Chapter 10 - Mereka Kembali

14 1 0
                                    

Esoknya, sebuah mobil lamborghini urus merah meluncur mulus ke salah satu gedung pencakar langit yang berada di pusat ibu kota. Sesampainya di depan gedung, pintu mobil terbuka perlahan. Menyisir terakhir kali pada setelan monokrom yang kukenakan---dengan blazer dan rok hitam, disertai tank top putih---aku mengangguk puas sebelum kemudian turun dari mobil.

Mendongak ke atas, tulisan ‘Allein Wine’ terpampang besar sebagai label perusahaan. Dengan warna putih keemasan yang klasik---memberi kesan penuh prestise nan megah. Mengulas senyum lembut, aku melangkah anggun memasuki gedung.

Melewati lobi perusahaan, sesosok pria Harad memakai jas yang terkancing rapi mendekat saat aku masuk, dan menyapa sopan. “Nona Presdir.”

“Wakil direktur Yasa.” Aku balas menyahut.

Tergelak tawa, pria itu menggeleng tak setuju. “Cukup Yasa, nona. Tidak perlu menambahkan pangkat saya.”

“Tentu, hanya mengikuti formalitasmu, Yasa.” timpalku mudah.

“Oh, baik. Nona bosnya.” gerutu Yasa, mulutnya berkedut kaku. “Yah, kalau begitu. Nona, mari lewat sini.” Menghela napas pasrah, ia kemudian mengiringiku menuju lift eksklusif.

Setelah pintu lift tertutup, Yasa menekan tombol satu dengan ibu jari beberapa detik, ketika tiba-tiba terdengar suara ‘ding’ nyaring dan logam bergeser sedikit ke samping. Menampakkan dua tombol lain di bawah angka 1 dan 2. Lalu Yasa memencet tombol 0 dan lift pun bergerak turun.

Hingga tak lama, suara ‘ding’ lain bergema tepat ketika lift berhenti. Aku keluar diikuti Yasa, saat pemandangan putih mirip laboratorium menyambut kami. Yasa pertama kali berjalan menyusuri lorong yang terdiri dari sekat-sekat kaca buram. Pencahayaannya sangat terang, namun begitu sunyi. Menandakan bahwa tiap ruangan dibalik kaca adalah kedap suara.

Mengamati angka-angka yang terpampang di tiap ruangan, kami lantas sampai di depan pintu bernomor 92. Yasa menekan sekali lagi sidik jarinya hingga pintu terbuka. Kemudian kami pun masuk.

Di dalam ruangan, terdapat dua manusia yang tergeletak setengah sadar di kursi operasi layaknya eksperimen percobaan. Beberapa selang yang tertancap ke pembuluh nadi terus menyedot darah tanpa henti. Di sisi lain, nutrisi juga memasuki tubuh keduanya secara teratur dari tabung infus. Aku menatap pada warna darah yang keperakan dan mengangguk puas.

“Kerja bagus.” gumamku memuji, menatap keduanya yang terbaring lelap. Aku lalu melihat ke sekeliling ruangan seraya menaikkan alis. “Di mana yang bertanggung jawab atas keduanya?”

“Ah, Profesor Zero sedang mengecek objek lain, nona.” lapor Yasa di samping dengan sopan.

“Hm, minta dia untuk membangunkan keduanya. Kemudian biarkan mereka bersiap dan temui aku di kantor.” perintahku memberi instruksi. “Aku akan pergi lebih dulu.”

“Tentu saja, nona. Segera laksanakan.”

Mengibaskan tangan, aku kembali menyusuri lorong menuju lift dan menyerahkan semua prosedurnya pada Yasa. Sampai di lift, aku menekan angka 12---langsung menuju tingkat paling atas.

***

Pintu secara otomatis terbuka saat aku memasuki kantor. Ketukan berirama dari high heels-ku bergema dalam luasnya ruang. Kantor yang didominasi merah-keemasan, seolah menggambarkan kemewahan yang anggun. Secara alami, aku duduk di kursi kebesaranku. Dan tepat ketika itu, denting bel berbunyi.

“Oh, begitu cepat.” Aku menyipitkan mata dan berkata, “Masuk.”

Lalu pintu terbuka, disusul dua orang yang berjalan lurus menghadapku. “Nona, salam.”

“En.” Aku berbalik memutar ke arah mereka. “Selamat datang kembali, Aeir, Xeno.”

