Chapter 14 - Kontroversi Keonaran

8 0 0
                                    

Bruk! Crash!

“Ka-kau! Apa-apaan! Oh, gaunku!” Suara ratapan sesosok gadis Harad melengking tajam ke seluruh ruang pesta.

Tak jauh di hadapannya, seorang pelayan lelaki tampak serba salah. Kepalanya menunduk seraya dengan erat mendekap nampan di depan dadanya. Dan di antara keduanya, pecahan gelas berserakan, membuat genangan darah merah yang terbuang sia-sia.

“Oh, gaunku yang berharga!” Secara tak masuk akal, gadis itu masih saja mengasihani gaun biru terangnya yang terkena cipratan darah. Sontak kemudian gadis itu mengacungkan telunjuknya pada pelayan itu. “Kau, manusia rendahan! Lihat ini, oh, gaunku yang cantik, gara-gara kau tak becus jadi ternoda olehmu. Pokoknya aku tidak ingin tahu, bagaimanapun caranya kau harus bertanggung jawab atas gaunku! Sekarang juga!”

“Maaf, nona. Ta-tapi saya tidak dapat langsung menggantikannya dalam sekejap. Karena itu, saya benar-benar memohon keringanan pada nona.” Mendapat ultimatum dari sang gadis Harad, pelayan muda itu seketika membungkukkan badan dalam---sebisa mungkin agar dapat membeli lebih banyak waktu.

“Ha, memang tidak berguna!” Langsung saja gadis itu menghujat meremehkan. “Huh, seharusnya aku tahu itu.”

Dan kali ini pelayan lelaki itu tidak menjawab, hanya busurnya tampak semakin rendah. Tanpa sadar ia juga menggigit bibir erat. Gadis Harad itu yang menyadari, pada akhirnya melangkah maju tanpa peduli. Suara renyah high heels menginjak kaca bergema ke seantero ruangan. Di mana hanya tersisa lagu, tanpa ada suara lain yang bercampur.

Mencondongkan tubuh lebih dekat, gadis itu berbicara tepat di samping telinga pelayan muda yang gemetar. “Oh, kalau begitu. Bagaimana jika kau saja sebagai gantinya? Lagi pula bahkan jika aku memberimu waktu setahun lagi, kau tetap tidak akan mampu membayarnya. Aku yakin itu. Jadi, kenapa tidak?”

“Tidak mungkin!” Sebelum siapa pun dapat menjawab, suara gebrakan meja menyela pembicaraan. Dengan sengit, Vea bangkit menghampiri sumber masalah. Berdiri menjulang di hadapan gadis itu, Vea mencibir jijik. “Harap diingat, Nona Helena. Ini pestaku dan Shion adalah peliharaanku. Jika Nona Helena mencoba merayu salah satu peliharaanku, itu sama saja artinya bahwa kau tidak menghormatiku.”

Mendongakkan kepala, Helena---nama gadis tak masuk akal itu---tertawa mencemooh. “Hei, kau dengar itu? Mereka semua selalu saja menyebut jenismu sebagai ‘peliharaan’. Dan kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan jika mengikutinya. Jadi, bagaimana kalau kau pertimbangkan untuk ikut bersamaku saja? Aku bisa memanjakanmu dengan cinta seperti yang biasa manusia dambakan.” Membujuk secara persuasif, ia melirik bergantian antara pelayan muda itu dan Vea yang mukanya sudah semakin merah padam---merasa sangat terhina akan ucapannya yang sejujurnya memang benar.

Bahkan beberapa Harad yang awalnya hanya berniat menonton lelucon merasa wajahnya juga terbakar. Berdehem lembut, akhirnya aku memecahkan suasana yang stagnan selama beberapa saat. Lantas aku melirik samar pada gadis biang onar di tengah ruangan.

“Oh, Hel. Aku tak menyangka itu benar-benar kau. Masalah memang tidak pernah jauh darimu.” Menggelengkan kepala miris, aku mengetukkan jari santai pada sisi meja dengan ritme konstan.

“Sudah kubilang jangan panggil aku Hell!” Tiba-tiba Helena berteriak emosi. Matanya memerah sekaligus berkaca-kaca melotot padaku. Dipadukan dengan wajah bulat bayinya, ia seolah begitu dirugikan. 

Sayangnya aku malah tersenyum lembut melihat itu. Dengan kelembutan penuh sarkasme yang ekstrem. “Apa kau tidak mendengar dengan baik? Aku memanggilmu Hel, dengan satu L.”

“Huh, benarkah itu?” Helena terkekeh tak percaya. “Untuk sesosok Harad yang bahkan tidak menghargai cinta. Ucapannya tidak layak sama sekali.”

Segera aku menyipitkan mata mendengarnya, kali ini pula terprovokasi. “Justru kau yang terlalu abnormal sebagai Harad.” Namun setelahnya aku melayangkan tatapan lucu padanya. “Yah, kau jadi mengingatkanku. Tak kusangka posisi kita kali ini terbalik. Dan ngomong-ngomong, aku menunggu kabar selanjutnya dari usahamu.”

“Kau, kau--” Terbelalak syok, sekejap Helena kehilangan kata-kata. Tepat ketika ia refleks melangkah mundur, dua orang penjaga mengapit tiap sisi kanan dan kiri Helena.

Membuang pandangan tak acuh, aku lalu bertukar isyarat pada Vea seraya berkata. “Maaf, Hel. Tapi kau tidak diterima di sini.”

Mengedipkan mata, Vea lantas memerintahkan dua penjaga itu. “Usir dia!”

Sebelum kemudian Helena diseret pergi keluar ruang pesta. Dan setelahnya, Vea menepuk pundak pelayan muda itu yang terdiam menunduk sedari tadi. “Tidak perlu dipikirkan lagi, Shion. Sekarang lebih baik bereskan semua pecahannya. Sebelum menimbulkan kegilaan lain.”

“Ah, baik, nona.” Membungkuk patuh, pelayan muda itu dengan sigap lantas membersihkan lantai.

Hingga tak lama, pesta pun berlanjut seperti biasa. Lancar, tanpa ada lagi keributan. Sedangkan Vea pada akhirnya kembali menghempaskan tubuh ke kursi dan menatap baik aku maupun Deron penuh keluhan.

“Oh, astaga. Maafkan aku karena pestanya jadi kacau.” sesalnya dengan nada sarat kebencian, akibat mengingat adegan berantakan baru saja.

“Tidak masalah, itu juga kelalaianku karena tidak sungguh-sungguh mendisiplinkannya.” Aku menggeleng tidak setuju, lalu meliriknya dari sudut mataku. “Ngomong-ngomong, apa kau mengundangnya?”

“Entahlah.” Vea dengan wajah polos mengedikkan bahu. “Awalnya, karena ini pesta lajangku. Aku hanya mengundang siapa saja Harad yang masih lajang untuk ikut pesta kali ini.”

“Nah, lain kali kau memang perlu mendengarkan saranku, sayang.” celetuk Deron seraya mengacak rambut Vea yang tampak tidak bersemangat.

“Yah, karena seperti ini jadinya. Lebih baik kau juga pulang.” Vea berujar menatapku, tanpa minat seperti sebelumnya.

“Jadi, sekarang aku diusir? Setelah kau terus memaksaku tanpa akhir?” Aku menaikkan alis ke arahnya, sudut mulutku berkedut geli.

“Ah, aku tidak lagi punya mood menyambut tamu.” desah Vea tanpa daya.

“Yah, baiklah. Kalau begitu, aku pergi.” Sembari bangkit dari kursi, aku menepuk kuat bahunya. “Ayolah! Sepertinya kau terlalu banyak pesta, hingga semangatmu pun luntur. Sesekali kau juga perlu bersantai, Vea. Jadi yah, good luck untuk kalian berdua.” Dan setelah berhasil menyodok titik sakit Vea dengan sindirannya sendiri, aku pun benar-benar keluar ruangan.

“Sialan.” umpat Vea di belakang, melirik cemberut ke arah kepergianku.

Sedangkan Deron melambaikan tangan padaku, sebelum kemudian tertawa bahagia di atas penderitaan tunangan pilihannya. “Hahaha, thanks Kiran!”

***

Vote, Comment and Share! | IG: @izzamumtaz

Getih HaradTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang