▪️8▪️

24 8 2
                                    

DUA PULUH SATU TAHUN YANG LALU

Lucu. Aku tertawa membaca kelakuan keempat detektif dari buku "STOP" karangan Stefan Wolf ini beserta dengan anjingnya berusaha mengecoh musuh. Seru sekali buku ini.

"Main yuk! Aku bosan main sendiri," kata adikku sambil berbisik.

"Aku sedang baca, lagipula mau main apa? Kita tidak diperbolehkan membuat suara. Kalau sampai papa terbangun, habislah kita."

"Tapi aku bosan," rengek adikku walaupun masih sambil berbisik.

"Ambil buku sana. Baca saja."

"Aku tidak suka membaca, membuatku pusing."

Aku hanya bisa menghela nafas dan mengangkat bahu.

"Nyalakan TV saja, tonton kartun kesukaanmu itu, tetapi suaranya matikan, biar tidak mengganggu papa tidur."

"Sekarang belum tayang kartun itu," kata adikku sambil cemberut.

"Main saja dengan mainanmu, kamu punya banyak mainan."

"Boneka kesayanganku disita papa. Kalau kamu tidak mau bermain denganku, bantu aku mengambil bonekaku itu. Bantu aku ya?" Pinta adikku.

"Tidak mau. Nanti kalau ketahuan papa bisa gawat. Kamu punya banyak boneka, main saja dengan bonekamu yang lain."

"Tidak mungkin ketahuan. Papa pasti sudah lupa kalau menyimpan bonekaku."

"Tidak mau. Aku tidak mau dipukul papa lagi."

"Papa sedang tidur di kamar. Tidak mungkin ketahuan. Ayolah. Please," bujuk adikku.

Ah aku hanya ingin membaca. Adikku selalu saja menggangguku. Selalu merengek minta ditemani bermain. Sudah masuk SD, masih saja minta ditemani, masih saja bermain dengan boneka seperti anak TK.

"Memang kamu tahu disimpan di mana bonekamu?"

"Di ruang belajar papa. Di rak yang banyak berisi buku dan piala itu," jawabnya dengan yakin.

Aku mempertimbangkan untuk membantu adikku mengambil bonekanya. Kalau tidak aku bantu pasti dia merengek terus menerus, tetapi aku takut sama papa.

"Ayolah, bantu aku, please," pinta adikku dengan memohon-mohon dan memegang tanganku.

"Kalau papa bangun bagaimana?"

"Tidak mungkin. Papa selalu bangun sore setiap hari minggu."

Aku ingin adikku berhenti menggangguku, agar aku dapat segera kembali membaca buku. Akhirnya dengan berat hati aku menjawab.

"Baiklah. Aku bantu. Tapi jangan membuat suara. Kalau papa bangun kita pasti dihukum berat."

"Oke. Oke," kata adikku sambil mengangguk dengan semangat.

Kita berdua bergerak dengan sangat pelan menuju ruang belajar papa yang terletak tepat di samping kamar tidur papa. Membuka pintu sepelan mungkin, memasuki ruangan dan menutup kembali pintu tanpa suara. Dari sini kita bisa melihat boneka adikku ada di atas rak. 

"Tempatnya terlalu tinggi, kita tidak mungkin bisa mengambilnya," kataku.

"Bisa. Bisa. Bantu aku meletakkan kursi itu ke dekat rak, nanti aku yang naik dan mengambil bonekaku."

Aku sudah bisa merasakan bahwa ini ide yang sangat buruk. Rak itu terlalu tinggi. Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas dan membantu adikku memindahkan kursi dari depan meja belajar ke dekat rak. Adikku naik kursi tersebut, kemudian menaiki rak untuk meraih bonekanya. Terlihat jelas bahwa tidak mungkin dia bisa meraihnya.

Aku LatikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang