Bagian 7

75 16 1
                                    

Bukannya tidak ingin, tapi aku terlalu takut untuk membuka hati kembali setelah rasa sakit itu memporak-porandakan hatiku.

~Fahima Khairunnisa~

--oOo--


Sepulangnya dari kantor, seperti biasa Fahima langsung memilih pulang ke rumah. Lagi-lagi ia harus bersabar membelah jalanan ibu kota yang sangat padat dengan kendaraan. Hal-hal seperti ini sudah menjadi santapan sehari-harinya. Fahima kembali mendengus, ia pikir dengan mengendari motor setidaknya ia tidak terlalu lama terjebak dalam kemacetan, tapi melihat lampu jalan yang sudah kembali berwarna merah Fahima merasa sangat kesal. Andai saja ia bisa merubah peraturan lalu lintas, ia akan menghilangkan lampu lalu lintas itu. sungguh, menunggunya akan menyita banyak waktu untuk perjalanannya pulang.

Seperti pengendara lain yang patuh dengan aturan, Fahima memberhentikan motor matic-nya sekitar dua baris dari arah depan. Disampingnya ada sebuah mobil Lamborghini Veneno Roadster yang harganya sangat fantastis. Fahima sama sekali tidak tertarik dengan objek disampingnya, lampu jalan itu lebih menarik baginya hingga ia terus mengawasinya. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang yang berada di dalam mobil mewah itu terus mengamatinya, entah mengapa kehadiran Fahima itu menjadi objek yang begitu menarik baginya.

Fahima merasa bosan, tak sengaja ia menoleh ke arah samping. Fahima terkesiap karena beberapa detik pandangannya bertubrukan dengan seseorang yang ada di dalam mobil itu. ia tidak  bisa melihat jelas wajah lelaki itu karena terhalang oleh kaca mobil yang berwarna hitam. Tapi melihat dari bentuk wajahnya, ia seperti menganal orang tersebut. Fahima langsung mengalihkan pandangannya, begitupun dengan orang itu. tapi ada apa dengan perasaannya, mengapa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya. Tidak. Mana mungkin detakkan itu adalah perasaan yang sama seperti yang pernah ia rasakan dahulu.

***

“Assalamu’alaikum, Uma” Fahima baru datang langsung menghampiri Nadia--- ibunya yang tengah mempersiapkan makan malam. Tak lupa ia memberi salam dan mencium punggung tangan ibunya. Nadia yang tadinya sementara menuangkan wortel dan kentang ke dalam panci yang berisikan kuah sup, akhirnya ia beralih menatap Fahima.

“Wa’alaikum salam, Sayang. Anak Uma pasti sangat kelelahan ya?” Nadia membelai wajah Fahima dengan begitu lembut.

“Iya, Uma. Tadi pekerjaan di kantor lumayan banyak.” Nadia sebenarnya kasihan melihat Fahima yang harus bekerja keras seperti itu. padahal mereka sudah melarang putri bungsunya itu untuk bekerja, toh dengan penghasilan Faris mereka tidak akan kelaparan. Tapi Fahima tetap bersih keras untuk tetap bekerja. Jadi mereka hanya bisa mengiyakan.

“Yaudah. Kamu mandi dulu. Bau asem soalnya” Nadia memasang raut wajah seolah-olah memang ia mencium bau tak sedap dari tubuh Fahima yang pada kenyataanya masih sangat wangi, sama seperti saat ia pergi ke kantor tadi pagi.

Ihhhh.. uma kok gitu sih? Aku masih tetep wangi kok”

“Iya iya. Anak Uma yang satu ini memang selalu wangi. Udah mandi sana” Nadia tidak bisa menahan kegemasannya sama putri cantiknya itu. ia mencubit kedua pipi Fahima, namun tidak sampai membuat Fahima merasa kesakitan.

Fahima pura-pura cemberut. Padahal ia sangat bahagia saat ini. Fahima sangat bersyukur berada di tengah-tengah keluarga yang sangat menyayangi dirinya, bahkan saat ia merasa terpuruk mereka selalu bersabar untuk memberikan semangatnya.

***

Setelah melaksanakan Shalat Isya, Fahima membereskan alat shalatnya. Setelah itu ia akan menuju ke ruang makan, ia perlu mengisi perutnya yang tengah meronta-ronta kelaparan. Kini kerudung sudah berganti dengan gamis rumahan dengan hijab bergo yang menutupi dada. Fahima menuju ruang makan dengan langkah santainya. Tapi netranya menangkap sosok yang selama satu tahun terakhir ini sangat jarang ia temui. Jujur ia sangat merindukannya.

FAHIMA✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang