“Nona, nona ... bangunlah.”
Merasakan kecupan yang menghujani wajahku satu-persatu, disertai bisikan berulang kali memanggilku. Mau tak mau, aku pun terbangun dari lelap. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, hingga akhirnya menyadari jikalau wajah Sani begitu dekat denganku.
“Bangun, nona?” Napas hangatnya menyembur tepat ke muka, seketika membuatku terjaga.
Aku mengernyitkan dahi seraya menoleh ke jendela. Di mana cakrawala telah berubah menjadi jingga. Setelahnya menatap pada selimut yang menutupiku, dan baru aku sadar, kalau kini berada di kasur.
“Jam berapa sekarang?” tanyaku linglung.
“Sekitar pukul empat sore, nona.” sebut Sani, tepat setelah menengok pada jam digital yang diletakkan di nakas.
“Aku terlelap begitu lama?” gumamku terheran-heran. Aku lalu menyapu sekilas pada meja yang telah bersih dan menyipitkan mata ke arah Sani. “Kenapa kau tidak membangunkanku sebelumnya?”
“Aku tidak tega ketika melihat nona tertidur begitu lelap.” jawab Sani dengan air muka penuh kekhawatiran.
“Lalu, kenapa kau membangunkanku sekarang?” tanyaku lagi menginterogasi.
“Nona, tidak baik tidur sore.” sahutnya serius nan meyakinkan.
Membuatku seketika agak terdiam.
“Oke, kau masuk akal.” Memijat-mijat pelipisnya jengkel, pada akhirnya aku turun dari ranjang dan melangkah menuju pintu kamar Sani. Tak lagi berniat untuk melanjutkan percakapan menyebalkan baru saja.
“Nona ingin pergi ke mana?” seru Sani. Buru-buru mengikutiku di belakang.
“Kembali ke kamarku.” jelasku singkat, lantas membuka pintu dan melenggang keluar dari kamar.
“Baiklah, aku ikut nona.”
Mendengar itu, aku terlalu malas untuk mencegahnya. Dan dengan tegas, memilih mengabaikannya.
***
Sayangnya mungkin karena aku terlalu toleran beberapa hari belakangan. Akibatnya, Sani terus mengikutiku sampai di depan kamar. Pada akhirnya aku berbalik tak sabar dan menatapnya berpura-pura tajam. “Sayang, bukankah kau ingin dihukum lagi, hm?”
“Nona, aku hanya tidak ingin berpisah denganmu.” bisiknya mengeluh, ekspresinya seolah ia sangat teraniaya, begitu penuh belas kasihan.
Namun justru, tindakannya masih sama kontrasnya dengan ucapan yang keluar dari mulut manis lelaki itu. Sani mengambil kesempatan dari sikapku yang perlahan luluh, dan melingkarkan tangannya di pinggangku erat. “Nona....” rengeknya memohon.
Pada akhirnya aku hanya mengembuskan napas panjang menyerah dan memutuskan untuk masuk ke kamar sambil menyeret beban yang bergelantungan di pinggangku. Aku kemudian berjalan menuju sofa dan meletakkan Sani di atasnya, seraya berusaha menyingkirkan jeratannya padaku. “Oke, Sani, lepaskan. Aku ingin mandi.”
“Kalau begitu, aku akan membantumu mandi, nona.” tawar Sani penuh harap. Lantas Sani buru-buru menambahkan sebelum aku dengan pasti menolak permintaannya itu. “Aku tidak akan melepaskannya, sampai nona menyetujuiku.”
Dan mendengar itu, aku menyipitkan mata berbahaya ke arah Sani, balas mengancamnya. “Sani..., sebaiknya kamu patuh atau aku akan meninggalkanmu lagi. Toleransiku juga ada batasnya.”
“Aku tidak peduli!” Sani bersikeras. Lebih mengeratkan pelukannya di pinggangku, seolah ingin meleburkan kami menjadi satu. “Aku lebih baik memaksamu jika itu bahkan berakhir mati, dari pada nona terus mendorongku menjauh berkali-kali. Nona..., kau tahu, hatiku sakit. Sangat sakit hingga aku tidak bisa menahannya lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Getih Harad
FantasyBangsa kami menyukai darah, tapi kami bukan vampir. Kami tidak akan terbakar saat terkena sinar matahari. Kami tidak takut perak dan bawang putih. Kami juga bukan mayat hidup. Kami hidup seperti halnya manusia. Dan kami hidup di antara para manusia...