▪️4▪️

34 8 4
                                    

LIMA TAHUN YANG LALU

Bosan. Menunggu selalu terasa membosankan. Temanku, Rika, yang katanya sedang dalam perjalanan lima belas menit yang lalu masih belum kunjung datang. Earl grey ku sudah dingin dan hampir habis, aku pun sudah bosan bermain dengan ponselku. Aku hanya bisa menghela napas dan berharap Rika cepat datang.

Blümchen Coffee malam ini penuh pengunjung. Café yang mengusung konsep vintage ini merupakan destinasi populer di semua kalangan dan dengan harga yang cenderung miring membuat café ini hampir selalu penuh dengan pengunjung.

Tempat ini adalah salah satu tempat favoritku untuk melepas penat. Tempatnya selalu ramai, namun tidak membuatku merasa sesak. Musik masih terdengar jelas, namun tidak keras memekakkan telinga. Menu teh kesukaanku ada, menu makanannya juga lezat dan yang paling aku suka adalah suasananya, sangat nyaman dan aku merasa seperti berada di tahun 80an dengan pernak-pernik oldies seperti Vespa, telepon umum, penggiling kopi dan mesin ketik kuno yang di letakkan di tempat strategis yang dapat dinikmati oleh setiap pengunjung.

Sekarang sudah tiga puluh menit lebih dan Rika masih belum juga datang, aku mencoba menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban. Ah sudahlah, Rika jadi datang atau tidak, tidak masalah, aku akan menikmati waktu senggangku di malam minggu ini di sini.

Sambil menunggu lemon tea, sandwich dan french fries yang barusan aku pesan, aku mulai mengamati semua pengunjung. Lebih baik fokus pada suasana di sekitar daripada fokus dengan apa yang ada di dalam kepalaku. Aku suka sekali menebak-nebak perkerjaan dan hidup orang-orang yang aku amati. Seperti pasangan yang mejanya berseberangan dengan mejaku, mereka pasti pasangan baru, masih malu-malu, tidak berani menatap langsung pasangannya, menggemaskan sekali. Ada sedikit kedewasaan pada wajah mereka yang masih muda, aku menebak mereka masih kuliah.

Sedangkan kumpulan pria yang duduk di meja di dekat pintu, pasti mereka teman dekat sedari kecil atau semasa sekolah, mereka tidak datang bersamaan, setiap ada yang bergabung, mereka serentak berdiri, saling berjabat tangan kemudian meneriakkan nama panggilan si pendatang baru, seperti teman dekat yang sudah lama tidak bertemu, seperti reuni kecil-kecilan, karena sampai sekarang dari yang aku amati hanya ada tujuh orang yang duduk di meja itu. Meja mereka penuh dengan canda tawa, membuatku ingin bergabung dan ikut tertawa dengan mereka.

"Dia menduakan aku, ini sudah ke tiga kalinya dia berbuat seperti itu."

Terdengar wanita yang duduk di meja di sebelah kiri ku berkata sambil terisak-isak. Tidak ingin terlihat bahwa aku mencuri dengar pembicaraan mereka, aku pura-pura sibuk dengan ponselku, sambil tetap mendengarkan mereka berbicara.

"Putuskan saja dia."

Kata wanita lain yang duduk di meja itu juga. Dari nada suaranya tampak wanita itu sedang kesal. Oh Drama, tak kusangka aku mendapatkan hiburan yang menarik di sini.

"Aku mencintainya, aku tidak bisa hidup tanpanya."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, dasar wanita lemah, merengek-rengek mengandalkan hidupnya pada orang lain. Wanita seperti itu yang susah bahagia, selalu berharap orang lain bisa membahagiakannya.

"Apa yang akan kamu lakukan? Membiarkannya?"

"Aku tak tahu harus berbuat apa? Aku mencintainya, aku tidak mau kehilangannya."

Aku LatikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang