Nona.... Nona.... Nona....
"Nona Kirana!"
Mendengar seruan itu, sontak aku terkejut dan hampir saja menjatuhkan cangkir yang sedang kupegang. Untungnya refleksku bagus, atau jika tidak, akan ada adegan 'barang pecah' lainnya dalam waktu dekat. Menghela napas lega, aku lalu melotot ke arah pelakunya yang balas meringis bersalah padaku.
"Lihat, gara-gara kau, Xeno! Bagaimana kalau cangkirnya benar-benar jatuh dan malah melukai nona?" tuding Aeir cemberut, sama sekali tidak suka dengan sikap ceroboh pemuda itu.
"Maafkan aku, nona. Aku sungguh tidak bermaksud seperti itu." ujar Xeno, menggaruk kepala belakang kepalanya seraya memohon setulus hati.
Menggeleng tak berdaya, pada akhirnya aku mengibaskan tangan tak acuh. "Yah, lupakan saja."
Lantas aku kembali menyeruput teh mawarku, sembari menikmati lautan luas kemerahan, dengan latar belakang cakrawala jingga pada sore hari. Saat in, baik aku, Aeir maupun Xeno sedang bersantai di paviliun taman belakang. Sekali lagi memulai hari-hari malasku, layaknya sebelum pesta kemarin malam.
Diam-diam memandang ke kejauhan, sorotku perlahan berubah rumit. Aku merenung linglung, saat tiba-tiba seseorang menutup mataku, diikuti kecupan pada bibirku. Sontak menarikku dari lamunan baru saja.
"Karena alasan inilah nona, aku memanggilmu tadi." ungkap Xeno, mengelus lembut puncak kepalaku, sambil tak lepas memandangku dalam. "Ekspresimu membuatku sangat khawatir, nona."
Memicingkan mata ke arahnya, sudut bibirku ikut tertarik ke atas. "Aku hanya sedang teringat sesuatu. Tidak perlu cemas."
"Tentang apa itu? Apakah nona ingin membaginya denganku?" pinta Xeno, semakin mencondongkan tubuhnya padaku---seringai khas tercetak di bibirnya.
"Ya, ya! Aku juga ingin mendengarnya!" timpal Aeir, seketika kepalanya melongok dari samping, menyela di antara kami berdua.
Mengacak gemas rambut Aeir, aku kemudian meletakkan cangkir ke atas meja seraya bangkit dari kursi dan mendorong Xeno agak menjauh. Mendongak menatap langit sekali lagi, aku pun berucap pada mereka berdua. "Baiklah, sudah hampir gelap. Aku masih memiliki sesuatu yang harus kulakukan. Kalian juga segera kembali."
Melambaikan tangan perpisahan, aku lantas berjalan menuruni bukit.
***
Perlahan mendorong pintu, aku memasuki kamar dan melangkah ringan menuju seorang lelaki yang berbaring di atas ranjang. Duduk di sisinya, aku menempelkan punggung tanganku di dahinya. Bermaksud mengecek suhu tubuhnya.
"Ah, sepertinya memang lebih baik...." gumamku mengangguk-angguk, merasakan suhunya yang tidak lagi sepanas sebelumnya.
Memandangi lehernya yang dipenuhi oleh keringat. Aku terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya kuputuskan untuk bangkit berdiri. Tetapi sebelum aku benar-benar melangkah pergi, sebuah tangan lebih dulu menangkap sudut gaunku---menahanku di tempat.
"Nona, apa kau ingin meninggalkanku lagi? Seperti yang selalu Nona lakukan?" tanya Sani lirih, menusuk tepat ke titik sakit.
Menghela napas, aku kembali duduk di sisinya sembari mengelus lembut rambutnya. "Sudah bangun, hm? Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Lebih baik, tidak pusing lagi." jawab Sani patuh, namun kebalikan dengan sikapnya, justru ia semakin mengeratkan genggamannya padaku.
"Yah, panasmu memang sudah turun. Mungkin besok atau lusa kau akan sembuh." tebakku yakin. Lantas aku menepuk tangannya yang bersikukuh memegangku. "Jadilah baik."
"Tidak." Sani menggeleng tegas, sorotnya begitu keras kepala. "Percuma jika Nona selalu meninggalkanku."
Menatap tak berdaya akan tingkah kekanakannya, aku menarik sekilas kerah baju yang ia pakai ke wajahnya. "Lihat? Bajumu basah oleh keringat dan aku hanya ingin mengambil gantinya."
Tersipu malu karena paranoidnya, akhirnya Sani menurut dan melepaskan sudut gaunku. Meninggalkan kecupan lembut di dahinya sebagai apresiasi, aku lalu menghampiri lemari tak jauh dari ranjang. Menarik salah satu kaos dari tumpukan pakaian beserta handuk kecil, setelahnya aku kembali menuju Sani.
