Boneka Kesepian
Story By Ratuqi
."kamu tinggal ikuti saja apa yang kami perintahkan. Mudah, kan?"
Aku menatap hampa pada wajah-wajah di hadapanku. Mudah mereka bilang?
Andai yang mereka perintahkan adalah makan ketika merasa lapar, sudah pasti itu mudah. Tapi yang mereka suruh adalah bercerai dari suamiku sendiri.
Aku tidak sependapat dengan mereka jika perpisahan dalam rumah tangga yang sudah dibina hampir satu tahun dengan Mas Rafi begitu mudah ditentukan akhirnya. Meski kalau boleh jujur aku sedari awal sudah tahu bahwa muara dari pernikahanku adalah perpisahan. Tapi tak disangka, hanya butuh waktu satu tahun saja.
"Hidupmu itu, sudah sangat enak Dis, sejak kecil meski tanpa ayah dan ibu, kamu tetap bisa hidup di tengah keluarga yang utuh. Punya rumah, bisa makan, bisa sekolah. Coba, kamu lihat nasib anak-anak jalanan itu. Tidak punya orang tua. Hidup luntang-lantung di jalan. Kamu bersyukur punya kami."
Betul, aku sangat beruntung. Meski ditinggal mati ayah dan ibu sejak kecil, tapi Tuhan mengirimkan keluarga Om Iyan yang tidak lain adalah adik tiri ayahku untuk menampungku di rumah mereka. Dan kurasa mereka juga tak kalah beruntung sebab mendapat pembantu gratis juga bodyguard gratis untuk anak mereka, Lisa, sepupuku.
"Lisa akan pulang dari Australia, dan dia sudah menyelesaikan kontraknya di sana. Jadi, dia bisa kembali pada Rafi dan membangun mimpi mereka berdua untuk menikah dan membina rumah tangga."
"Kamu bisa 'kan, minta cerai dari Rafi?"
Kalian bisa 'kan, berhenti menjadikan aku sebagai boneka?
Setahun lalu, saat semua persiapan pernikahan sudah selesai, undangan sudah disebar, namun Lisa memilih kabur karena mendapat info dari sang manajer bahwa ada sebuah label modeling asal Australia ingin mengontrak dirinya, akulah yang dijadikan tumbal untuk menutupi aib itu. Aku bahkan harus kuat mendengar kebingungan para tamu karena nama pengantin yang Pendeta sebutkan berbeda dengan yang tertera di undangan.
Aku dipaksa menikah dengan laki-laki yang hanya kukenal sebagai teman satu kantor sekaligus pacar Lisa. Kami saling mengenal? Iya. Tapi apa kami dekat? Tidak. Tidak sama sekali. Aku cenderung sebagai perempuan yang tidak pandai bergaul dan berbaur. Aku tidak punya satu pun teman yang sangat dekat atau tempat berbagi keluh kesah, karena sejak di bangku sekolah, aku harus setia di belakang Lisa, mengikutinya ke mana saja. Seperti pelayan yang tak pernah jauh dari tuannya.
"Bagaimana, kamu bisa 'kan?" Kali ini Om Iyan, kembali mendesakku.
Menghembuskan nafas pelan dan berat, kurasa hanya anggukan kepala jawaban yang bisa kuberi untuk saat ini.
*.*.*
"Mas,"
"Hmm?"
Seperti biasa, dia hanya bergumam ketika aku memanggilnya. Bahkan tanpa mendongakkan kepalanya dari berkas kantor yang ia bawa ke rumah.
"Ada hal yang mau aku bicarain sama kamu." Aku memilin jari gelisah.
"Ngomong aja, aku dengerin."
"Tadi ... Aku ke rumah. Terus, Om Iyan sama Tante Nani minta aku ... Untuk," mendadak aku ragu ingin mengatakannya. Mas Rafi juga terlihat tak mendengarkanku.
"Mas?" Aku memanggilnya kembali namun ia terlalu fokus pada pekerjaannya.
"Mas, Lisa akan pulang ke Indonesia." Dan tanpa perlu mengulang dua kali, Mas Rafi mendongak. Aku yakin ia terkejut. Hampir setahun tak mendengar nama wanita yang sudah membuatnya kecewa. Kini, aku kembali mengungkitnya.
"Dia ... Pulang?" Tanya Mas Rafi lambat. Antara rasa tak percaya juga rindu mungkin.
Memang tak bisa dipungkiri, bahwa selama menikah denganku, hati Mas Rafi masih sepenuhnya diisi nama Lisa. Aku tahu karena katika dia sakit terserang demam tinggi, nama yang keluar dari igauan ketika tidur adalah nama Lisa. Pun di i-pad miliknya, masih tersimpan folder berisi foto mereka berdua.
Apakah aku kecewa? Jawabannya tidak tahu. Sedih memang mendapati diriku masihlah tidak diharapkan oleh siapa pun. Bahkan oleh laki-laki yang menikahiku. Tapi rasa tahu diri ternyata lebih besar ketimbang perasaan melow lainnya. Aku berbesar hati menerima bahwa takdirku bukan bersama Mas Rafi. Meski pernah terbesit harapan bisa hidup tanpa bayangan keluarga Om Iyan bersama seorang laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku, namun sepertinya bukan Mas Rafi orangnya.
*.*.*
Satu minggu lagi pernikahan kami genap setahun. Pernikahan dadakan untukku dan tanpa persiapan apa pun. Hanya mengikuti segala yang Tante Nani suruh. Dan dalam satu tahun inilah, banyak sisi lain Mas Rafi yang tidak ia perlihatkan di kantor tapi bisa kulihat saat kami di rumah.
Di kantor ia terlihat mudah bergaul, baik, tampan, dan juga pekerja keras. Selalu melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh, apa pun dan di mana pun. Banyak nilai positif dari Mas Rafi yang membuatnya tidak akan sulit mendapatkan cinta dari wanita mana pun.
Sisi lain yang kulihat di rumah, ia adalah pria yang terlihat tenang. Ia tidak banyak bicara dan memulai percakapan denganku. Saat aku melakukan kesalahan ia hanya akan menghela nafas, dan bergumam ketika aku meminta maaf.
Kami tidak pernah bertengkar, hanya perdebatan kecil dan akan berakhir setelah salah satu dari kami mengalah. Itu pun tak pernah lebih dari lima menit. Kehidupan pernikahan kami berjalan datar. Tapi anehnya tak membuatku protes. Tanpa sadar aku menjalani semuanya sesuai arus sampai akhirnya berkhir di muara perpisahan.
"Kamu bisa kembali sama Lisa, Mas. Kalian bisa menikah sesuai keinginan kalian dulu."
"Jika aku menikah, aku akan membawa istriku untuk tinggal di rumah ini."
Mengangguk, aku tahu. Rumah yang kami tempati kini, adalah rumah hasil jerih payah Mas Rafi sejak dulu. Sudah pasti saat kami berpisah, aku akan angkat kaki dari rumah ini. Sepeser pun aku tidak berhak akan rumah ini meski beberapa perabotan adalah pilihanku, juga taman di belakang rumah adalah hasil kerja kerasku merawat tanaman yang ada di sana.
Saat aku bercerai dengan Mas Rafi aku akan keluar dengan satu tas ransel dan satu koper sesuai dengan yang kubawa satu tahun lalu.
"Aku pasti akan pergi dari sini, Mas." Ucapku menenangkannya.
"Lalu, kamu akan kembali ke rumah orang tua Lisa?"
Sedikit, aku tersenyum ketika akhirnya Mas Rafi mengucapkan nama Lisa dalam keadaan sadar. Tidak seperti saat dia sakit. Kali ini aku menggeleng, "aku nggak akan kembali ke sana, Mas." Aku tersenyum ketika kami bertatapan sejenak, "kamu tahu alasannya." Tambahku lagi.
"Lalu kamu akan tinggal di mana?"
"Sewa kontrakan, apartemen, entahlah." Mengedikkan bahu, "yang pasti aku akan tinggal di tempat yang aman."
"Kamu tidak masalah dengan perceraian ini?" Tanyanya pelan.
Masalah atau tidak, pendapatku tidaklah penting. Aku tetap harus mengembalikan Mas Rafi pada wanita yang seharusnya.
Menggeleng pelan, "hanya tak menyangka kalau aku akan mendapat status janda satu tahun setelah menikah." Aku terkekeh kecil. Menertawakan nasibku sendiri. Di saat orang sedang memulai kebahagiaannya aku harus berjuang kembali menata hidupku.
"Kamu yakin?"
Dahiku mengernyit, dia yang bertanya tapi kenapa Mas Rafi sendiri yang terlihat ragu. "Aku yakin kalau kamu yakin, Mas." Kataku sembari menyelami ekspresinya. Akankah Mas Rafi mau mempertahankan pernikahan kami? Mengatakan bahwa ia sudah tidak mau kembali pada wanita yang pernah membuatnya kecewa dan keluarganya malu. Tapi ternyata, Mas Rafi tetaplah Mas Rafi, selamanya wanita yang ia inginkan hanyalah Lisa.
"Kalau begitu, mari kita berpisah."
Ya, kalau begitu, mari kita berpisah, Mas.
End~
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story By Ratuqi
Short StoryKumpulan Cerita pendek yang ditulis oleh Ratuqi. *Semoga dapat mengobati kejenuhan pembaca akan cerita lain dari saya yang lama diupdate^^ Cover edit; Canva