Terpaksa Bertanggung Jawab

3.3K 194 24
                                    

Lili tahu ia tak bisa terus-terusan berharap. Tapi hati dan perasaan miliknya tak mau diajak kerjasama.

Terjebak pada satu kenyataan bahwa ia menginginkan Rangga untuk jadi miliknya. Ia mau pria rupawan itu membalas perasaannya. Meski tak mungkin.

Rangga pria berkarisma, memiliki daya pikat tak hanya dari fisik dan materi melainkan juga kecerdasan otak dan tatakrama yang baik.

Satu kekurangannya hanyalah terjebak rasa cinta pada wanita yang kini sudah bahagia dengan anak dan suaminya.

Dan Lili ingin sekali menghapus nama dan wajah wanita itu dari benak Rangga agar pria yang kini sedang bercanda dengan Tinky bisa melihat ke arahnya, atau setidaknya dapat menemukan kebahagiaan lain selain berkubang dengan cinta lama yang tak usai.

"Papa, besok kita jadi jalan-jalan ke PlayZone?"

Nampak pura-pura berpikir, Rangga membuat Tinky merajuk manja, "Papaaa ..."

Rangga tertawa renyah, suka sekali menggoda Tinky yang kini hampir berusia lima tahun. "Iya-iya, besok kita pergi ke PlayZone. Kamu senang?"

Tinky mengangguk antusias lalu memeluk leher Rangga erat. "Terimakasih Papa."

"Sama-sama Boy."

Melihat keakraban tersebut, Lili mendekat untuk meyuruh anaknya segera bersiap gosok gigi dan cuci muka sebelum tidur.

"Tinky, udah malam. Tidur yuk! Besok katanya mau jalan-jalan. Papa juga harus pulang, istirahat yang cukup supaya bisa temani Tinky di PlayZone."

Bujukan lembut dari sang ibu membuat sedikit bibir bocah lelaki tampan itu merengut. Ia masih belum rela kalau harus berpisah dari sang ayah.

Mendapat anggukan dari Rangga, Tinky lalu turun dari pangkuan pria yang ia panggil Papa dengan wajah murung.

"Jangan sedih, besok kita main seharian, Boy." Janji Rangga lagi.

Terseyum penuh semangat Tinky kembali berlari ke arah Rangga duduk dan mencium pipinya sebelum masuk ke dalam rumah bersama seorang asisten rumah tangga.

Terkekeh kecil Rangga terus memperhatikan sosok mungil Tinky yang menaiki tangga ke lantai dua.

"Mas, terimakasih ya. Maaf besok hari libur Mas Rangga terganggu karena Tinky." Ucap Lili tak enak.

"Santai aja. Apapun yang buat Tinky senang pasti saya usahakan."

Ah ... begitu, memang sejak Tinky lahir, di mata Rangga putranya itu masuk ke dalam prioritas. Meski tidak memiliki hubungan sama sekali, namun Rangga sangat menyayangi anaknya. Sungguh berbeda dengan sang ayah biologis yang membenci Tinky.

"Kalau begitu, saya pamit dulu Li. Selamat Malam."

Tanpa diminta, Lili ikut mengantar Rangga ke depan. Hingga mobil yang pria itu kendarai keluar dari halaman rumahnya. Menghela nafas, Lili lalu masuk ke dalam rumah dengan langkah berat.

"Makasih ya Mbak." Ucap Lili pada sang ART yang selesai membantu anaknya bersiap sebelum tidur.

"Mama, kenapa sih, Papa harus pulang ke rumahnya? Kenapa Papa nggak tinggal di sini aja sama kita, kayak Papanya Albert?"

"Sayang," ditatapnya Tinky dengan lembut, "Mama, kan sudah sering bilang ke kamu, Papa punya rumah sendiri, kalau Papa tinggal di sini nanti rumahnya kosong. Lagian, kapan pun Tinky butuh Papa, pasti Papa selalu ada, kan?"

Tinky yang masih terlalu kecil hanya mengangguk, merasa penjelasan ibunya adalah jawaban paling tepat dari rasa ingin tahunya.

"Sekarang kamu tidur, ya. Besok harus bangun pagi buat siap-siap."

Short Story By RatuqiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang