▪️1▪️

58 12 18
                                    

SEKARANG

Aku mulai merasakan dingin merasuk ke dalam tubuhku, aku menarik selimut sampai ke bawah dagu, kemudian perlahan aku membuka mataku. Sepi, senyap dan gelap, hanya ada sinar bulan yang menerangi melalui jendela, pasti masih tengah malam ini, aku paling benci terbangun di waktu seperti ini. Bukan karena aku terbangun sendirian, karena sendiri itu tidak ada bagiku, selalu ada suara di dalam kepala yang menemani, selalu ada memori yang mengusik, selalu ada penyesalan atau rasa bersalah yang menghampiri, selalu ada kebencian dan kemarahan yang mengganggu, iya aku memang tak pernah sendiri.

"Iya sayang, aku juga rindu, bersabarlah, sebentar lagi aku pulang," terdengar suara lirih datang dari pintu yang terbuka.

Aku juga benci dia, dia sedang bersamaku, tapi masih saja menerima telepon tengah malam dari wanita lain. Ya, itu pasti dari wanita lain. Aku benci dia, karena dia membuatku merasakan cemburu. Aku benci dia, karena semua ini membuatku benci dengan diriku sendiri. Aku paling benci merasakan amarah, membuatku merasa tidak tenang, membuat suara-suara yang ada di kepalaku semakin lantang meneriakkan keinginan mereka.

Aku terlalu terhanyut oleh amarahku sehingga suara pintu yang ditutup mengejutkanku.

"Pasti telepon penting, sampai-sampai kamu harus tetap menerimanya di tengah malam dan harus keluar dari kamar," kataku dengan ketus.

"Latika cintaku, jangan marah dong sayang. Itu tadi_"

"Ya ya ya. Tidak perlu kau jelaskan. Aku mulai benci dan bosan mendengarkan semua alasanmu," kataku dengan meninggikan suara untuk memotong perkataannya, aku tidak ingin mendengar kebohongan yang selalu keluar dari mulutnya.

"Ah sayang, jangan cemburu dong. Kamu tahu pasti kalau aku milikmu seorang," katanya sambil mencium pipiku dengan mesra. Kemudian dia menyalakan lampu meja di dekatku. "Biar kulihat wajahmu yang cantik itu. Kamu tampak menggemaskan kalau sedang cemburu."

"Ah sudah...sudah...aku ingin tidur lagi, matikan lampunya dan naikkan suhu AC nya, aku kedinginan," kataku dengan masih merasa kesal.

"Senyum dulu dong sayang," bujuk rayunya. "Ayolah, berikan senyumanmu yang manis itu."

Aku bisa membayangkan dia mengatakan itu dengan senyumannya yang menawan, yang dari dulu selalu berhasil membuat hatiku berdetak tak karuan ketika melihatnya. Sekarang? Setelah mengetahui semua watak Rian luar dalam, senyuman itu sudah tidak berdampak apa-apa lagi bagiku. Aku tahu bahwa ini semua hanyalah permainan bagi kita berdua. Ini bukan cinta. Ini kita sedang bermain api. Seharusnya kelakuannya tidak mempengaruhiku, seharusnya aku tidak merasakan cemburu, seharusnya aku tidak menaruh perasaan apa-apa ke dalam hubungan yang palsu ini. Bisa dibilang ini hanyalah perjanjian bisnis yang menguntungkan bagi kedua belah pihak dan seperti semua perjanjian bisnis, terdapat tanggal kedaluwarsa yang menyertainya. Memikirkan bahwa batas waktu tanggal kedaluwarsa sudah di depan mata membuatku kehilangan mood.

"Ah sudahlah, ini masih tengah malam, aku mau tidur," kataku sambil menutup mata.

"Ayolah buka matamu yang indah itu kemudian berikan aku senyumanmu," kata Rian sambil tetap menciumiku dan menarik selimut secara perlahan dari tubuhku.

Aku membuka mataku. Aku berniat untuk berteriak agar dia menyudahi kelakuan konyolnya itu, tetapi ketika melihat wajah tampan Rian yang sedang tersenyum, seketika hilang keinginanku untuk berteriak. Senyuman pada wajahnya dengan rambutnya yang masih berantakan membuatnya tampak lebih muda, seperti anak SMA. Wanita mana yang tidak terpikat dengan ketampanannya? Rian tidak hanya tampan, dia juga bekerja sebagai manajer Sales Marketing di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Tampan, sukses dan tahu benar cara memperlakukan wanita. Dia selalu memperlakukan aku bak seorang ratu, bersamanya aku selalu dibuatnya bahagia dan seharusnya aku hanya menikmati semua itu tanpa memikirkan apa-apa, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ketika semua ini berakhir, jadi aku hanya akan menikmati semua kenikmatan yang tersuguh di depan mataku ini. Tetapi karena tidak ingin menunjukkan kalau rayuannya mulai berhasil meluluhkan hatiku, aku menutup mataku sambil menarik kembali selimut, berusaha sekuat tenaga menahan senyum yang tiba-tiba ingin aku berikan.

Aku LatikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang