Dua

247 81 38
                                    

Uma berarti kuda. Tanaka Ryu memanggilnya begitu karena rambutnya yang panjang selalu diikat tinggi-tinggi menyerupai ekor kuda. Ia dan Ryu tidak satu sekolah, tapi setiap pagi dalam perjalanan ke sekolah masing-masing, Ryu selalu menarik juntaian rambutnya yang panjang sambil berteriak, "Umaaa!"

Ryu adalah tetangga sebelah rumahnya saat ia berumur delapan tahun. Ia hanya sempat berteman dengan lelaki itu selama beberapa bulan sebelum Ryu akhirnya pindah rumah.

"Kumamoto," ucap Ryu yang sudah duduk di hadapannya. "Aku bukan sekedar pindah rumah. Tapi aku pindah ke Kumamoto."

Haru baru ingat kalau ia baru saja menanyakan kemana lelaki itu pindah dan kenapa ia tidak pernah mendengar kabar darinya. Lalu ia menggeleng samar. "Astaga Ryu-kun, kau banyak berubah, ya."

Ryu tersenyum dan bersedekap sambil bersandar ke punggung kursi. "Benarkah? Aku terlihat lebih tampan?"

Haru mendesis lalu mendecakkan lidah. "Sifatmu yang terlalu percaya diri itu tidak berubah sama sekali rupanya."

Tapi sepertinya ucapan Ryu ada benarnya. Lelaki itu terlihat lebih dewasa dan... yah, tampan.

Seingatnya, Ryu dulu seorang bocah lelaki kurus yang lebih pendek darinya. Rambutnya selalu dipangkas hampir botak dan selalu berlari dengan lincah kesana-kemari. Ryu adalah anak lelaki yang aktif dan menjengkelkan. Haru tidak pernah ingat menganggap Ryu sebagai seseorang yang keren. Tidak seperti sekarang.

Sosok Ryu yang duduk di hadapannya saat ini bertolak belakang dengan Ryu kecil yang ia kenal. Ryu besar begitu dewasa; pakaiannya begitu rapi, kepalanya yang pelontos kini dihiasi rambut tebal yang agak panjang. Beberapa bagian rambutnya menutupi dahinya yang lebar. Ryu kini mengenakan kacamata persegi dengan bingkai gelap yang entah mengapa begitu cocok dengan wajahnya sehingga memberikan kesan yang keren. Haru tidak tahu persis bagian mana yang terlihat keren, tapi secara keseluruhan Ryu benar-benar tampak berbeda.

"Ngomong-ngomong, bukankah kau sedang menunggu seseorang di sini?" tanya Ryu sambil menoleh ke kanan dan kiri dengan was-was.

Oh, Haru baru ingat. "Ah, ya. Tapi dia belum menghubungiku. Aku akan menghubunginya."

Ryu mencondongkan tubuh pada Haru yang kini menempelkan ponsel ke sebelah telinga, mendengarkan nada dering yang tak terjawab. Kemudian Ryu merasakan ponselnya bergetar dalam saku celananya. Ryu spontan mengeluarkan ponselnya dan menjawab panggilan yang masuk. "Halo?"

Suara itu membuat Haru mendongak, melirik Ryu sambil melotot kaget. "Kenapa kau yang menjawab?"

Kini Ryu memandang Haru dengan tatapan yang sama. "Oh, suaramu terdengar di sini... kau??? Kau yang membutuhkan pengawal pribadi untuk anak kecil?"

Haru buru-buru menutup telepon dan meletakkan ponselnya di atas meja. Lalu ia menyembunyikan wajah di balik permukaan tangannya. Tiba-tiba semuanya jadi kacau.

"Kau membutuhkan pengawal pribadi untuk anakmu? Kau sudah menikah? Wahhh, luar biasa. Aku tidak percaya ada orang yang mau menikah denganmu."

Ucapan Ryu membuat Haru mengangkat wajah lalu buru-buru membenarkan, "Aku belum menikah! Bagaimana mungkin aku bisa punya anak?!"

Ryu mengangkat bahu sambil tersenyum miring. "Perbuatan tak disengaja... mungkin?"

Haru refleks melempar gumpalan tisu ke arah Ryu yang mendarat di permukaan wajahnya. "Jangan bicara macam-macam!"

Ryu terkekeh. "Kalau begitu siapa yang membutuhkan jasa pengawal pribadi? Keponakanmu? Sepupu?"

Haru meragu. Kedua alisnya berkerut bingung, ia tidak yakin bagaimana ia harus menjelaskan situasinya tanpa perlu mengungkit kejadian itu. Kejadian terkutuk yang hampir merenggut nyawanya.

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang