Bonus [1] Still Wait

619 92 16
                                    

Jika menunggu itu menyenangkan, maka itulah cinta.

-

Suara pintu terbuka tidak sedikitpun mengusik laki-laki yang duduk di kasur itu. Sosok dengan surai hitam itu hanya menatap lurus tanpa ekspresi.

"San-ie," sang pelaku sekaligus pemilik apartemen ini membuka pintu, menyapa pemuda di kamarnya dengan ramah.

San menolehkan kepalanya meskipun tatapannya masih sama, kosong tanpa nyawa. Tapi itu merupakan kemajuan yang sangat pesat karna biasanya San tidak bergeming sama sekali ketika seseorang menghampirinya atau terjadi keributan.

Wooyoung membuka lebar pintu, sebelah tangannya membawa nampan yang berisi bubur dan air. Dia menghampiri San dan duduk di pinggiran kasur.

"Selamat pagi."

Wajah San memang menghadap Wooyoung, tapi tatapannya masih saja kosong, seolah nyawanya memang pergi entah ke mana.

Wooyoung meletakan nampan di meja yang memang dia sengaja siapkan, satu suapan dia sendokan, mengarahkannya ke mulut San, sementara tangannya yang lain menarik dagu San agar mulutnya terbuka.

Huang Renjun --psikolog kenalan Changkyun-- bilang San sedang berada di masa antara ilusi dan kenyataan. Sugesti seseorang yang membawa pikiran San kembali ke masa lalu, ke masa tujuh tahun yang lalu, masa terpuruknya. Psikolog itu juga mengatakan kalau jalan satu-satunya San sembuh adalah waktu, San butuh waktu agar dirinya sadar dan kembali melawan traumanya.

Suapan terakhir, Wooyoung meletakan kembali sendok tadi ke mangkuk bubur yang sudah kosong, dia mendekatkan wajahnya ke bibir San dan menciumnya, membersihkan noda bubur dari bibir tipis itu.

Air mata Wooyoung luruh.

"Sayangku, cepat kembali ya," ujar Wooyoung disertai kecupan di kening.

Wooyoung menghapus air matanya lalu pelan-pelan menyodorkan gelas berisi air tadi ke mulut San.

Selesai.

Wooyoung membereskan alat makan dan membawa nampan tadi keluar. Beberapa saat kemudian dia kembali lagi, kali ini dengan baskom dan handuk di tangannya. Dengan hati-hati Wooyoung membuka satu-persatu kain yang terpasang di tubuh San, mencelupkan handuk kecil ke baskom lalu mulai membasuh tubuh San agar tidak lengket dengan handuk basah tersebut.

"Hongjoong ngasih aku waktu tambahan," mulanya.

Kebiasaan baru Jung Wooyoung ; bercerita pada San walau sadar ucapannya tidak mungkin mendapat balasan.

"Katanya sampe kamu sembuh, hiks!"

Tangis Wooyoung pecah lagi.

Tangan Wooyoung bergetar seiring tangisan yang semakin kencang. Wooyoung sudah berusaha menghentikannya tapi gagal, memang air mata adalah lampiasan emosi yang paling sederhana namun sangat jujur 'kan?

San sama sekali tak bergeming, masih setia menatap lurus ke depan dengan tatapan tanpa nyawa.

"Hongjoong yang sekejam itu aja tau kalau aku cinta kamu, tapi kenapa aku yang engga nyadar ya?" tawa sinis mengiringi rentetan kalimat yang keluar dari bibir Wooyoung.

Wooyoung membasuh kaki San, kain kering yang cukup lebar sengaja dijadikan alas agar kasurnya tidak basah. Dia kembali melanjutkan ceritanya.

"Aku udah pegang-pegang tubuh kamu lho. Kamu engga mau nendang aku lagi apa kayak waktu itu?"

Sekali lagi, hanya angin yang membalas.

Merasa seluruh tubuh San sudah bersih, Wooyoung menaruh handuk kecil tadi di baskom. Wooyoung membentangkan handuk yang lebih besar untuk mengeringkan kulit San yang tadinya basah, dengan hati-hati dia mengganti baju San dengan yang baru. Selesai dengan itu, Wooyoung keluar lagi dengan baskom juga pakaian kotor San di tangannya.

[✓] The TargetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang