Aku merenggangkan tubuh malas seraya berganti posisi rebahanku. Mengintip pada jendela besar dibalik sofa, perlahan cakrawala berubah gelap---menandakan malam yang beranjak menyapa. Tak terasa, hari lain berlalu begitu saja.
Mengalihkan pandangan, tepat saat itu, sebuah tangan terulur di depan wajahku. Dan tanpa berpikir, aku melahap stroberi merah yang dilumuri dengan cokelat. Asam bercampur manis sekejap kemudian menerpa lidahku---memberi cita rasa yang unik. Menyipitkan mata, seketika aku menyesap jarinya sekaligus yang juga terkena cokelat. Sontak memicu tawa geli dari seseorang di sampingku.
“Hei, nona ... aku bukan permen.” ujar Xeno tak berdaya.
“Jarimu manis.” gumamku, menjilat terakhir kalinya, baru melepaskan.
“Yah, apapun nona.” Mengedikkan bahu pasrah, Xeno tak lagi berkomentar.
Di sisi lain, Aeir yang kalah cepat berakhir memakan stroberinya sendiri, sebelum kemudian mengerutkan dahi. “Asam.” Lantas menatapku dengan heran. “Kenapa nona sangat menyukai rasa aneh semacam ini? Apa yang enak darinya?”
“Justru karena kontradiksi yang unik. Aku menyukainya.” jelasku, mengulas senyum lembut.
“Akh, selera nona memang sulit dipahami.” gerutu Aeir cemberut.
Aku menaikkan alis seraya terkekeh lucu, melihat wajah Aeir yang melebihi asam stroberi. Lalu tiba-tiba saja, sesosok Harad menginterupsi waktu santai kami.
“Nona, salam.” sapa Nathael, membungkuk sopan di hadapanku.
“En. Ada apa?” Aku bertanya sembari beralih posisi---menjadi duduk di sofa.
“Ini tentang Nona Veanka.” sebut Nathael, kali ini ekspresinya tampak sedikit tertekan. “Beberapa hari belakangan, Nona Veanka membombardir saya tanpa henti. Karena itu, saya benar-benar memohon pada nona, untuk menghubungi kembali Nona Veanka.”
“Bukankah sudah kubilang untuk mengatakan bahwa aku sibuk?” Aku memandangnya tidak mengerti. “Atau itu juga tidak berhasil? Hei, apa lagi yang perlu kujadikan alasan? Malas, sudah. Tidak tertarik, sudah. Ponsel rusak, tidak usah ditanya, itu sudah berulang kali.” lanjutku, menghitungnya satu-persatu tanpa tahu harus mengelak bagaimana lagi.
“Mungkin baterai habis? Atau ... ponsel mati?” saran Aeir dengan air muka cerah, menyapu keluhan sebelumnya begitu cepat---digantikan niat jahil yang agak bersemangat.
“Tidak ada gunanya. Nona Veanka terlalu bersikukuh.” tolaknya menggelengkan kepala. Nada kepala pelayan sekaligus asisten utamaku itu terdengar putus asa.
Terdiam akan laporannya, aku hanya bisa menghela napas---mulai jengkel dengan wanita Harad satu itu. “Baiklah, kalau begitu biar aku yang mengurusnya. Kau bisa kembali.” putusku kemudian.
“Tentu, Nona. Saya mohon undur diri.”
Mengibaskan tangan, lalu aku berkata pada dua peliharaanku. “Aku juga pergi ke atas dulu.” Hingga akhirnya benar-benar keluar dari ruang santai.
***
“Halo, Kiranku sayang! Akhirnya kau mengangkat teleponku.”
Aku mengusap telinga yang berdengung akibat teriakan Vea, lantas menyelipkan lagi earphone bluetooth-nya ke telinga. Menatap pada muka merah padam di layar ponsel, aku mengulum senyum---merasa sedikit terhibur.
“Ada apa dengan ekspresi senangmu itu, huh? Kiran, katakan padaku, sekarang apa lagi alasanmu?” Vea mendengus marah, ekspresinya semakin buruk. “Oh, tidak, cukup. Apa pun itu, selain ponsel rusak.” selanya, menjawab sendiri pertanyaannya, ketika melihat wajahku yang telah menampakkan itu semua---sesuai tebakan.
Aku mengedikkan bahu tak acuh sebagai respons. Yah, lagi pula itu memang alasan sebenarnya. Karena selain gelas, aku paling sering menghancurkan ponsel. Berbaring malas di ranjang kamar, aku menyamankan lagi posisiku. Dan tanpa minat, menonton Vea terus menyemburkan omelan yang hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Sampai akhirnya Vea lelah sendiri dan mulai berbicara intinya. “Nah, Kiran. Apakah kau tidak bosan? Semenjak hari kedewasaanmu, kau belum pernah terlihat di pesta mana pun.”
“Aku hanya sedang memanjakan diri di rumah, bersama para peliharaanku.” ujarku lambat, menarik bantal dan memeluknya di depan dada.
“Yah, baik. Kalau begitu waktu santaimu sekarang berakhir. Malam ini, aku tak ingin mendengar alasan lain, kau harus datang ke rumahku. Aku sedang mengadakan pesta dan sudah mengundangmu tanpa lelah. Begitu baik hati, bukan? Jadi, kau wajib datang.” tekan Vea, meludahkan tiap katanya dari sela bibir yang terkatup---saking gemasnya.
“Tapi aku tidak memintamu untuk mengundangku.” balasku memutar bola mata, sama sekali tak tersentuh oleh usahanya.
“Oh, baik, aku menyerah!” Vea mengangkat tangan pasrah. “Pokoknya, jangan marah saat kau tidak mendapat undangan perkawinanku. Kau bukan lagi temanku.” ultimatumnya, dan bersiap menekan tombol merah.
Buru-buru aku menghentikannya, saat mendengar itu. Alisku bertaut heran memandangnya. “Ah, tunggu. Kau dan Deron? Sungguh?”
“Nah, itu karena kau terlalu lama mengendap di rumah. Sehingga kau ketinggalan zaman.” ejek Vea puas, akhirnya mendapat kesempatan untuk menyerang balik. “Jika kau ingin tahu, maka datang. Ingat? Jam sepuluh malam.” Selesai, ia tertawa licik kemudian mematikan panggilan begitu saja.
“Sial.” Tak tanggung, aku mengumpat kesal karena terlanjur penasaran. Vea memang berhasil memancingku pergi.
Melemparkan ponsel kembali ke atas nakas, aku lalu menyeret tubuhku menuju kamar mandi, dan bersiap untuk pesta malam ini.
***
Pukul setengah sepuluh, aku menuruni tangga menuju lantai satu dalam gerakan anggun. Gaun kelabu membalut ketat pinggangku, melebar jatuh mencapai lutut---membentuk huruf A. Dengan rambut hitamku yang setengah terikat oleh pita, dan sisanya dibiarkan tergerai hingga punggung. Memberi kesan santai, namun tetap pantas nan menawan.
Berjalan melewati aula, sampai di depan pintu ganda. Aku menoleh pada Nathael yang setia menunggu sedari tadi. Seketika Harad itu membungkuk sopan padaku. “Salam, Nona. Mobil siap sedia untuk dipakai.”
“En, bagus.” Mengangguk puas, aku menerima kuncinya lantas meniti undakan, dan menghampiri lamborghini merahku di bawah.
Masuk ke dalamnya, aku duduk dibalik kemudi dan menyalakan mesinnya. Dan segera, mobil pun melaju keluar gerbang dengan kecepatan di atas rata-rata. Meluncur bebas, tanpa batas. Dalam gemerlapnya malam ibu kota.
***
Vote, Comment and Share! | IG: @izzamumtaz
KAMU SEDANG MEMBACA
Getih Harad
FantasiaBangsa kami menyukai darah, tapi kami bukan vampir. Kami tidak akan terbakar saat terkena sinar matahari. Kami tidak takut perak dan bawang putih. Kami juga bukan mayat hidup. Kami hidup seperti halnya manusia. Dan kami hidup di antara para manusia...