▪️11▪️

29 6 4
                                    

SEKARANG

Berisik. Bunyi dering ponselku berisik sekali. Aku tidak ingin menerima panggilan itu. Aku hanya ingin meneruskan tidurku. Aku menarik selimutku hingga menutupi kepalaku. Akhirnya ponselku berhenti berdering, tetapi tak lama kemudian ponselku berdering lagi.

"Ah!" teriakku sambil membuka selimutku untuk mengambil ponselku. Tanpa melihat siapa yang menelepon aku menerima panggilan itu.

"Halo!" 

"Halo Latika sayangku," terdengar suara Rian yang penuh rayuan menyapaku.

Aku hanya menghela napas dan berniat menutup telepon ini.

"Jangan! Jangan! Jangan ditutup! Aku tahu kamu pasti ingin menutup telepon ini. Aku tahu kamu pasti marah sekali denganku. Please, beri aku kesempatan untuk minta maaf," kata Rian. Dari suaranya dia tampak sekali berharap aku akan menyetujui permintaannya. Namun, sayang sekali aku tidak berminat untuk berbicara dengan Rian hari ini.

"Aku sedang bad mood, kita berbicara lain waktu saja," jawabku dengan ketus. Kemudian aku menutup telepon.

Memulai hari dengan marah-marah sungguh sangatlah tidak menyenangkan, aku bisa memprediksi bahwa hari ini akan menjadi hari yang tidak menyenangkan. Aku turun dari tempat tidur berniat untuk segera mandi, sebenarnya aku ingin sarapan dulu, tetapi Trisa sudah tidak ada jadi tidak yang menyiapkan sarapan untukku. Benar- benar menyebalkan. Aku harus mencari pembantu baru secepatnya.

Ketika aku melangkah memasuki kamar mandi, ponselku berdering lagi. Pasti itu Rian. Aku tidak akan menghiraukannya hari ini. Hari ini aku tidak ingin berurusan dengan pria itu. 

Selesai mandi aku langsung turun menuju dapur, tidak ada sarapan tidak apa-apa, nanti aku bisa minta Erna untuk memesankan sesuatu, tetapi aku harus meminum secangkir Earl Grey. Sebelum sampai dapur aku mencium bau telur yang dimasak yang membuat perutku bergemuruh dan mulutku berliur. Aku mengernyitkan dahi, bertanya-tanya siapa yang sedang membuat sarapan di dapurku. Aku pun dengan segera mempercepat langkahku menuju dapur.

Sesampainya di dapur, aku hanya bisa terkejut dan heran melihat apa yang ada di depan mataku.

"Bagaimana caramu masuk ke sini?" tanyaku.

"Pak Singgih memperbolehkan aku masuk. Sarapan sudah siap ratuku," kata Rian sambil tersenyum dan membungkukkan badan layaknya pelayan.

"Aku sedang tidak ingin bertengkar dan marah-marah hari ini Rian," jawabku sambil menghela napas.

"Kita tidak perlu bertengkar sayang," kata Rian sambil mendekat dan memelukku.

"Tapi aku masih marah denganmu!" hardikku dengan mendorong Rian menjauh.

"Aku minta maaf sayang. Aku benar-benar minta maaf. Aku sungguh-sungguh menyesal membatalkan kencan kita malam itu," kata Rian dengan wajah memelas.

Menyesal? Rian menyesal membatalkan kencan yang sudah aku siapkan dengan sempurna demi menemani pelacur yang sedang sekarat itu? Huh! Tidak mungkin. Mengingat wajahnya yang tampak khawatir di sisi tempat tidur pelacur itu tidak mungkin dia menyesal membatalkan kencan kami. Aku hanya bisa tertawa kecil.

"Kamu menyesal? Jangan berbohong Rian dan kesabaranku mulai menipis, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku ingin memulai hariku dengan tenang."

Aku LatikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang