Bab 20

435 94 23
                                    

Rebecca Lattam, perempuan keturunan Amerika latin. Cantik dan seksi, dia seolah memiliki segala yang dibutuhkan oleh wanita sempurna. Tidak ada celah jika kau ingin mengkritik visual dan penampilannya, terkecuali bagi Uzumaki Naruto. Bukan berarti dia menyangkal kecantikan Rebecca, hanya saja sikap pemaksa dan sesuka hatinya itu membuat dia risi. Siapa yang mau diikuti terus-menerus? Bahkan Rebecca tak segan untuk menempel seharian penuh padanya.

"Kuharap kau punya jawaban bagus, Rebecca. Apa maksud semua ini?!" tidak perlu berbasa-basi, Naruto langsung menginterogasi perempuan seksi itu. Asal kalian tahu, tingkah Rebecca kerap seenaknya tanpa pertimbangan dan rasa takut. Seperti saat ini, dia mendudukkan bokongnya di atas meja, melipat satu kakinya, sementara rok span ketat itu amat jelas memperlihatkan pahanya yang mulus di depan sang CEO.

"Oh, sayang... haruskah kujawab? Atau sebenarnya kau sudah tahu tujuan kedatanganku? Aku merindukanmu, momen-momen kebersamaan kita. Tidak ada seharipun kulewati tanpa memikirkan dirimu."

"Cukup! Jangan berakting! Karena sampai kapanpun khayalanmu itu tidak akan terjadi. Kau harus ingat, tidak ada apa-apa di antara kita dan aku tidak pernah menyukai apalagi mencintaimu. Pergilah selagi kesabaranku masih ada." Berurusan dengan Rebecca Lattam, berarti kau harus siap bersabar. Tidak terkecuali Uzumaki Naruto sekalipun? Sayangnya iya, meskipun tingkat ketenangan lelaki itu minus saat emosinya terpancing, tepatnya bila kau sengaja menyulut pemicu.

Namun bukan Rebecca namanya jika tidak memaksa. Barangkali isi otak perempuan itu telah diracuni oleh daya pikat sang CEO. Sehingga akal sehat pun nyaris hilang, penasaran begitu kuat mendorong nafsunya untuk memiliki."Kau yakin mengusirku dengan cara itu, sayang? Kalau mau aku bisa mengulang peristiwa malam indah kita agar kau bisa kembali mencicipi kenikmatannya, itu yang menyebabkan diriku tidak mampu melupakanmu."Rebecca menurunkan kakinya, berjalan gemulai perlahan ke belakang Naruto. Lalu tidak sungkan dia membelai pipi, bahu, sampai dengan sengaja mengalungkan kedua lengan ke leher sang CEO.

Rahangnya mengetat, bunyi gigi-gigi yang bergesekan pun terdengar. Naruto memicingkan kelopak mata, menahan puncak amarahnya."Lepaskan tanganmu!" titahnya spontan mengintimidasi. Lantas Rebecca justru kian gencar menggoda. Perempuan itu mencium pipi, serta menjamah dada Naruto dengan jemari nakalnya. "Kubilang lepas! Kau keras kepala," Hardik Naruto saking geramnya.

"Aku jadi semakin suka padamu."

"KAU!" Usai suaranya yang lantang itu terdengar, pintu pun terbuka.

Hinata muncul di sana bersama raut kecewa juga heran. Dia tidak benar-benar pergi tatkala Naruto memintanya. Kedatangan Rebecca secara tiba-tiba menimbulkan kecurigaan di benak Hinata. Berujung dia memilih menguping pembicaraan keduanya dari balik pintu. Ya, meskipun dia tahu perilaku dan gaya Rebecca yang terlalu berlebihan, mengundang pikiran negatif orang-orang yang melihat. Tapi mendengar perkataan kasar, lantang dari sang CEO menyebabkan nalurinya refleks tidak menerima.

"Hinata, kau masih di sini?"tanya Naruto tak sangka, kontan ia terkejut kala mendapati Hinata datang secara tiba-tiba dan menangkap adegan menjijikan ini.

"Begitukah caramu memperlakukan wanita? Dia kekasihmu atau kalian pernah menjalin hubungan? Banyak yang harus kutahu. Aku tidak ingin kedekatan di antara kita hanya sebuah permainan. Bisa saja kau sengaja menjebakku atau semacamnya karena kau Bos di sini, lalu nyatanya aku karyawan biasa?"

"Apa kau bilang?!" Dahi Naruto mengernyit, menatap jengkel Hinata.

"Mustahil dia datang tanpa sebab." Hinata meninggikan intonasinya."Sudahlah! Aku tidak mau tahu apa pun urusan di antara kalian."

"Baiklah sayang, aku pergi dulu. Lebih lama berada sini dapat merusak suasana hatiku,"Rebecca menyela tak acuh. Dia mengenakan kacamatanya, sempat melirik Hinata lewat pandangan sinis, sebelum dia mengangkat kaki dari sana.