"Bisakah kau duduk?" Aku menaikkan alis, memandangnya bertanya-tanya.
Menggigit bibir seraya melirikku, ia bergumam lembut. "Hm-mm."
Lantas Sani sedikit memiringkan tubuh dan menggunakan siku untuk mendorongnya duduk. Mengangkat tangan patuh, ia membiarkanku menanggalkan pakaian atasnya yang basah kuyup. Kemudian aku ganti mengelapnya ringan, mulai dari punggung, leher, dada hingga berakhir di perutnya menggunakan handuk.
Tepat ketik aku berada di pinggangnya, ritmeku perlahan berubah sangat hati-hati. Aku mengusap pinggang bagian kanan di mana terdapat bekas luka gores yang lumayan dalam. Aku menghela napas panjang sembari menoleh padanya.
"Apa itu masih sakit?" gumamku pelan.
"Tidak lagi." Sani menggeleng, meraih tanganku di pinggangnya. Ia lalu menundukkan kepala sembari bermain-main dengan jariku. "Sudah terhitung tiga hari. Apakah Nona masih marah padaku?"
Melihatnya seperti anak anjing menyedihkan yang dilupakan induknya. Mau tak mau membuatku terkekeh tak berdaya. "Kau tahu aku takkan marah jika kau patuh." Berbisik lirih, aku menggiling gemas daun telinganya.
"Tapi kalau tidak begitu, Nona pasti akan pergi." Tanpa sadar, nada suaranya begitu pilu. Pula tangannya kembali menjepit erat jemariku.
Itu lagi. Aku memutar bola mata malas. Bahkan tidak lagi repot bersembunyi dari pandangannya. Mengulurkan tangan, aku mengangkat dagunya. Memaksakan agar menatapku tepat pada mata merah yang berkobar membara.
"Sani...," Aku menyipitkan mata, seraya menggosok kasar dagunya dengan ibu jari---sarat ancaman. "Apakah kau begitu takut ditinggalkan?"
"Aku hanya tidak ingin Nona menolakku sama sekali. Seperti lima tahun yang lalu." Sani meringis pahit, namun terdengar penuh tekad. "Karena Nona selalu jadi yang pertama dan satu-satunya---memujiku, peduli padaku, serta memberiku nama. Aku tidak bisa jika pada akhirnya, semua hal indah itu kembali direnggut dariku."
Terdiam beberapa saat, ia lantas melemparkan pandangan---antara kecewa sekaligus menuntut---ke arahku. "Lagi pula..., Nona ... bukankah kau mengatakan akan menjadi tempat kembaliku?"
"Tetapi dengan syarat kau patuh." ralatku, menarik sudut bibir mengejek padanya.
"Jika ... jika aku patuh. Apa Nona akan berjanji padaku?" tanya Sani gugup.
Termenung lama akan kata-katanya, perlahan aku mengikis jarak di antara kami. Dan mengecup khidmat telinga belakangnya yang samar-samar kembali muncul pola sulur mawar berduri---berwarna keemasan. Tepat sebelum menjilat ringan lehernya, aku memberi jawaban. "Selama kau baik, sayang.... Aku takkan pernah meninggalkanmu. Aku berjanji. Bagaimana, hm?"
Mendengar kalimat yang diinginkan untuk pertama kalinya. Netra kelabu Sani seketika bak bintang-gemintang paling terang dalam gelapnya angkasa. "No-nona, nona, nona.... Be-be-benarkah itu? Benarkah itu?" Saking antusiasnya, ucapannya berubah kacau. Ia dengan gemetar mencoba menahan bahuku susah-payah. "Kalau, kalau begitu ... Nona, temani aku tidur malam ini?"
"Ssh, tenang.... Jangan bergerak, sayang." tegurku mengerutkan dahi terganggu. Merasa tak nyaman, aku lantas berusaha menyatukan kedua tangan Sani dan mengikatnya dengan handuk ke belakang kepala. Setelahnya aku mencium pangkal hidungnya---di antara alis---dan mulai menyesap senang darahnya. "Yahh, tentu...."
Membelalakkan mata terkejut, Sani menatapku takjub. Netra kelabunya lekat mengawasi tiap gerak-gerikku penuh kepuasan. Sebelum kemudian tersenyum samar dalam bayang temaram bulan purnama.
***
Vote, Comment and Share! | IG: @izzamumtaz
KAMU SEDANG MEMBACA
Getih Harad
ФэнтезиBangsa kami menyukai darah, tapi kami bukan vampir. Kami tidak akan terbakar saat terkena sinar matahari. Kami tidak takut perak dan bawang putih. Kami juga bukan mayat hidup. Kami hidup seperti halnya manusia. Dan kami hidup di antara para manusia...