“Nona, kau sangat tidak berperasaan, huh!” Sontak Aeir bersedekap merajuk seraya memalingkan muka.

Tertawa geli, aku kemudian merentangkan tangan dan melayangkan pandangan menggoda padanya. “Apakah begitu?”

“Uhh, nona curang!” Menggembungkan pipi, ia mencuri pandang beberapa kali ke arahku dengan sebal. Pada akhirnya, Aeir memilih membuang egonya dan segera berlari memelukku. “Nona, aku merindukanmu....” Ia memandangku berkaca-kaca, tampak begitu sedih.

“Yah, aku tahu.” bisikku mengusap kepalanya menenangkan. Aku lalu menariknya ke pangkuan dan balas mendekapnya. “Setelah ini kita akan kembali.”

“Hei, apakah kalian sengaja melupakanku begitu saja?” Tiba-tiba dari belakang, Xeno mengalungkan tangannya ke leherku sembari menggigit telingaku sebagai pelampiasan.

“Akh, Xeno.” Refleks mendongak, seketika bibirku direnggut olehnya. Tersentak kaget, aku melayangkan pandangan lucu seraya balas mengaitkan lidah kami, mengajaknya menari bersama.

Melebarkan mata, langsung saja Aeir mendorong jengkel wajah Xeno. Secara paksa menghentikan kami dari tenggelam dalam dunia yang seakan milik berdua. “Xeno, kau tidak adil!”

“Hei, kau masih di bawah umur, bocah. Tidak perlu ikut campur.” ejek Xeno, dengan nakal menjilat daun telingaku sembari menyeringai penuh provokasi ke arah Aeir.

“Xenoo! Tunggu saja, saat umurku tujuh belas tahun! Aku pasti akan dapat menyingkirkanmu!” seru Aeir, menatap Xeno benci.

“Kalau begitu bermimpilah. Itu masih dua tahun lagi. Tepat ketika itu, aku sudah berhasil mengklaim nona lebih dulu.” Xeno mengedikkan bahu, berucap tak peduli.

“Ahh, nona! Xeno menggertakku!” rengek Aeir, menenggelamkan kepalanya ke dadaku, seolah dirugikan.

“Cih, bocah tukang adu.” cibir Xeno, memutar bola mata malas.

Tergelak tawa, aku merasa terhibur akan tingkah keduanya. “Yah, oke, berhenti bertengkar. Aku masih perlu mengecek laporan statistik kalian selama tiga hari ini. Baru kemudian, kita akan pulang.”

Mendengar itu, Aeir berujar tegas guna meyakinkanku. “Nona, kami berusaha sangat keras.”

Tersenyum lembut, aku menepuk puncak kepalanya dan mengangguk penuh apresiasi. “Bagus. Kalian sungguh bekerja keras.”

***

Allein Wine adalah perusahaan turun-temurun yang diwariskan pada keturunan Allein---yakni marga keluargaku. Sebagai garis murni terakhir, saat ini, akulah penguasanya. Pemilik perusahaan terbesar yang fokus dalam bidang produksi wine bagi manusia, dan darah untuk Harad.

Dengan penyamaran sempurna, label yang sama namun wujud dan cita rasa berbeda pun diluncurkan. Dua dalam 14 lantai yang terselubung, justru adalah inti yang sebenarnya. Karena walau Harad hidup berdampingan dengan manusia, tidak semua orang bisa menerima fakta itu. Sehingga kami---sebagai bagian dari garis keturunan Harad murni---kemudian memutuskan cara yang lebih bijaksana seperti ini.

Untuk manusia secara sukarela menyumbangkan darah di atas kontrak yang saling menguntungkan. Lalu Harad akan membelinya dalam bentuk botol pada kemasan label yang sama. Itu berjalan lancar, sampai akhirnya perusahaan berhasil dilegalkan secara sah oleh kedua belah pihak dan berdiri dalam kesepakatan damai hingga saat ini.

Memandangi gedung pencakar langit yang sudah ada sejak ratusan tahun---untuk terakhir kalinya. Lantas aku masuk ke dalam mobil lamborghini bertipe SUV yang sama, seraya duduk di belakang setir---tepat di sebelah Aeir. Kemudian aku dengan mantap menginjak gas. Dan setelahnya, mobil pun membelah jalan raya dalam kecepatan di atas rata-rata.

***

Vote, Comment and Share! | IG: @izzamumtaz

Getih HaradTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang