Jung Sungchan, ah apakah aku belum pernah menceritakannya padamu?
Dia tetanggaku.
Aku tinggal sendirian di apartement. Bukan sebuah apartement besar seperti milik Helios Group, hanya apartement kecil nan murah cocok sekali untuk pelajar tidak terlalu kaya sepertiku. Kedua orangtua ku tinggal di Busan, aku dibesarkan dengan keluarga berkecukupan, penuh dengan kasih sayang, dan sangat bersyukur bisa menjadi salah satu putri kecil kesayangan orangtuaku. Setiap orangtua tentunya menginginkan yang terbaik untuk anaknya, jadi mereka menyuruhku untuk bersekolah di Seoul. Banyak sekolah bergengsi di kota Seoul yang akan memudahkanku nantinya dalam masuk perguruan tinggi, jadi tentu saja aku mengiyakan tawaran mereka. Karena rumahku yang tidak memungkinkan untuk pulang-pergi dari Busan ke Seoul jadi aku harus terbiasa hidup mandiri sendirian.
Di hari pertama kepindahanku, aku bertemu dengan seorang anak laki-laki tinggi. Wajahnya ya cukup untuk menarik perhatian para gadis. Umurnya, hmm terlihat seumuran denganku. Aku masih mengingatnya dengan jelas di hari pertama kita bertemu, raut wajahnya sedikit... Bagaimana ya menjelaskannya? Seperti sedang memikul beban yang sangat berat, ada sesuatu yang dipendamnya sendirian. Entahlah aku tidak berusaha untuk mencari tahu lebih lanjut, lagipula kami hanya seorang anak remaja yang baru masuk SMP. Beban seberat apa yang bisa dipikul oleh anak yang baru menginjak usia pubertas.
Kamarku berada di lantai dua, sudah kubilang ini bukan apartement mewah jadi hanya ada tangga sempit di sana. Aku membawa kardus besar berisi barang-barangku sendirian, kedua orangtuaku harus cepat-cepat pergi ke pasar untuk berjualan jadi mereka tidak bisa membantuku bersih-bersih.
Saat aku hampir menginjakkan anak tangga terakhir, tiba-tiba kardus yang kubawa terasa sangat ringan dan terlepas dari genggamanku. Laki-laki itu yang mengambil kardusku tanpa mengucapkan sepatah kata, aku memandangnya dengan raut wajah bingung. Dia yang menyadari perubahan raut wajahku kemudian tertawa dan mengulurkan tangannya, "Namaku Sungchan."
Sebentar, apa yang salah dengan gaya bahasaku. Ini terlalu formal, Sungchan tidak selembut itu. Mari kita ulang.
"Gue Sungchan, kamar nomer 13."
Aku membulatkan bibirku.
"Kita sebelahan?" tanyaku.
Ia kemudian mengangguk.
Terukir senyum lebar di bibirku, "Gue Ji Ah kelahiran 2001!"
Aku memang anak yang mudah untuk bergaul dengan orang lain, beberapa temanku sering menyuruhku untuk tidak terlalu akrab dengan orang baru. Tapi ya beginilah diriku.
"Kita seumuran dong. Sini gue bantuin angkut-angkut barang. Kasihan badan lo udah kecil, ngangkut kardus besar, ntar menghambat masa pertumbuhan lo!"
"Sembarangan!"
Tuh kan dia bahkan sudah meledekku di hari pertama kita bertemu.
Aku membuka sebuah pintu kaca yang menempaptkanku pada sebuah balkon. Bukan apartement besar tetapi memiliki balkon. Pas sekali sesuai dengan keinginanku. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya, meluruskan tanganku ke atas dan merenggangkan sendi-sendi badanku. Aku kemudian menoleh ke kanan, ke arah seseorang yang daritadi memperhatikanku.
"Sore, Ji Ah!" sapa Sungchan.
"Selamat sore," balasku.
"Langitnya bagus ya," kataku lagi sambil memandangi langit sore bewarna oranye.
"Iya. Btw lo udah selesai beres-beres?"
Oh iya lupa, jarak balkon antara kamar satu dengan yang lainnya sangat dekat oleh sebab itu kami dapat berbicara dengan mudah.

KAMU SEDANG MEMBACA
HELIOPHILIA
Fiksi PenggemarKetika dunia ternyata memiliki rahasia lebih besar daripada yang ia kira. Antara tetangga sebelah 3 tahun yang berbagi satu sel otak sama setiap harinya dan kakak kelas yang cuek bebek ngeselin sejak day 1.