"Tarik ucapanmu, Hinata!" peristiwa tak menyenangkan barusan, mengembalikan kepribadian Naruto yang sebenarnya.

"Tidak! Tidak ada yang perlu kusesali. Kau marah karena ucapanku tepat?! Akui saja, kau cuma berniat memperalatku. Memangnya siapa aku? Buruh biasa, jelas sangat berbeda dengan pacarmu tadi." wajah dan kata-kata Hinata tak kalah menohok.

"Tega-teganya kau mencercaku tanpa tahu masalahnya. Rebecca bukan kekasihku. Dia hanya salah satu wanita yang dengan sengaja mengambil keuntungan dariku." Tentu dia tidak akan puas tanpa bicara nyaring. Entah Hinata kini terbiasa, tidak tampak gentar barang sedikit.

"Masa lalu kalian belum selesai. Itu faktanya. Permisi!" Kesalahan bagi Hinata karena sembrono dalam memutuskan. Naruto bukan pria yang mau diabaikan oleh sosok yang menurut lelaki itu keberadaannya terasa istimewa. Lantas begitu Hinata hendak menyingkir dari ruangannya, kesabaran Uzumaki Naruto tiba dibatasnya. Kilat mata sang CEO tampak mengancam. Dengan tergesa-gesa dia menyusul langkah Hinata dan menutup pintu serta menguncinya terlebih dahulu.

"Rebecca bukan kekasihku!"

"Itu urusanmu!" sikap cuek Hinata sungguh menyakitkan hatinya. Langkah mereka tampak serempak, namun Hinata berjalan mundur.

"Aku bahkan tidak benar-benar mengenalnya. Temanku yang membawa Rebecca. Kami sedang berpesta, lalu beberapa orang mabuk, termasuk diriku. Aku tidak bisa meminumnya terlalu banyak, mereka pun tahu. Terjadi begitu saja, besoknya wanita itu sudah ada di kamarku. Tapi aku yakin, aku tidak melakukan apa pun terhadapnya. Dia berpakaian lengkap, kecuali..."

"Hentikan! Aku tidak ingin mendengar cerita menjijikkan itu."

"LALU AKU HARUS APA?!" Pada akhirnya dia tidak bisa menahan untuk tidak meledak. Tekanan dari Hinata terlampau menyiksa.

"Berapa kali kukatakan aku tidak suka disangkal, kau keras kepala!" Satu kepalan tangannya memukul pintu tepat di samping kepala Hinata. Perempuan itu terperangkap di dalam kungkungan kedua lengannya yang kokoh. Sorot mata sang CEO penuh amarah dan kesedihan. Hinata pun dapat menyaksikan keputusasaan pada netranya. "Kau tidak mau bicara baik-baik. Maka kutunjukkan cara lain agar kau bisa mengerti." Kemudian setelahnya Hinata merasakan bibir mereka beradu. Naruto menciumnya penuh emosional. Tak menghiraukan ketika Hinata mencoba menjauhkan tubuhnya dengan mendorongnya sekeras mungkin.

Dia menarik Hinata kian merapat, sembari tangannya yang lain meraba titik-titik sensitif pada tubuh perempuan itu. Dan ketika jemari Naruto menyentuhnya di bawah, Hinata gemetar, dia terperosok ke lantai. Seolah kehilangan tenaga, dia tak lagi memberontak. Melainkan menerima bagaimana kenikmatan menyiksa bertubi-tubi, melalui betapa hangat cumbuan Naruto di sekujur tubuhnya.

Dia mengerang, kehilangan malu dan menepis seluruh kejengkelan tadi. "Kau tidak boleh melakukan ini padaku." ucapnya terbata-bata, mulai frustasi.

"Aku tidak suka penyangkalan." Naruto sejenak memperhatikan muka Hinata yang kini memerah.

"Su-dah. Kepalaku pusing." suaranya yang serak menyiratkan kerelaan. Gerakan jari-jari Naruto bertambah cepat di dalamnya, hingga dia merasakan sesuatu baru saja terbebas dan jerit kepuasan pun terungkai.

Naruto menarik jari-jari tangannya dan merapikan lagi rok Hinata. Lantas dia kembali mengambil ciuman dalam nan lembut, membagi perasaan yang tersimpan, sambil berharap perempuan di dalam kuasanya ini dapat memahami. "Kau selalu berhasil memprovokasiku." pernyataan ambigu tersebut terucap setelah dia melepas pagutan mereka. Mengamati Hinata lekat-lekat, tatapannya menyendu, tidak lagi setajam tadi.

"Kenapa kau ... melakukannya padaku?"

"Karena cinta. Kau mengerti sekarang?"

.
.
.

TBC

Laceena

Comfort table (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang