Aku Adalah Aku (3)

1.5K 144 12
                                    

"Aku sebenarnya tidak tahu pasti sejak kapan mereka dekat dan memiliki hubungan. Karena aku baru mengetahuinya 2 minggu yang lalu di gang kecil dekat apartemen Sasuke." Naruto menatap lurus tembok kamarnya mencoba menghilangkan rasa kecewanya pada Sasuke.

Kurama hanya diam mendengarkan namun tangannya tetap mengelus lembut rambut Naruto. Dia bahagia sekali bisa sedekat ini dengan adiknya.

"Awalnya aku tidak percaya saat Sakura mengatakan padaku bahwa dia melihat Sasuke dan Shion sedang berkencan. Tapi dua hari setelah Sakura mengatakan itu, Sasuke mulai mendiamkanku. Dan dua minggu yang lalu aku melihat mereka sedang berciuman di gang kecil itu." Naruto menundukkan kepalanya dan menepis halus tangan Kurama dari kepalanya.

"Bisakah... bisakah kalian membiarkanku merasakan kebahagiaan walau sebentar saja? Bisakah, Kak?" Naruto menatap Kurama dengan pandangan kecewa dan terluka.

"Apa maksudmu? Tentu saja aku ingin kau bahagia, Naru." Kurama mengerutkan kening tidak setuju.

"Ibumu, Sara. Wanita itu sudah merebut Ayah dari Ibu. Kau dan juga adikmu itu sudah merebut Ayah dariku. Tidak sampai disitu, Shion juga merebut kekasihku, Kak!" suara Naruto meninggi diakhir membuat Kurama berjengit.

"Kau ingin tahu bukan alasanku sangat membenci kalian? Karena kalian sudah mengambil Ayah dari kami. Selama 17 tahun hidupku, Minato baru menunjukkan batang hidungnya saat usiaku 15 tahun dan dia membawa keluarga kecil sialannya! Pria Tua sialan itu juga bahkan tidak hadir di pemakaman Ibuku. Itu semua karena Ibumu! Wanita murahan itu!"

PLAKK

Setelah suara tamparan itu, suasana hening. Dua orang yang ada dikamar itu sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Terlebih Kurama.

Naruto terkekeh miris sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Naru ak-"

"Kupikir kau berbeda, Kurama. Ternyata kau sama brengseknya dengan keluargamu." Naruto menatap langsung mata Kurama dengan tatapan berbagai emosi.

Kurama tentu saja terkejut mendengar Naruto tidak lagi memanggilnya Kakak. Tangan sialan!, rutuknya dalam hati menatap tangan kirinya yang tadi refleks menampar Naruto hingga sudut bibir adik bungsunya itu berdarah. Sungguh Kurama menyesal!

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud-" ucapannya lagi-lagi terpotong saat Naruto mengangkat tangan isyarat berhenti.

"Aku mengerti. Pergilah." Naruto langsung berbaring membelakangi Kurama dengan selimut menutupi hingga leher. Tubuh dan hatinya sangat lelah saat ini. Ditambah tamparan Kurama. Disaat dirinya ingin mencoba membuka diri pada 'keluarga', malah tamparan keras didapatkannya.

Kurama yang melihat adiknya tidak ingin diganggu akhirnya beranjak menuju pintu dan menutupnya pelan. Menyenderkan tubuh ditembok, Kurama kembali menatap tangan kirinya penuh dendam.

BUGH

BUGH

Dan tembok tidak bersalahpun menjadi pelampiasannya. Hingga tangannya mengeluarkan darah, Kurama tidak peduli dan terus menekan tangan kirinya ke tembok.

Sara yang baru saja sampai dilantai dua terkejut melihat tangan Kurama mengeluarkan darah dan langsung menghampiri putra sulungnya.

"Astaga, Ku! Ada apa denganmu?" tanya Sara khawatir sambil menggenggam tangan putranya lalu menuntunnya ke sofa yang ada didepan pintu kamar Naruto.

"Ada apa ini?" tanya Minato yang baru tiba bersama Shion dilantai dua dan melihat tangan putranya berdarah.

"Aku tidak tahu, Sayang. Saat aku sampai Kurama sudah seperti ini." Sara langsung membersihkan tangan Kurama sebelum diberi obat dan diperban.

"Ada apa denganmu, Kurama?" Minato menatap putranya meminta penjelasan.

"Ini semua karena Ibu. Jika Ibu tidak berselingkuh dan merebut Ayah dari Ibu Kushina. Naru tidak akan membenciku Bu!" Kurama sungguh menyesal telah menampar adiknya.

"Kenapa kau membawa nama Kushina dan menyalahkan Ibumu? Kushina sudah meninggal dan Naruto yang membenci kita itu karena kekeras kepalaannya." Sara tidak terima dituduh merebut Minato dari Kushina walaupun kenyataannya memang seperti itu.

"Cukup! Kembali ke kamar masing-masing. Naru bisa saja mendengar pertengkaran kalian." Minato langsung berjalan menuju kamarnya karena rasa bersalah yang bercokol dihatinya pada mendiang Kushina dan Naruto.

Mendengar perkataan suaminya, Sara langsung menyusul Minato. Begitupun Kurama dan Shion.

Setelah kepergian Kurama dari kamarnya, air mata kembali mengalir dipipi Naruto. Sengatan disudut bibirnya tak ia perdulikan. Pikirannya kembali melayang disaat sang Ibu masih hidup.

Andai Ibu disini, Naru tidak akan merasa sangat asing di rumah ini. Naru rindu Ibu.

Suara dering ponsel merobek keheningan yang ada di kamar Naruto. Dengan malas dan air mata yang masih mengalir, Naruto bangkit mengambil ponselnya yang ada di meja belajar.

Matanya membulat melihat siapa yang menghubunginya disaat yang tidak tepat. Naruto bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan menormalkan suaranya meskipun itu sia-sia.

"Halo."

"..."

"Aku tidak apa, Kak."

"..."

"Aku benar-benar tidak apa-apa. Aku hanya merindukanmu saja."

"..."

"Kami sudah berakhir. Besok dia akan bertunangan dengan Shion."

"..."

"Jangan mengatakan hal sampah, Kak. Aku tidak suka itu." Naruto melirik kesal ke arah ponselnya seakan itu adalah orang yang berbicara langsung dengannya.

"..."

"Besok aku masih sekolah. Persiapan ujian mungkin. Memang kau sudah kembali ke Jepang?"

"..."

"Ehe. Aku terlalu fokus menangis jadi belum sempat membaca pesanmu."

"..."

"Baiklah. Sampai jumpa, Kak."

"..."

Setelah sambungan terputus, Naruto segera masuk kamar mandi untuk berganti pakaian. Tidak usah mandi, cukup cuci muka dan gosok gigi. Tidak mandipun dia tetap cantik dan mempesona.

Saat akan tidurpun senyum tidak luntur dari bibirnya mengingat besok dirinya akan bertemu seseorang yang selalu menemaninya sebelum Kushina meninggal. Kushina bahkan pernah mengatakan padanya dengan antusias bahwa orang itu adalah menantu idamannya. What the F! Naruto bahkan saat itu baru berusia 7 tahun. Mengingat hal itu Naruto melebarkan senyumnya. Melupakan sejenak masalah hatinya dengan Sasuke.

Short Story FemNaru (FanBook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang