan mendesah nikmat. Lantas melayangkan apresiasi pada Orean. “Lezat.”

“Ah, kau memang luar biasa, Orean.” Vea juga tertawa menyahut, sorotnya penuh pujaan yang memanjakan.

“Terima kasih atas pujianmu, nona.” balasnya memberi busur rendah hati.

“Hei, hei, apa yang sedang kalian bicarakan?” Tiba-tiba saja, sosok yang belum lama disebut pun muncul di belakang Vea. “Ngomong-ngomong, halo Vea sayang.... Juga, halo, Kirana! Hei, kau makin cantik setelah lama tak bertemu.” Deron lalu merangkul bahu Vea dan mencium pipinya, kemudian mengedipkan mata padaku.

“Dasar pengganggu.” Mendengus jengkel, Vea berusaha melepaskan kedua tangan Deron dan mendorongnya menjauh.

Namun bukannya menjauh, Deron malah makin mengencangkan rangkulannya---yang lebih terasa seperti cekikan balas dendam---dan menggodanya.

“Sayang, sebentar lagi kita akan menjadi mitra hidup. Apa tiap kali kita bertemu, ucapanmu harus penuh racun berbisa?”

“Apa? Bukankah kau terlalu tak sadar diri? Justru kau yang mengundang dirimu sendiri untuk dihujat, Deron.” cemooh Vea, melirik tajam penuh ancaman. Akibat dari rangkulannya yang menjepit leher.

Meremas seringai ceria yang tampak sangat palsu, Deron menggigit telinga wanita muda itu seraya berbisik. “Vea, apa kau cemburu karena Kirana?”

Sontak Vea berujar meremehkan. “Huh? Harad tidak berhak untuk cemburu. Kau tahu itu dengan baik Deron. Hampir tak pernah ada cinta dalam hubungan.”

Mendengar namaku tiba-tiba diseret ke dalam percakapan, aku mengetuk gelasku ke atas meja hingga berdenting. Dalam sekejap menarik perhatian mereka. “Yah, baiklah. Episode kali ini haruslah cukup.” Menoleh pada Deron, aku beralih membalas pertanyaan awalnya. “Dan ngomong-ngomong, kami baru saja membahas soal peliharaan baru tunanganmu dari keluarga Synn.”

“Keluarga Synn?” Deron menggeser pandangannya pada seorang manusia laki-laki di belakang mereka yang baru disadarinya. “Oh, benar. Itu harus keluarga temanku, Kavyar---dan juga tunangan pilihanmu.” sebut Deron menatapku. Kali ini seringainya tampak lebih wajar. “Hei, lagi pula, itu memang cara termudah untuk memecahkan sakit kepala mereka. Hah, sungguh kemalangan bagi kawanku memiliki paman sepertinya.”

Melihatnya menggelengkan kepala penuh sesal, aku bergumam setuju. “Yah, begitu.”

Beberapa saat setelahnya tak ada lagi yang bicara. Hingga suara-suara ribut mengalihkan seluruh atensi, ke arah pintu masuk ruang pesta.

***

Vote, Comment and Share! | IG: @izzamumtaz

Getih HaradTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang