LAYAR 11

535 38 3
                                    

Niki sudah lebih tenang, dia minum sedikit dari segelas air yang diberikan Ran.

"Kamu baik-baik, saja?" tanya Ran dengan suara lembut. Tangannya terulur ingin menghapus jejak air mata di pipi Niki. Reaksi yang tidak diinginkan Ran, Niki malah menghindar, dan menjauhkan wajahnya dari tangan Ran.

Ran menarik lagi tangannya, tiba-tiba sesak terasa di dada. Sakit hatinya melihat gadis yang dicintai menangis, dan penyebab semua itu adalah dirinya.

"Pak Ran, maafkan saya. Ada hal yang harus saya kerjakan di area." Niki merasa harus sesegera mungkin keluar dari ruangannya bersama Ran. Dia perlu udara segar.

"Niki." Ran tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia cuma bisa menatap kepergian Niki.

Bingung dan tidak mengerti dengan reaksinya sendiri. Niki bertanya lagi pada hatinya, kenapa dia harus menangis dan meninggalkan Ran yang sebenarnya tidak bersalah apa pun. Bukan salah Ran jika dia belum mengatakan siapa dirinya. Bukan salahnya juga kalau penampilannya berubah total sekarang.

Lalu kenapa seolah-olah dirinya disakiti Ran? Bahkan permintaan maaf Ran tadi dianggap angin lalu. Niki tidak tahu arahnya melangkah. Hingga di satu titik, dia ceroboh. Ada fixture brand yang baru datang sedang dipasang. Semua belum beres dan dalam pengerjaan. Seharusnya Niki tidak melewati jalan itu karena fixture dalam posisi masih miring. Lagipula banyak peralatan seperti palu, bahkan paku ada di lantai.

Niki terus berjalan tanpa memperhatikan tanda larangan untuk lewat. Tetapi tidak ada yang berani menegur, karyawan pikir mungkin Niki ada perlu untuk meninjau pemasangan itu. Tepat saat Niki sampai di depan fixture ada lapisan kayu yang terlepas dari tangan si tukang. Malangnya tepat di atas kepala Niki, semua berteriak panik.

Niki yang baru menyadari dirinya dalam bahaya, tak sempat lagi menghindar. Dia berusaha cara terakhir melindungi diri, menutup kepala dengan lengan lalu berjongkok. Beruntung seseorang datang tepat waktu, menangkap lapisan kayu itu, dan tidak sempat mengenai Niki.

"Niki, kamu nggak apa-apa, kan?" Suara itu penuh kecemasan. Napas orang ini juga sedikit terengah. Niki mendongak untuk memastikan dugaannya tidak salah. Ya, penolongnya adalah Ran.

Tanpa banyak bicara, Ran membantu Niki bangun. Lalu memberi isyarat untuk mengikutinya tanpa perlawanan. Ran tahu Niki tidak suka keributan, oleh karena itu Ran sedikit memanfaatkan situasi, sehingga bisa membawa Niki dan mengajaknya bicara. Kebetulan yang apik lagi, jam makan siang sudah dibunyikan.

Ran membuka pintu mobilnya yang diparkir di lantai 7. Selama di perjalanan menuju tempat parkir tadi, Ran tidak sedikit pun melepas genggamannya. Seolah-olah dia takut Niki akan kabur dan menghindarinya. Padahal Mereka berdua harus segera membahas dan menyelesaikan masalah.

Niki menuruti kemauan Ran. Pikirannnya sedang tidak sinkron dengan kata hati. Jadi dia memilih mengikuti kata hatinya saja.

***

Mobil meluncur mulus melewati padatnya kendaraan. Niki melirik Ran di sampingnya. Menyadari sepenuhnya perubahan fisik Ran Sinara. Dulu dia agak gemuk dan berkaca mata tebal. Dia tidak pandai memadupadankan baju saat ada acara di sekolah. Sering jadi bahan ejekan, tetapi Niki berbeda. Dia malah mendekati Ran dan melihat sisi lain darinya.

Menginjak kelas XII, Ran menghilang tanpa kabar. Padahal saat itu Niki sudah menerima pernyataan cinta Ran. Dengan tulus tanpa 'embel-embel' kasihan. Niki merasa dicampakkan saat itu. Lalu, apa yang harus dia lakukan sekarang? Hatinya sudah terisi dengan nama Gusti.

Mobil berhenti di depan sebuah gerobak yang menjual es. Sekilas Ran tahu itu es favoritnya dulu. Es serut dengan isian potongan agar warna-warni, sagu mutiara, cincau, terkadang potongan roti tawar. Terakhir diberi kucuran sirup dan susu. Ran memesan dua porsi.

Tak lama dua mangkuk es diantarkan. Niki belum berbicara sejak dari toko. Melihat sajian es serut di depannya, binar matanya muncul. Senyum pun hadir mengiringi kesadaran, bahwa tenggorokannya terasa kering.

"Kita lupakan sebentar semua kejadian tadi, ya. Perut kita perlu diisi. Saya pesan siomay di sebelah sana dulu. Kamu masih doyan siomay, kan?"

Niki mengangguk. Ran memesan dua porsi siomay lengkap untuknya, lalu siomay tanpa pare untuk Niki. Dia masih mengingat Niki tidak suka pare.

***

Suasana hati Niki lebih baik setelah makan siomay dan semangkuk es serut segar. Sekarang tinggal menyempurnakan dengan air mineral.

"Kita bisa bicara sekarang? Atau kamu mau kita cari hari lain, jam makan siang masih ada setengah jam lagi." Ran memulai bicara setelah melihat Niki sudah lebih baik kondisinya.

"Ran, boleh aku panggil nama saja?" Jujur Niki jadi canggung mengingat Ran atasannya dan sekarang terbuka fakta Ran bukanlah orang lain.

"Dari awal kita ketemu aku maunya begitu. Apalah arti panggilan apalagi dengan alasan jabatan."

"Saya minta maaf dengan reaksi yang berlebihan. Tidak seharusnya saya merasa marah atau tertipu. Toh, selama ini saya nggak pernah bertanya apa pun soal identitas kamu. Kita anggap semuanya tidak pernah terjadi."

Ada rasa sakit menjalar pelan di hati Ran. Dia tahu pasti perasaannya seperti apa. Sayangnya mungkin perasaan itu akan bertepuk sebelah tangan. Niki sudah memiliki Gusti. Ran mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dengan menunjukkan pada Niki kalau semua baik-baik saja. Dan menyetujui ide Niki untuk melupakan semua kejadian hari ini.

***
Duh, sakitnya Ran. Sini aku hibur. 😁

Alhamdulillah, bisa up. Maafkan, keinginan ODOC belum terealisasi. Kesibukan duta dan kesehatan agak terganggu kemarin. Semoga semua sehat selalu, ya.

Terima kasih yang setia membaca dan memberikan vota. Dampingi saya hingga tamat nanti, ya.
Makasih.

TAKKAN TERGANTI ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang