Chapter 3 - Salam Kenal

40 1 0
                                    

“Nona, pagi.” sapa hormat sesosok Harad berseragam pelayan di bawah.

Aku menuruni tangga dengan lambat. Lalu mengikuti, Sani berjalan dua langkah di belakang. Mencapai tangga terakhir, aku balas mengangguk. “Sudah disiapkan?”

“Ya, mari nona.” Membungkuk rendah, Harad itu memimpin lebih dulu. Berjalan di antara lika-liku lorong, tak lama kami sampai di depan pintu ganda. Berdiri di sisi pintu, Harad itu mendorongnya seraya merentangkan sebelah tangan sebagai isyarat. “Silakan, nona.”

Melangkah melewatinya, aku menuju sebuah meja panjang di tengah luasnya ruang. Kursi-kursi berjajar membentuk deretan rapi. Dengan dominasi ruang berwarna merah-keemasan, menguarkan aura anggun nan misterius tersendiri.

Duduk di kursi utama, aku lalu mengambil segelas darah merah-keperakan dan mengamatinya. Menyandarkan dagu pada tangan di lengan kursi, aku menyapukan pandangan ke arah dua manusia di sisi kiri.

“Giliran siapa hari ini?” tanyaku, tersenyum lembut.

“Milikku, nona.” sahut seorang lelaki muda, ekspresinya tampak gugup. Ia memiliki paras imut dengan netra biru jernih.

Menyesapnya sedikit, aku mengangguk mengakui. “Kerja bagus, Aeir.”

Seketika matanya berbinar cerah, seakan seluruh bintang di angkasa terjebak di dalamnya. “Terima kasih, nona.”

“En, sekarang makanlah dengan baik untuk mengisi nutrisi. Terutama kau, Sani. Semalam kau mengeluh pusing.” suruhku, melirik pada Sani di sisi kanan.

“Ah, ya, nona.” Tersentak dari lamunannya, ia menatap rumit ke arah hidangan di depannya. Sebelum kemudian meraih garpu serta pisau, dan mulai makan.

***

“Kenalkan, ia Sani. Sama seperti kalian.”

Kini, kami berada di ruang santai. Karpet merah beludru menyebar ke seluruh lantai. Juga penghangat ruangan yang menjorok di bagian tengah dinding. Disertai penerangan lembut dari chandelier, menambah kenyamanan suasana. Dan di depanku, tiga manusia saling berhadapan. Dua di sisi kiri, serta Sani di sisi kananku.

“Dan kemudian, ia Aier. Sedangkan di sampingnya adalah Xeno.” Aku menyedekapkan tangan di depan dada, sembari beralih ke sisi kiri.

Di mana terdapat Aeir dengan paras imutnya dan netra biru jernih. Secara alami memancarkan kepolosan yang khas. Lalu Xeno yang memiliki rambut oranye eksentrik disertai bibir merah penuh. Mulutnya selalu membentuk seringai nakal, seakan sebuah kebiasaan.

“Salam kenal, Sani.” sapa keduanya serempak secara otomatis.

“Salam kenal, Aeir, Xeno.” balas Sani mengangguk, disertai senyum kecil.

Menonton interaksi ketiga peliharaanku, spontan aku terkekeh tanpa suara. “Ngomong-ngomong, umur kalian harus sepantaran?” Aku menatap antara Aeir dan Sani bergantian, bertanya-tanya.

“Ah, umurmu berapa Sani?” Aeir menoleh, matanya melebar penasaran.

“Jika aku tidak salah ingat, tahun ini harus delapan belas.” sebut Sani, dahinya mengerut dalam---tampak berpikir keras.

Mendengar itu, sekejap Aeir melayangkan tatapan menuduh kepadaku. “Nona, tahun ini aku lima belas. Itu jauh. Bagaimana bisa nona tidak ingat? Bukankah kita baru merayakannya sebulan yang lalu?” Ia lalu mencebikkan bibir merajuk.

Sontak saja aku mengangkat tangan, disertai tawa tak berdaya akan keluhannya. “Baik, aku salah.” ujarku mengakui.

“En, lebih tepat jika kita berdua yang dibilang begitu. Aku dua puluh satu, dan nona dua puluh tahun. Itu tidak jauh.” celetuk Xeno santai, mengedipkan mata padaku.

Aku menggeleng tidak setuju. “Rentang umur Harad lebih lama dari kalian, manusia. Sekitar 200-300 tahun. Jika dihitung, perbedaannya kira-kira satu banding tiga. Jadi secara logis, usiaku harusnya tidak hanya beda setahun denganmu.” bantahku mengedikkan bahu.

“Ah, begitu.” Aeir mengangguk-angguk paham, satu tangannya menopang dagu.

“Benar, sangat mengecewakan.” desah Xeno menyesal.

Terdiam beberapa waktu, tiba-tiba Aeir menepuk dahi. “Oh ya, pantas saja aku merasa ada yang ganjil.” Menatap ragu padaku, ia bertanya. “Nona, di mana Ian?”

“Ia bukan lagi milikku.” ucapku tersenyum, netra merahku membawa kilasan lembut.

Seketika muka Aeir berubah pucat. Sedangkan Xeno, sesaat seringainya membeku kaku. Suasananya menjadi hening.

Mengetukkan jari konstan pada lengan sofa, aku melirik mereka. “Sungguh menyia-nyiakan makanan enak.” Aku lantas mengusap dahi sembari menghela napas. “Sayang sekali, rasa darah Ian padahal adalah yang paling lezat. Untungnya, sekarang aku memiliki Sani.” lanjutku bergumam.

Aeir mengerutkan bibir, melemparkan pandangan rumit ke arah Sani. Xeno juga mengamati ulang Sani dari atas ke bawah---seakan ia adalah spesies tak dikenal. Melihat respons mereka, ekspresiku menjadi halus.

“Yah, kalau begitu sekarang, kalian antarkan Sani ke kamarnya. Aku akan kembali ke atas.” Kemudian aku bangkit dari sofa dan meninggalkan pesan sebelum benar-benar pergi. “Jika ada sesuatu, katakan saja pada Nathael.”

“Baik, nona.” Ketiganya lalu membungkuk memberi hormat.

***

Vote, Comment and Share! | IG: @izzamumtaz

Getih HaradTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang