Chapter 15 - Awal Pertemuan

11 0 0
                                    

Pukul dua dini hari, sebuah mobil lamborghini merah tampak melaju ke dalam basement rumah mewah bergaya Victoria klasik. Keluar dari mobil, aku memasuki rumah bernuansa kemerahan yang seakan dilapisi oleh cahaya keemasan lampu di antara gelapnya langit malam. Melangkah anggun di tengah luasnya aula lantai pertama, tanpa sadar aku menuju arah barat daya.

Berada dalam bayang-bayang lorong temaram, aku menyusuri lika-liku beberapa kali. Sampai kemudian berhenti tepat di depan pintu berukir---yang tak lagi bisa lebih kukenal. Ragu-ragu beberapa waktu, aku hanya berdiri menatap nama yang terukir di sana, tanpa melakukan apa-apa yang berarti.

Namun seolah terdapat dorongan tak kasat mata, refleks aku memutar kenop pintu hingga terbuka. Di dalam kamar bernada kelabu muram, seorang lelaki sedang tertidur lelap. Berjalan lurus ke arah ranjang, aku lantas berhenti di sisinya seraya diam-diam mengamati.

Diterangi sinar bulan purnama, wajah indahnya tampak semakin pucat. Menundukkan kepala, dengan lembut aku meluruskan kerutan samar di keningnya. Menyusuri alisnya yang tersusun rapi, secara spontan bulu matanya ikut bergetar halus. Mengulas senyum tipis, aku kemudian mengulum singkat bibirnya---menambah sentuhan warna, layaknya mawar merah yang elok bermekaran.

Menghela napas, aku menyatukan dahi kami dan sontak bergumam. “Ah, benar-benar panas....”

“Nona...?” Tepat ketika itu, Sani membuka mata bersamaan dengan bisikan lirihnya. Dalam sekejap tatapan kami pun bertemu.

Aku menatap dalam pada netra kelabu yang sama suramnya bak kamar pribadinya. “Apa kau demam, Sani?” tanyaku ringan.

“Huh?” Menatapku linglung, Sani hanya mendengus asal.

“Sani?” Aku memanggilnya ulang, seraya tangan kananku menangkup pipinya.

“Oh, tanganmu dingin.... Sangat enak.” ceplos Sani melantur, pula sisi wajahnya menggosok senang tanganku.

Terkekeh tak berdaya akan tingkahnya, seketika aku menggigit gemas hidungnya. “Sani, fokus. Apa kau sungguh mengenalku?”

Berusaha sebisa mungkin membuka lebar matanya, ia pun membalas dengan raut muka begitu serius. “Uh-huh, kau ... Ki-ran.... Perempuan paling cantik yang pernah kulihat. Sekaligus satu-satunya sosok yang selalu memujiku.”

Terdiam akan jawabannya, selama beberapa saat aku dibungkam olehnya tanpa bisa berkata-kata. Termenung di sampingnya, tawa geli akhirnya lolos dari bibirku. Hingga kemudian berubah menjadi terbahak-bahak hampa.

“Oh, Sani.... Aku tak menyangka ini.” desahku, menggeleng tak percaya. “Katakan padaku. Jadi, apa maksudmu?” Aku lantas mengusap ringan matanya yang selalu saja berhasil memikatku---menjadikannya favoritku. Bahkan lebih dari pada leher yang bagi Harad adalah bagian paling mengesankan pada tubuh manusia.

“Itu..., dulu ... dulu sekali. Aku ... pernah bertemu denganmu sebelumnya. Di tempat sempit, gelap dan kotor. Saat itu..., kau ... kau juga memujiku.” ujar Sani terputus-putus, ekspresinya tampak agak terdistorsi---sakit, pilu, namun bahagia.

Mendengar itu, seketika aku tenggelam dalam renungan. Seolah sekotak memori usang di sudut terpencil terbuka tiba-tiba. Aku menatap lama pada sosok di depanku, bagaikan spesies berbeda yang baru kutemukan---dengan tampang takjub yang sulit dipercaya.

Dunia ... sungguh kecil.

***

Prok! Prok! Prok!

Tepukan meriah bergaung memenuhi ballroom. Seorang gadis dengan wajah bulat bayi dan gaun mewah, kini tampak berdiri di tengah ruangan. Sebagai tokoh utama pesta kedewasaan malam ini, ia layak akan pusat perhatian.

Getih HaradTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang