Sepuluh

179 65 4
                                    

"Terima kasih sudah mau membantuku hari ini, senpai," ujar Kenta sambil menggantung celemek seragam kerjanya di balik pintu dapur.

Katou Goro, rekan kerja sekaligus karyawan yang sudah lebih lama bekerja di Paradiso Cafe, tersenyum sambil menggeleng pelan. "Tidak masalah. Aku kebetulan membutuhkan uang tambahan untuk program kuliah. Jadi, aku tidak keberatan mengambil alih shift-mu. Ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba mengambil cuti?"

Kenta dikenal sebagai karyawan yang giat bekerja di Paradiso. Tidak pernah terlambat, selalu datang tepat waktu, tidak pernah melakukan kesalahan yang merugikan kafe. Kenta bahkan tak pernah menggunakan hari liburnya selama satu tahun penuh. Hari ini adalah hari pertama ia menggunakannya dan hal itu cukup mengejutkan Goro.

Kenta mengeluarkan ransel dari dalam kotak penyimpan barang kemudian mengenakan jaket tebalnya. "Ada urusan keluarga," jawab Kenta lalu bersiap-siap pergi. "Sekali lagi, terima kasih senpai. Sampai ketemu hari Senin."

"Hmm. Bye!"

Setelah memberi salam kepada beberapa staf lainnya, Kenta berjalan keluar dari kafe dan menuruni tangga yang menghubungkan ke pintu keluar gedung.

"Ryu!"

"Haru!"

Kenta berhenti melangkah ketika mendengar seruan seseorang tak jauh darinya. Kemudian ia mengangkat wajah, mencari wajah yang familiar di antara gerombolan pejalan kaki yang sibuk. Di tengah-tengah lautan manusia, Kenta akhirnya menangkap sosok wanita berambut panjang yang berdiri mantap melawan arus pejalan kaki. Wanita yang ia kenal baik. Wanita yang sulit dilupakan.

Kenta memandang wajah Haru yang tersenyum malu, mengalihkan pandangannya dari pria yang berdiri di hadapannya. Kemudian setelah beberapa orang berjalan melewatinya, Kenta dapat melihat Tanaka Ryu yang berdiri menjulang di samping Haru, tersenyum sambil menatap Haru lurus-lurus; sorot mata yang menarik Kenta ke dunia nyata. Tatapan Ryu pada Haru mengingatkan Kenta kalau ia harus menarik diri. Kalau ia harus mengingat alasan yang sebenarnya ia ingin melindungi Haru.

Kenta menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar sebelum akhirnya menyeret kakinya pergi dari sana, menyatu dengan kumpulan orang-orang yang berjalan menghimpitnya menuju pintu masuk stasiun Shibuya.

Tujuannya menuju bagian kota Tokyo bernama Fuchu akan memakan waktu cukup lama. Ini bukan kali pertama ia mengunjungi Fuchu, jadi Kenta telah mengenali rute yang harus ia lewati dan berapa lama ia harus berdiri di dalam gerbong kereta sampai ke stasiun transit. Karena waktu yang ia miliki cukup banyak, Kenta memutuskan untuk duduk di salah satu bangku kosong yang kebetulan ditinggalkan oleh penumpang yang baru saja turun.

Memandang pemandangan kereta bawah tanah yang gelap di luar jendela, Kenta teringat akan percakapannya dengan Ryu kemarin malam.

***

Ryu menunggu sampai Haru memasuki gedung apartemennya. Kemudian ketika dilihatnya lampu di jendela yang terletak di lantai tiga menyala, Ryu akhirnya beranjak pergi. Namun tepat ketika ia berbalik, pandangan matanya bertemu dengan sosok anak laki-laki berambut tebal yang berdiri di bawah lampu jalanan. Anak lelaki yang begitu familiar. Ryu berhenti melangkah ketika melihat Kenta berjalan menghampirinya. "Selamat malam, sensei."

Ryu berdeham sebelum balas menyapa, "Ueda, apa yang kau lakukan malam-malam di sini?"

Kedua mata Kenta refleks mengarah ke arah gedung apartemen Haru. Lalu ia menunduk, menendang aspal sambil berkata, "Ada... yang ingin kubicarakan dengan sensei."

Ryu menelan ludah lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Ayo."

Ryu memimpin langkah menuju stasiun dengan Kenta yang berjalan agak jauh di sampingnya. Perjalanan mereka berlalu dalam keheningan selama beberapa menit yang lama, sampai akhirnya Kenta membuka suara. "Apa... sensei tahu kalau aku..."

Ryu mengangguk, "Ya. Aku tahu."

Kenta mengerjap kaget. Lalu dengan gugup, ia melanjutkan, "Apa sensei tahu alasannya?"

"Alasan kau menyukai Haru?"

Kenta menggeleng ketika merasakan pipinya memanas. "Tidak," ia buru-buru mengelak. "Maksudku... alasan Haru-san membutuhkan pengawal sewaan."

Ryu menggigit bibir, menahan dirinya untuk tak meniup dahi. Ia tampak berpikir keras sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab, "Aku tidak bisa membicarakan hal ini denganmu, Ueda. Kuharap kau mengerti."

Kenta berhenti melangkah dan menatap Ryu sambil mengangguk mantap. "Tidak masalah, sensei. Aku hanya ingin memastikan kalau... sensei tahu bahwa... aku mengetahui alasannya. Kalau sebenarnya aku mengungkapkan perasaanku pada Haru-san karena aku bermaksud untuk melindunginya dan berharap kejadian yang sama tidak akan terulang lagi," jelas Kenta sambil menatap aspal, ragu-ragu. Ia mengambil napas sebelum melanjutkan, "Tapi Haru-san tidak boleh tahu kalau aku mengetahuinya."

"Mengetahui apa?"

"Tentang alasan Haru-san memerlukan pengawal sewaan. Tentang kecelakaan itu."

Ryu mengerjap kemudian menarik diri. Gurunya itu tampak lebih pucat dari sebelumnya. Kedua matanya hampir melebar, syok. Namun kemudian Ryu berkata, "Aku tidak akan memberitahunya."

"Te-terima kasih, sensei." Kenta membungkukkan badan kemudian menatap Ryu sambil tersenyum mantap. "Maaf kalau aku sempat tidak fokus di sekolah. Mulai sekarang aku akan lebih berhati-hati."

Ryu hanya tersenyum, lemah. Setelah mengucapkan selamat malam, Kenta memberi salam sebelum berjalan ke arah yang berlawanan, meninggalkan Ryu mematung di bawah lampu jalanan yang remang.

***

Kenta merasa bersalah. Entah mengapa ia berpikir kalau ia seharusnya menceritakan semua yang ia tahu tentang Haru kepada Ryu. Bagaimana pun juga, Ryu adalah orang terpenting dalam hidup Haru. Ryu berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.

Kenta menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan. Kemudian ia bangkit berdiri dan memberikan tempat duduknya kepada lansia yang baru saja memasuki gerbong. Setelah memastikan daftar stasiun transit yang terletak di pintu kereta, Kenta bersiap-siap turun. Sebentar lagi ia harus turun di stasiun berikutnya, lalu mencegat taksi dan menumpanginya sampai tujuan.

Taksi yang ia tumpangi membawanya ke alamat yang ia berikan dalam sepuluh menit. Kenta begitu gelisah sampai-sampai ia tak menyadari kalau ia telah menggaruk ibu jarinya yang tak gatal berulang kali hingga menimbulkan bekas merah di kulit. Begitu mobil taksi yang ia tumpangi berhenti di depan gedung putih berpagar raksasa, Kenta menelan ludah, gusar.

Setelah membayar dan turun dari taksi, Kenta mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi ibunya.

"Halo? Kenta? Kau sudah sampai?"

Kenta tertegun. Ia tidak langsung menjawab. Kedua matanya tertuju kepada dinding pembatas tinggi yang berdiri menjulang di hadapannya saat ini. Puncak dinding pembatas itu ditambahi kawat duri melingkar yang tampak mengerikan. Beberapa petugas berseragam berdiri di pos jaga, menjaga pintu keluar-masuk dengan siaga. Pemandangan itu sontak membuat permukaan tangan Kenta berkeringat.

"Kenta?" Ibunya memanggil lagi.

Kenta berdeham lalu memaksa dirinya menjawab, "Ya, aku baru saja sampai."

"Bagus. Jangan lupa berikan bekal makanan yang ibu titipkan. Itu makanan kesukaan Kenzo. Bilang padanya kalau ibu akan menjenguk saat mendapat hari libur," jelas ibunya, membela diri.

Kenta menghela napas. "Baiklah. Kutelepon lagi nanti."

"Kenta?"

"Hmm?"

"Bicaralah baik-baik padanya. Jangan membenci kakakmu."

"Kututup dulu." Kenta langsung mengakhiri percakapannya dengan ibunya kemudian menjejalkan ponselnya dengan paksa ke dalam saku celana. Lalu ia mengangkat wajah tinggi-tinggi ke arah puncak dinding pembatas gedung itu - gedung dengan papan nama raksasa bertuliskan 'Penjara Fuchu'.

Spring Breeze - 春のそよ風Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang